Ja’far As-Shadiq (80 – 148 H/699 – 765 M) adalah Ja’far bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fathimah Az-zahra binti Rasulillah Muhammad saw. Beliau di lahirkan pada tahun 80 Hijriah (699M). Ibunya bernama Ummu Farwah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar As-Siddiq. Pada beliaulah terdapat perpaduan darah Nabi saw. Dengan Abu Bakar As-Siddiq ra. Beliau dikenal dengan julukan Abu Abdillah, selain itu beberapa gelar terhormat disematkan kepadanya, di antaranya Ash-Shabir (sang penyabar), Al-Fadhl (sang utama), dan At-Thahir (sang suci). Gelar beliau yang paling masyhur adalah Ash-Shadiq (sang jujur). Seluruh gelar tersebut menunjukkan kemuliaan dan keutamaan akhlak beliau.
Beliau merupakan ahli ilmu agama dan ahli hukum Islam (fiqih).
Aturan-aturan yang dikeluarkannya menjadi dasar utama bagi mazhab
Ja’fari atau Dua Belas Imam; ia pun dihormati dan menjadi guru bagi
kalangan Sunni karena riwayat yang menyatakan bahwa ia menjadi guru bagi
Abu Hanifah (pendiri Mazhab Hanafi) dan Malik bin Anas (pendiri Mazhab
Maliki).
Beliau berguru langsung dengan ayahnya – Muhammad Al-Baqir di sekolah
ayahnya yang banyak melahirkan tokoh-tokoh ulama besar Islam. Ja’far
As-Shadiq adalah seorang ulama besar dalam banyak bidang ilmu, seperti
ilmu Filsafat, Tasauf, Fiqh, Kimia dan ilmu Kedokteran. Beliau adalah
Imam yang ke enam dari dua belas Imam dalam mazhab Syi’ah Imamiyah.
Dikalangan kaum Sufi beliau adalah guru dan Syaikh yang besar dan
dikalangan ahlli Kimia beliau dianggap sebagai pelopor ilmu Kimia. Di
antaranya, beliau menjadi guru Jabir bin Hayyam – Ahli Kimia dan
Kedokteran Islam.
Mazhab Ja‘fariyah
Era Imam Shadiq merupakan masa yang penuh dengan peristiwa penting
dalam sejarah Islam. Sebab proses peralihan kekuasaan dari dinasti
Umayah ke dinasti Abbasiyah di masa itu menyisakan beragam dampak sosial
dan politik. Di sisi lain, masyarakat muslim di zaman itu berhadapan
langsung dengan perkembangan pelbagai bentuk ideologi dan aliran teologi
dan filsafat. Atmosfer kebangkitan ilmiah terasa sangat kental sekali
yang dibarengi dengan maraknya penyebaran dan penerjemahan pemikiran
filsafat dan teologi dari dunia luar, seperti Yunani dan Persia.
Tentu saja, kebangkitan ilmiah yang demikian pesat itu juga
memunculkan beragam penyimpangan pemikiran dan akidah. Kondisi tersebut
niscaya membuat misi dakwah Imam Shadiq memikul tanggung jawab yang
besar. Dari satu sisi, masyarakat di masa itu mulai condong kepada
pemikiran ateisme dan materialisme. Sementara di sisi lain, Imam Shadiq
harus mempertahankan Islam dari pelbagai penyimpangan dan kesalahan
interpretasi.
Dalam kondisi yang sangat sensitif inilah, Imam Shadiq melancarkan
gerakan revolusi kultural Islam. Gerakan ini ditandai dengan
keberhasilan mencetak lebih dari 4 ribu ilmuan dan ulama terkemuka dalam
pelbagai bidang. Masing-masing memiliki spesialisasi dalam bidang
keilmuan tertentu. Mereka pun disebar ke berbagai penjuru negeri-negeri
muslim. Ibarat kata, murid-murid Imam Shadiq as laksana kobaran pelita
yang menerangi sudut-sudut dunia Islam. Gerakan revolusi kultural dan
revitalisasi pemikiran Islam oleh Imam Shadiq ini berhasil membuka ufuk
baru kebangkitan ilmiah di kalangan masyarakat muslim.
Lewat gerakan revolusi keilmuannya itu, Imam Shadiq menghimpun
pemikiran orisinal Islam, terutama dalam masalah fiqh dan kalam serta
mendidik para ilmuan dan ulama. Beragam khazanah ilmiah di bidang ahlak,
fiqh, tafsir, dan kalam serta ilmu-ilmu lainnya yang bisa kita akses
hingga kini merupakan hasil dari jerih payah dan perjuangan Imam Shadiq.
Di mata para pemikir dan ulama dari berbagai mazhab, madrasah pemikiran
Imam Shadiq as berdiri di atas landasan yang kokoh. Ulama terkemuka
Ahlusunnah, Ahmad Zaki Saleh, menuturkan, “Mazhab Syiah yang dipelopori
Imam Ja’far Shadiq as merupakan mazhab pertama yang membangun persoalan
keagamaan di atas landasan rasional. Semangat ilmiah di mazhab ini
sangat terasa kental melebihi mazhab-mazhab lainnya”. Mazhab Ahlulbait
berkembang pada masa Imam Ja‘far, dan pengikutnya terus bertambah pesat,
sehingga masyarakat lebih mengenal mazhab Syi‘ah dengan mazhab
Ja‘fariyah, yaitu nama yang diambil dari Imam Ja‘far Ash-Shadiq.
Imam Shadiq mendidik murid-murid besar di antaranya Abu Hanifah
(pendiri Madzhab Hanafi), Malik bin Anas (pendiri Madzhab Maliki),
Muhammad bin Hasan As-Syaibani, Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu ‘Uyainah, Yahya
bin Sa’id, Ayub As-Sijistani, Syu’bah bin Hajjaj, Abdul Malik bin
Juraij, Hisyam bin Hakam, Muhammad bin Muslim, Jabir bin Hayan, Qadhi
Sukuni, Qodhi Abu Bakhtari, Zararah, Muhammad bin Muslim, Mukmin Thaq,
Hisyam bin Hakam, Aban bin Taghlib, Hisyam bin Salim, Huraiz, Hisyam
Kaibi Nassabah, dan lainnya. Sejarah menyebutkan bahwa murid-murid Imam
Shadiq as mencapai 4000 orang. Sebagian dari mereka memiliki berbagai
karya ilmiah yang tiada tara di zamannya. Misalnya Hisyam bin Hakam,
pakar teologi Islam, menulis 31 buku. Jabir bin Hayan yang dikenal
sebagai bapak kimia menulis lebih dari 200 buku dan pada abad
pertengahan, karya tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa.
Mufadhal juga merupakan salah satu murid terkemuka Imam Shadiq as yang
menulis buku “Tauhid Mufadhal”.
Komentar tentang pribadi Imam Ja’far Ash-Shadiq
Imam Abu Hanifah, pemimpin mazhab Hanafi
mengisahkan bahwa pernah suatu kali khalifah Al-Mansur dari Bani
Abbasiyah ingin mengadakan perdebatan antara Abu Hanifah dengan Imam
Ja’far ash-Shadiq dan meminta Abu Hanifah menyediakan 40 pertanyaan yang
sulit untuk diajukan kepada Imam Ja’afar bin Muhammad di dalam
perdebatan itu nanti. Al-Mansur telah merencanakan untuk mengalahkan
Imam Ja’far bin Muhammad, dengan cara memperalat lisan Abu Hanifah dan
membuktikan kepada orang banyak bahwa Ja’far bin Muhammad tidaklah luas
ilmunya.
Menurut Abu Hanifah, “Al-Mansur meminta aku datang ke istananya
ketika aku tidak berada di Hirah. Ketika aku masuk ke istananya, aku
melihat Ja’far bin Muhammad duduk di sisi Al-Mansur. Ketika aku
memandang Ja’far bin Muhammad, jantungku bergoncang kuat, rasa getar dan
takut menyelubungi diriku terhadap Ja’far bin Muhammad lebih daripada
Al-Mansur. Setelah memberikan salam, Al-Mansur memintaku duduk dan
beliau memperkenalkanku kepada Ja’far bin Muhammad. Kemudian Al-Mansur
memintaku mengemukakan pertanyaan-pertanyaan kepada Ja’far bin Muhammad.
Aku pun mengemukakan pertanyaan demi pertanyaan dan beliau menjawabnya
satu persatu, mengeluarkan bukan saja pendapat ahli-ahli fiqih Iraq dan
Madinah tetapi juga mengemukakan pandangannya sendiri, baik beliau
menerima atau menolak pendapat-pendapat orang lain itu sehingga beliau
selesai menjawab semua empat puluh pertanyaan sulit yang telah aku
sediakan untuknya.”
Abu Hanifah berkata lagi, “Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain ?” Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata, “Harus kuakui, tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain Ja’far bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua tahun ini tidak ada, tentu aku celaka”
Abu Hanifah berkata lagi, “Tidakkah telah aku katakan bahwa dalam soal keilmuan, orang yang paling alim dan mengetahui adalah orang yang mengetahui pendapat-pendapat orang lain ?” Lantaran pengalaman itu, Abu Hanifah berkata, “Harus kuakui, tidak pernah kulihat orang yang lebih faqih dan lebih pandai selain Ja’far bin Muhammad. Selama dua tahun aku berguru padanya. Jika dua tahun ini tidak ada, tentu aku celaka”
Imam Malik, pemimpin mazhab Maliki
menceritakan pribadi Imam Ja’far ash-Shadiq dalam kitab Tahdhib
al-Tahdhib, Jilid 2, hlm. 104: “Aku sering mengunjungi ash-Shadiq. Aku
tidak pernah menemui beliau kecuali dalam salah satu daripada
keadaan-keadaan ini: Beliau sedang salat, Beliau sedang berpuasa, Beliau
sedang membaca kitab suci al-Qur’an. Aku tidak pernah melihat beliau
meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi SAW tanpa taharah. Ia seorang yang
paling bertaqwa, wara’, dan amat terpelajar selepas zaman Nabi Muhammad
SAW. Tidak ada mata yang pernah, tidak ada telinga yang pernah mendengar
dan hati ini tidak pernah terlintas akan seseorang yang lebih utama
(afdhal) melebihi Ja’far bin Muhammad dalam ibadah, kewara’-an dan ilmu
pengetahuannya.”
Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata: “Karena
ilmunya sering dinukil oleh para ilmuwan, akhirnya ia menjadi buah bibir
masyarakat dan namanya dikenal di seluruh penjuru negeri. Para pakar
(fiqih dan hadis) seperti Yahya bin Sa’id, Ibnu Juraij, Malik, Sufyan
Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Abu Hanifah, Syu’bah dan Ayub
As-Sijistani banyak menukil hadis darinya”.
Abu Bahar Al-Jaahizh berkata: “Ilmu
pengetahuan Ja’far bin Muhammad telah menguasai seluruh dunia. Dapat
dikatakan bahwa Abu Hanifah dan Sufyan Ats-Tsauri adalah muridnya, dan
hal ini cukup untuk membuktikan keagungannya”.
Ibnu Khalikan, seorang sejarawan terkenal
menulis: “Dia adalah salah seorang imam dua belas mazhab Imamiah dan
termasuk salah seorang pembesar keluarga Rasulullah yang karena
kejujurannya ia dijuluki dengan ash-shadiq. Keutamaan dan keagungannya
sudah dikenal khalayak ramai sehingga tidak perlu untuk dijelaskan. Abu
Musa Jabir bin Hayyan Ath-Thurthursi adalah muridnya. Ia menulis sebuah
buku sebanyak seribu halaman yang berisi ajaran-ajaran Ja’far Ash-Shadiq
dan memuat lima ratus pembahasan”.
Wafatnya
Ia meninggal pada tanggal 25 Syawal 148 Hijriyah atau kurang lebih
pada tanggal 4 Desember 765 Masehi di Madinah, menurut riwayat dari
kalangan Syi’ah, dengan diracun atas perintah Khalifah Mansur
al-Dawaliki dari Bani Abbasiyah.
Mendengar berita meninggalnya Ja’far ash-Shadiq, Al-Mansur menulis
surat kepada gubernur Madinah, memerintahkannya untuk pergi ke rumah
Imam dengan dalih menyatakan belasungkawa kepada keluarganya, meminta
pesan-pesan Imam dan wasiatnya serta membacanya. Siapapun yang dipilih
oleh Imam sebagai pewaris dan penerus harus dipenggal kepalanya
seketika. Tentunya tujuan Al-Mansur adalah untuk mengakhiri seluruh
masalah keimaman dan aspirasi kaum Syi’ah. Ketika gubernur Madinah
melaksanakan perintah tersebut dan membacakan pesan terakhir dan
wasiatnya, ia mengetahui bahwa Imam telah memilih empat orang dan bukan
satu orang untuk melaksanakan amanat dan wasiatnya yang terakhir; yaitu
khalifah sendiri, gubernur Madinah, Abdullah Aftah putranya yang sulung,
dan Musa al-Kadzim putranya yang bungsu. Dengan demikian rencana
Al-Mansur menjadi gagal.
Beliau dimakamkan di pekuburan Baqi’, Madinah, berdekatan dengan
Hasan bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan ayahnya Muhammad al-Baqir. (Dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)