Thursday, November 6, 2014

Peristiwa SYAHID imam Husein bin Ali bin Abi Thalib menurut Ahlussunnah

Peristiwa Kesyahidan Sayidina Husein bin Ali bin Abi Thalib

Bulam Muharram merupakan bulan yang agung dan memiliki banyak keutamaan; Nabi Musa ‘alaihissalam diselamatkan dari Firaun dan bala tentaranya di bulan Muharram. Untuk menghormati bulan ini, Allah haramkan peperangan walaupun perang tersebut bertujuan meninggikan kalimat-Nya. Di bulan ini pun terdapat suatu hari, yang dapat mengampuni dosa setahun yang lalu dengan berpuasa di hari tersebut. 
Namun, bulan Muharram juga mengisahkan sebuah duka, duka dengan wafatnya penghulu pemuda penghuni surga, cucu Rasulullah, Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.

Terkait peristiwa tersebut, ada sebuah kelompok yang rutin memperingati wafatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan cara meratapi dan menyiksa diri. Mereka berandai-andai jika saja waktu itu mereka bersama Husein dan menolong Husein yang dizalimi. Mereka menamakan diri mereka Syiah, pencinta dan pendukung ahlul bait (keluarga Nabi). Setiap orang bisa mengklaim diri sebagai penolong keluarga Nabi, namun pertanyaannya adalah benarkah mereka menolongnya?!

Kita tidak hendak saling menyalahkan, tidak juga memicu perpecahan, kita hanya akan mengangkat fakta sejarah bagaimana cucu manusia yang paling mulia ini bisa terbunuh di tanah Karbala.

Kita awali kisah ini dengan memasuki tahun 60 H ketika Yazid bin Muawiyah dibaiat menjadi khalifah. Saat itu Yazid yang berumur 34 tahun diangkat oleh ayahnya Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu sebagai khalifah umat Islam menggantikan dirinya.

Ketika Yazid dibaiat ada dua orang sahabat Nabi yang enggan membaiatnya, mereka adalah Abdullah bin Zubeir dan Husein bin Ali bin Abi Thalib. Abdullah bin Zubeir pun dipinta untuk berbaiat, ia mengatakan, “Tunggulah sampai malam ini, akan aku sampaikan apa yang ada di benakku.” Saat malam tiba, maka Abdullah bin Zubeir pergi dari Madinah menuju Mekah. Demikian juga Husein, ketika beliau dipinta untuk berbaiat, beliau mengatakan, “Aku tidak akan berbaiat secara sembunyi-sembunyi, tapi aku menginginkan agar banyak orang melihat baiatku.” Saat malam menjelang, beliau juga berangkat ke Mekah menyusul Abdullah bin Zubeir.

Kabar tidak berbaiatnya Husein dan perginya beliau ke kota Mekah sampai ke telinga penduduk Irak atau lebih spesifiknya penduduk Kufah. Mereka tidak menginginkan Yazid menjadi khalifah bahkan juga Muawiyah, karena mereka adalah pendukung Ali dan anak keturunannya. Lalu penduduk Kufah pun mengirimi Husein surat yang berisi “Kami belum berbaiat kepada Yazid dan tidak akan berbaiat kepadanya, kami hanya akan membaiat Anda (sebagai khalifah).” Semakin hari, surat tersebut pun semakin banyak sampai ke tangan Husein, jumlanya mencapai 500 surat.

Tidak terburu-buru menanggapi isu ini, Husein mengutus sepupunya Muslim bin Aqil bin Abi Thalib menuju Kufah untuk meneliti dahulu kebenaran berita tersebut. Tibalah Muslim bin Aqil di Kufah dan ia melihat kebenaran berita yang sampai kepada Husein. Penduduk Kufah pun membaiat Husein melalui Muslim bin Aqil.

Kabar dibaiatnya Husein melalui Muslim bin Aqil sampai ke Syam, tempat Khalifah Yazid bin Muawiyah. Ia segera mencopot gubernur Kufah, Nu’man bin Basyir radhiallahu ‘anhu karena Nu’man tidak mengambil tindakan apa pun atas kejadian itu. Sebagai penggantinya, diangkatlah Ubaidullah bin Ziyad menjadi amir Kufah.

Ubaidullah langsung bergerak cepat hendak mengupayakan penangkapan Muslim bin Aqil. Langkah pertama yang dilakukan Ubaidullah adalah mengintrogasi sahabat-sahabat dekat Muslim. Ia menangkap Hani’ bin Urwah, kemudian menanyai keberadaan Muslim kepadanya. Hani’ bin Urwah bersikukuh tidak akan membocorkan rahasia persembunyian Muslim, akhirnya ia ditahan.

Penahanan Hani’ bin Urwah memancing reaksi dari Muslim bin Aqil, ia mengerahkan 4000 orang mengepung benteng Ubaidullah bin Ziyad menekannya agar membebaskan Hani’. Sayang, kisah penghianatan penduduk Kufah ternyata berulang, mereka yang sebelumnya membaiat Muslim bin Aqil pergi meninggalkannya. Di siang hari saja jumlah 4000 tersebut menyusut hanya menjadi 30 orang dan ketika matahari terbenam tinggallah Muslim bin Aqil seorang diri. Akhirnya ia pun terbunuh. Sebelum wafat, ia memberi pesan kepada Umar bin Sa’ad untuk menyampaikannya kepada Husein bin Ali bin Abi Thalib “Pulanglah bersama keluargamu. Jangan engkau terpedaya oleh penduduk Kufah. Karena mereka telah berhianat kepadamu dan kepadaku.”

Husein radhiallahu ‘anhu Menuju Kufah

Pada saat hendak berangkat menuju Kufah, Husein bertemu dan dinasihati oleh beberapa sahabat Nabi agar tidak menuju Kufah. Di antara sahabat yang menasihati Husein adalah:
Abdullah bin Abbas “Kalau sekiranya orang-orang tidak mencela aku dan engkau, akan aku ikat tanganku ini di kepalamu. Tidak akan kubiarkan engkau pergi.”

Abdullah bin Umar, setelah mendengar keberangkatan Husein menuju Kufah, ia bergegas menyusulnya dan berhasil bertemu dengannya setelah perjalanan 3 malam.
Abdullah bin Umar: Hendak kemana engkau?
Husein: Menuju Irak.

Husein mengeluarkan surat-surat penduduk Irak yang menunjukkan mereka berpihak kepada dirinya. Husein mengatakan, “Ini surat-surat mereka, aku akan kesana dan menerima baiat mereka.”
Abdullah bin Umar: Aku akan sampaikan kepadamu sebuah hadis. Sesungguhnya Jibril pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia memberi pilihan kepada Nabi antara dunia dan akhirat, beliau pun memilih akhirat dan tidak menginginkan dunia. Engkau adalah darah daging Rasulullah, demi Allah! Janganlah salah seorang dari kalian (keluarga Nabi) mengambil dunia tersebut atau menggapai bagian yang telah Allah jauhkan dari kalian.

Husein pun tetap pada pendiriannya berangkat menuju Kufah. Melihat pendirian Husein, menangislah Abdullah bin Umar dan mengatakan “Aku titipkan engkau kepada Allah dari pembunuhan.”
Abdullah bin Zubeir mengatakan, “Hendak kemana engkau wahai Husein? Engkau mau menemui orang-orang yang telah membunuh ayahmu dan menghina saudaramu (Hasan bin Ali)? Janganlah pergi! Namun Husein pun tetap berangkat.

Abu Said al-Khudri mengatakan, “Wahai Abu Abdullah (maksudnya Husein pen.), aku ada sebuah nasihat untukmu dan aku adalah orang yang sangat mencintaimu. Aku mendengar berita bahwa Syiah (pendukung)mu di Kufah menulis pernyataan kepadamu, mereka mengajakmu keluar dari Mekah dan bergabung dengan mereka di Kufah. Janganlah engkau menemui mereka! Sesungguhnya aku mendengar ayahmu sewaktu di Kufah mengatakan, ‘Demi Allah, aku telah membuat mereka (penduduk Kufah) bosan dan marah dan mereka pun membuatku bosan juga membuatku marah. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang memenuhi janji.”

Saat Husein melanjutkan perjalanan, sampailah Amir bin Sa’ad utusan dari Muslim bin Aqil. Amir mengabarkan tentang terbunuhnya Husein dan penghianatan orang-orang Kufah. Mendengar berita tersebut Husein pun sadar apa yang ia lakukan akan sia-sia, ia pun memutuskan untuk pulang. Namun anak-anak Muslim bin Aqil menginginkan perjalanan dilanjutkan menuntut hukuman atas tewasnya ayah mereka.

Husein bin Ali bin Abi Thalib Tiba di Tanah Karbala

Mengetahui Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu berangkat menuju Kufah, Ubaidullah bin Ziyad berencana mencegatnya agar tidak memasuki Kufah dengan mengirim 1000 pasukan yang dipimpin oleh al-Hurru bin Yazid at-Tamimi kemudian ditambah 4000 pasukan dibawah kepemimpinan Umar bin Sa’ad.
Saat tiba di Karbala, Husein bertanya tentang nama daerah tersebut, “Daerah apa ini?” Orang-orang menjawab, “Ini adalah daerah Karbala.” Husein pun langsung mengatakan, “Karbun (bencana) dan bala’ (musibah).”

Dibayang-bayangi 5000 pasukan membuat Husein semakin menyadari bahwa janji-janji penduduk Kufah itu hanyalah bualan semata. Apalagi pasukan-pasukan itu sendiri adalah penduduk Kufah yang telah mengiriminya surat. Lalu Husein mengajukan 3 alternatif kepada pasukan Kufah sebagai jalan keluar; pertama, Husein meminta agar pasukan Kufah mengawalnya pulang ke Mekah (agar ia dan keluarganya terjaga) atau yang kedua, pasukan Kufah mengizinkannya untuk pergi ke daerah perbatasan agar ia bergabung dengan pasukan kaum muslimin untuk berjihad atau alternatif ketiga, mereka mengizinkannya menuju Yazid agar ia membaiatnya secara langsung.

Umar bin Sa’ad pun menanggapi positif pilihan yang diajukan Husein, ia mengusulkan agar Husein mengirimkan utusan ke Yazid terlebih dahulu dan ia sendiri mengirimkan utusan ke Ubaidullah untuk memberitakan kabar ini sekaligus alternatif yang diajukan Husein.

Setibanya utusan Umar bin Sa’ad di hadapan Ubaidullah dan menyampaikan apa yang dikehendaki Husein, Ubaidullah pun bergembira dan memberi kemuliaan kepada Husein agar ia sendiri yang memilih sesuai dengan yang ia kehendaki; kembali ke Mekah atau Madinah, menuju daerah perbatasan, atau menuju Yazid di Syam, ia serahkan kepada pilihan Husein. Namun seseorang yang dekat dengan Ubaidullah yang bernama Syamr bin Dzi al-Jasyan angkat bicara atas keputusan Ubaidullah, “Demi Allah, urusannya tidak demikian, dia yang harus tunduk kepada putusanmu.” Maksud Syamr engkau (Ubaidullah) adalah pemimpin bukan dia (Husein), jadi dia yang harus tunduk kepada putusanmu bukan sebaliknya. Ternyata Ubaidullah yang tadinya memuliakan Husein berpaling mengikuti saran dari sahabat dekatnya, Syamr bin Dzi al-Jausyan. Ubaidullah memutuskan menawan Husein dan dibawa ke hadapannya di Kufah sebagai tawanan kemudia ia yang menentukan kemana Husein seharusnya diasingkan.

Setelah sampai perintah Ubaidullah di tanah Karbala, Husein pun menolak kalau dirinya dijadikan tawanan, ia seorang muslim terlebih ia adalah keluarga Rasulullah. Karena Husein menolak untuk ditawan, maka pasukan Ubaidullah itu berusaha menangkap paksa dirinya, Husein mengatakan, “Kalian renungi dulu apa yang hendak kalian lakukan. Apakah dibenarkan (secara syariat), kalian memerangi orang sepertiku? Aku anak dari putri Nabi kalian dan tidak ada lagi di bumi ini anak dari putri Nabi kalian selain diriku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang aku dan saudaraku (Hasan bin Ali), ‘Dua orang ini adalah pemimpin para pemuda penghuni surga.’ Akhirnya Husein pun terbunuh bersama keluarga Rasulullah yang lain. Seorang yang secara langsung membunuh Husein dan memenggal kepalanya bernama Sinan bin Anas.

Demikianlah mereka yang mengaku Syiah (pendukung) Ali dan keluarganya, mereka membelot dan menumpahkan darah ahlul bait Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam peristiwa ini, ada tiga orang yang berperan besar sehingga cucu Nabi yang mulia ini tewas. Mereka adalah Ubaidullah bin Ziyad, Syamr bin Dzi al-Jauzyan, dan Sinan bin Anas, ketiga orang ini adalah Syiah (pendukung) Ali di Perang Shiffin, mereka termasuk dalam barisan pasukan Ali bin Abi Thalib. Bisa jadi mereka yang meratapi kematian Husein di hari Asyura, menganiaya diri mereka, berandai-andai bersama Husein, dan merasakan penderitaannya, seandainya mereka berada di hari tersebut. Mereka akan turut serta dalam pasukan Kufah dan membelot dari Husein bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma.

Sumber: Huqbah min at-Tarikh oleh Syaikh Utsman al-Khomis

Mengenal Mazhab Syi'ah Ja'fariyah


Mazhab Syi’ah Ja’fariyah
1. Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼ jumlah umat Islam. Latar belakang sejarahnya bermuara pada masa permulaan Islam, yaitu saat turunnya firman Allah swt. surat Al-Bayyinah ayat 7 :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi. (QS. Al Bayyinah [98]:7)
Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan tangannya di atas pundak Ali bin Abi Thalib a.s., sedang para sahabat hadir dan menyaksikannya, seraya bersabda: “Hai Ali!, Kau dan para syi’ahmu adalah sebaik-baiknya penduduk bumi”. [1]
Dari sinilah, kelompok ini disebut dengan nama “syi’ah”, dan dinisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq a.s. karena mengikuti beliau dalam bidang fiqih.
2. Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran, Irak, Palestina, Afganistan, India, dan tersebar secara luas ke negara-negara republik yang memisahkan diri dari Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka memiliki masjid-masjid, Islamic Center, pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.
3. Kaum Syi’ah Ja’fariyah terdiri dari bangsa, suku, bahasa dan warna yang berbeda-beda. Mereka hidup secara berdampingan dengan saudara-saudara muslim yang lain dari golongan dan mazhab yang berbeda dengan penuh kedamaian dan kasih sayang. Dan mereka saling mem-bantu dan bekerja sama di segala bidang dengan penuh
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhya orang-orang mukmin adalah saudara. (QS. Al-Hujurat [49]:10)
Dan firman Allah swt.:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa”. (QS. Al-Maidah [5]:ٰ)
Dan berpegang teguh pada sabda Nabi saw.: “Orang-orang muslim – satu sama lainnya- laksana tangan yang satu”. [2] Juga sabda yang lain dari beliau: “Orang-orang mukmin (satu sama lainnya) seperti satu tubuh”.[3]
4. Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki sikap disegani dan posisi yang cemerlang dalam membela Islam dan kaum muslimin. Mereka juga telah mampu mendirikan pemerintahan-pemerintahan dan negara-negara yang ber-khidmat pada peradaban Islam. Begitu juga, mereka memiliki ulama-ulama serta ahli-ahli yang telah menyum-bangkan tenaga dan seluruh pikiran mereka untuk memperkaya warisan-warisan Islam; dengan cara menulis ratusan ribu karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir Al-Quran, hadis, akidah, fiqih, ushul fiqih, akhlak, dirayah, rijal, filsafat, nasihat-nasihat, sistem pemerintahan dan kemasyarakatan, bahasa dan sastra bahkan kedokteran, fisika, kimia, matematika, astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang-cabang ilmu lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka memainkan peran sebagai perintis dan pencetus berbagai bidang keilmuan.[4]
5. Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa, tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan, serta tak ada sekutu bagi-Nya. Mereka menafikan dari Dzat Allah swt. segala sifat-sifat kebendaan, anak, tempat, zaman, perubahan, gerak, naik dan turun, dan lain sebagainya yang tidak layak bagi keagungan, kesucian, kesempurnaan dan keindahan-Nya. Mereka juga meyakini bahwa hanya Dialah yang layak disembah, bahwa hukum serta syariat hanyalah milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan dengan segala macam-nya, secara terbuka maupun rahasia—adalah kezaliman yang amat besar dan dosa yang tak terampunkan.
Mereka percaya akan semua ini dapat dibuktikan atas dasar akal yang sehat yang sejalan dengan Al-Quran dan hadits shahih; dari manapun sumbernya. Mereka tidak bersandar pada hadis-hadis Israiliyat dalam bidang akidah, tidak pula mengambil ajaran dari hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Majusi; yang menggam-barkan Allah swt. dalam bentuk manusia, menyerupakan-Nya dengan makhluk-makhluk, atau menyandarkan perbuatan zalim dan kesia-siaan kepada-Nya. Sesung-guhnya Allah Maha Suci dan Maha Luhur dari apa yang mereka duga atau menisbatkan perbuatan tercela kepada para nabi a.s. secara mutlak.
6. Mereka meyakini bahwa Allah swt. Maha Adil dan Maha Bijaksana. Dia menciptakan alam semesta atas dasar keadilan dan kebijaksanaan. Dia tidak pernah mencip-takan sesuatu secara sia-sia, baik benda-benda mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, langit atau bumi, karena kesia-siaan itu bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan, juga bertentangan dengan sifat-Nya yang melazimkan setiap kesempurnaan yang niscaya dimiliki-Nya, serta melazimkan penafian segala kekurangan dari Dzat-nya.
7. Mereka meyakini bahwa Allah swt.—dengan keadilan dan kebijasanaan-Nya—telah mengutus kepada manusia para nabi dan rasul yang diangkat sebagai manusia-manusia maksum dan memiliki pengetahuan yang luas, yang bersumber dari wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia, membantu mereka mencapai kesem-purnaan yang diharapkan, dan mengarahkan mereka kepada ketaatan yang menurunkan surga, dan menyam-paikan mereka kepada rahmat dan keridhaan Allah swt.
Di antara para nabi dan rasul itu adalah Adam a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah disebutkan oleh Al-Quran, atau yang ada disebutkan nama dan keadaan-keadaan mereka dalam hadis-hadis yang mulia..
8. Mereka percaya bahwa siapa yang taat kepada Allah swt. dan melaksanakan perintah-perintah dan aturan-aturan-Nya di segala bidang kehidupan, ia akan selamat dan beruntung, serta layak mendapatkan pujian dan pahala,. meskipun ia hamba sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya, siapa yang bermaksiat kepada Allah swt. dan pura-pura bodoh terhadap segala perintah-Nya dan menerapkan hukum-hukum selain hukum-hukum Allah, ia akan rugi dan binasa, dan layak mendapatkan hujatan dan siksa, meskipun ia seorang tuan atau sayyid dari bangsa Quraisy, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi saw.
Mereka meyakini bahwa tempat pahala dan siksa adalah Hari kiamat, yang di dalamnya terdapat hari perhitungan, timbangan, surga, dan neraka. Dan hal itu akan terjadi setelah melewati alam kubur dan alam barzakh. Mereka juga menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang dianut oleh sebagian pengingkar Hari Kebangkitan, karena mempercayainya berarti mendustakan Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.
9. Mereka meyakini bahwa nabi, rasul terakhir dan yang paling utama adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw., yang telah dijaga dari kesalahan dan ketergelinciran, dan Allah telah memeliharanya dari segala maksiat, baik yang besar maupun yang kecil, sebelum dan sesudah menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan kepada-nya Al-Quran untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sepanjang masa. Nabi saw. telah meyampaikan risalah-Nya dan menunaikan amanat-Nya dengan benar dan ikhlas. Kaum Syi’ah mempunyai puluhan ribu karya di bidang penulisan siroh nabawi, kepribadian, sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizat-mukjizat Nabi saw. [5]
10. Mereka meyakini bahwa Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan ditulis oleh sekelompok sahabat-sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka adalah Ali bin Abi Thalib a.s. pada masa Nabi saw. dan melakukan penulisan wahyu di bawah pengawasannya. Dan karena perintah dan petunjuknya, mereka menghafal dan menyempurnakannya, menghitung huruf-hurufnya, kata-katanya, surat-surat dan ayat-ayatnya. Dan mereka menurunkan ke generasi berikutnya. Kitab suci inilah yang dibaca umat Islam saat ini dengan berbagai macam kelompok, siang dan malam, tanpa ada penambahan, pengurangan dan perubahan. Dan kaum Syi’ah dalam bidang ini memiliki karya-karya tulis yang banyak, baik yang besar maupun yang kecil.[6]
11. Mereka meyakini bahwa tatkala Rasulullah saw. sudah dekat ajalnya, beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan pemimpin umat Islam sepening-galnya secara politis dan mengarahkan mereka kepada Ali untuk mengikutinya, baik dalam pemikiran atau dalam pemecahan persoalan hidup mereka, dan mene-ruskan pendidikan dan pembinaan mereka. Pengang-katan itu atas dasar perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum” di akhir usia dan haji terakhirnya, dan di tengah kumpulan manusia yang ikut berhaji dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat, jumlah mereka lebih dari 100 ribu orang.
Pada kesempatan itu beberapa ayat Al-Quran telah turun, di antaranya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jika engkau itdak melaksanakannya berarti engkau tidak menyampai-kan risalah. Dan Allah akan melindungimu dari manusia. Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. Al Maidah [5]:67)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu dan aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku relakan Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 3)
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa dari agamamu, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.” (QS Al-Maidah [5]:3)
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِّلْكَافِرينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Seorang penanya bertanya tentang suatu kejadian ke atas orang-orang kafir, azab yang tidak ada penghalang (langsung).” (QS. Al-Ma’arij [70]:1-2)
Begitu juga Nabi saw. meminta orang-orang untuk berbaiat kepada Ali dengan berjabat tangan. Maka merekapun segera berbaiat. Dan orang pertama dari mereka adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar, serta sahabat-sahabat ternama.[7]
12. Mereka meyakini bahwa imam setelah Rasulullah saw. harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan Nabi saw. semasa hidup beliau, yaitu tugas-tugas memimpin dan memberikan petunjuk, pendidikan dan pengajaran, menjelaskan hukum-hukum, mengatasi problematika pemikiran, serta mejelaskan urusan sosial yang penting. Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan umat, agar mereka bisa diarahkan pada ketentraman. Oleh karena itu, seorang imam menyerupai Nabi dalam kemampuan dan sifat, di antaranya kemaksuman (‘ishmah) dan ilmu yang luas. Karena, imam sama seperti Nabi dalam kewenangan dan tanggung jawab kecuali menerima wahyu dan kenabian, sebab kenabian telah tertutup dan berakhir pada Rasulullah saw., beliau adalah penutup para nabi dan rasul. Agamanya adalah pemungkas seluruh agama, syariatnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh kitab. Tidak ada nabi setelahnya, tidak ada agama setelah agamanya, tidak ada syariat setelah syariatnya. Dan Syi’ah dalam hal ini memiliki karya-karya tulis yang banyak dan berbagai corak..
13. Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat terhadap pemimpin yang laik dan maksum, mengharuskan agar tidak cukup dengan penunjukan Ali a.s. saja sebagai khalifah dan pemimpin setelah Nabi, tetapi ini harus berkesinambungan sampai masa yang panjang dan sampai akar-akar Islam mengokoh dan dasar-dasar syariat terjaga, serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala bahaya yang mengancam setiap akidah dan aturan-aturan Tuhan. Hendaknya para imam dapat memberikan contoh praktis dan program yang sesuai dengan kondisi-kondisi yang akan dialami umat Islam setelahnya.
14. Mereka meyakini bahwa karena sebab tersebut di atas dan karena adanya hikmah yang tinggi, dengan perintah Allah swt. Nabi saw. telah menentukan 11 Imam setelah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan demikian, jumlah mereka adalah 12 imam. Jumlah ini bahkan nama etnis mereka (Quraisy) telah disinggung—meski tidak disebut-kan nama dan ciri-ciri khasnya—dalam kitab Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dengan redaksi yang berbeda-beda, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa: “Sesungguhnya agama ini akan senantiasa berjalan, tegak, mulia dan kuat selama di antara umat ada dua belas pemimpin atau khalifah yang semuanya berasal dari Quraisy”. (atau Bani Hasyim, sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab). Bahkan disebutkan pula nama-nama mereka dalam sebagian kitab selain Kutub As-Sittah, yaitu buku-buku tentang keutamaan (manâqib), syair dan sastra. Meskipun hadis-hadis ini tidak secara langsung menye-butkan dan menentukan dua belas Imam, yaitu Ali dan 11 Imam dari keturunannya, hanya saja hadis-hadis tersebut tidak bisa dimaknai kecuali keyakinan Syi’ah Ja’fariyah. Dan tidak ada penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali penafsiran mereka.[8]
15. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam itu ialah :
1. Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.
2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.
3. Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.
4. Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.
7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.
8. Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.
10. Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.
11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.
12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.
Para ahli sastra unggulan dari luar mazhab Syi’ah, baik dari kalangan Arab ataupun Ajam, telah membuat bait-bait syair secara terinci yang memuat nama-nama 12 imam seperti: Haskafi, Ibnu Thulun, Fadhl bin Ruz Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur dan Maulawi mereka dari pengikut Abu Hanifah, Syafi’i dan selainnya. Di sini kami hanya sebutkan dua kasidah sebagai contoh: pertama kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama abad ke-6 Hijriah:
“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya Hasan dan Husain, kemudian,
Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad Al-Bagir.
Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa Al-Khazim, dan setelahnya.
Ali (Ar-Ridha) yang menjadi waliyul Ahad, kemudian putranya Muhammad (Al-Jawad).
Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya yang benar dan jujur, Hasan (Al-Askari).
Yang selanjutnya Muhammad bin Hasan yang di yakini oleh orang-orang bahwa mereka adalah imam-imamku, tuanku.
Meskipun orang-orang mencaciku dan mendustakannya dan mencaci para imam, ketahuilah, muliakanlah mereka para imam yang namanya telah terjaga dan tidak bisa ditolak.
Mereka itu hujah-hujah Allah atas hamba-hamba-Nya mereka adalah jalan dan tempat tujuan.
Mereka di waktu siang berpuasa untuk Tuhan, dan di malam hari mereka ruku’ dan sujud di hadapanTuhan-Nya”.
Qasidah yang kedua dari Syamsuddin bin Muhammad bin Thulun Ulama abad ke-10 Hijriah, ia mengatakan :
“Kalian harus berpegang pada 12 imam dari keluarga Musthafa Rasul, sebaik-baik manusia , yaitu…
Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan Husain.
Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin perbuatan tercela…
Muhammad Al-Bagir yang mengetahui betapa banyak ilmu…
Ash-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara manusia …
Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya Ali.
Ar-Ridha yang tinggi kedudukannya.
Muhammad At-Taqi yang hatinya penuh dan makmur dengan cahaya dan hikmah.
Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya tersebar.
Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan.
Dan muhammad Al-Mahdi yang akan muncul.
Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait, yang berdasar-kan perintah Allah swt, telah ditentukan oleh Nabi saw. sebagai pemimpin umat Islam, karena kemaksuman dan kesucian mereka dari kesalahan dan dosa, dan karena ilmu mereka yang luas yang telah mereka warisi dari sang datuk Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai dan mengikuti mereka. Dalam hal ini Allah swt. berfiman:
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
“Katakan hai Muhammad, Aku tidak meminta kepada kalian upah atas apa yang aku lakukan kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (QS. Al-Syura [42]:23)
Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah [9]:119)
16. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam suci—yang sejarah belum pernah mencatat dari mereka penyele-wengan atau kemaksiatan, baik dalam ucapan atau pun perbuatan—dengan bekal ilmu yang luas telah berkhid-mat kepada umat Islam dan memperkaya mereka dengan pengetahuan yang dalam serta pandangan yang benar dalam akidah, syariat, akhlak, sastra, tafsir, sejarah serta cakrawala masa depan. Demikian juga, mereka telah mendidik atau membina melalui ucapan atau perbuatan sekelompok laki-laki dan perempuan yang unggul di mana semua orang telah mengenal mereka dengan keutamaannya, ilmunya dan kebaikan prilakunya.
Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa meskipun mereka para imam telah dijauhkan dari kedudukan kepemim-pinan politis, tetapi mereka telah menunaikan dan menyampaikan misi intelektual dan tugas sosial mereka dengan sebaik-baiknya, karena mereka telah menjaga dasar-dasar akidah dan pilar-pilar syariat dariancaman penyimpangan.
Sekiranya umat islam memberikan kesempatan kepada mereka untuk melakukan peran politik yang telah Rasul berikan kepadanya atas dasar perintah Allah swt., niscaya umat Islam akan mencapai kebahagian dan kemuliaan, serta keagungannya secara penuh, dan mereka akan menjadi satu, bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf dan pertentangan, peperangan, saling bunuh-membunuh, dan mereka tidak hina dan diremahkan.
17. Dengan menunjuk pada dalil-dalil Naqli dan Aqli, yang begitu banyak disebutkan dalam buku-buku Akidah, mereka meyakini bahwa umat Islam hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi, dan senantiasa berada di jalannya, karena jalan Ahlul Bait adalah jalan yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. untuk umat dan beliau telah mewasiatkan kepada umat agar menapaki jalan mereka dan berpegang teguh pada mareka, sebagaimana dalam hadis “Tsaqalain” yang mutawatir, seraya berkata :
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian dua pusaka; kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlul Bait. Selama berpegang teguh pada keduanya,kalian tidak akan tersesat”.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya dan oleh puluhan ahli-ahli hadis dan ulama-ulama disetiap abad.
Begitu pula, pengangkatan khalifah dan pewasiatan seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan para nabi-nabi terdahulu.
18. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa umat Islam hendaknya mendiskusikan dan mempelajari masalah-masalah seperti ini dengan menjauhkan diri dari caci maki, tuduhan yang tak beralasan dan melakukan fitnah. Dan hendaknya para ulama dan cendikiawan dari seluruh kelompok dan golongan umat Islam ber-kumpul dalam muktamar-muktamar ilmiah, mem-pelajari dengan lapang dada dan ikhlas serta dengan semangat persau-daraan dan obyektifitas tentang klaim-klaim saudara-saudara mereka dari kaum Syi’ah Ja’fariah, serta dalil-dalil yang mereka bawakan untuk membuktikan pandangan-pandangannya berdasarkan Al-Quran, hadis mutawatir dari Rasulullah saw., akal sehat, pertimbangan sejarah, keadaan politik dan sosial secara umum pada masa Nabi dan setelahnya.
19. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat dan orang-orang yang berada di sekeliling Nabi dari kaum laki-laki dan perempuan telah berkhidmat kepada Islam dan mereka telah mengerahkan seluruh jiwa raganya di jalan penyebaran Islam.
Hendaknya umat Islam menghormati mereka, meng-hargai perjuangan dan bakti mereka dan memohon kerelaan mereka. Hanya saja, hal ini tidak berarti menganggap mereka semua sebagai manusia-manusia yang mutlak adil, tidak pula berarti sebagian sikap dan perbuatan-perbuatan mereka tidak bisa dikritik, karena mereka adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar.
Sejarah telah menyebutkan bahwa sebagian mereka telah menyimpang dari jalan yang benar meskipun di masa hidup Nabi saw. Bahkan Al-Quran secara eksplisit menyebutkan adanya penyimpangan itu di sebagian surat dan ayat-ayatnya, seperti surat Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat, At-Tahrim, Fath, Muhammad dan At-Taubah.
Kritik yang sehat terhadap suatu golongan tidaklah dinyatakan kafir, karena tolak ukur iman dan kufur sangat jelas, yaitu mengakui atau menafikan tauhid dan kenabian, serta hal-hal yang sangat mudah dimengerti (badihi) dari masalah agama, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya arak, khamar, judi dan hokum-hukum lainnya.
Memang, lidah harus dijaga dari perbuatan mencaci maki, juga pikiran harus dijaga dari cara bernalar yang dangkal, karena hal ini bukanlah karakter seorang muslim yang terdidik, yang mengikuti prilaku Nabi Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan para sahabat itu adalah orang-orang baik yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu diketahui bahwa ketundukan mereka pada Qaidah Jarah wa Ta’dil (yaitu sebuah kaidah ilmu Rijal yang mempertimbangkan kualitas kepribadian para perawi hadis, -peny.), yaitu:
Meneliti hadis-hadis Nabi yang shahih, yang dianggap kuat, padahal telah diketahui pula akan banyaknya kebohongan-kebohongan yang telah dinisbatkan kepada Nabi saw., sebagaimana yang telah banyak diketahui. Dan Nabi saw. sendiri telah mengkhabarkan akan terjadinya hal itu, dan kalian pula yang mendorong ulama-ulama kedua kelompok (Sunnah-Syi’ah) seperti; Suyuthi, Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk menulis buku-buku yang berbobot yang dapat menyaring antara hadis-hadis yang benar-benar keluar dari Nabi dan hadis-hadis maudhu’ atau palsu.
20. Syi’ah Ja’fariyah meyakini adanya Imam Mahdi a.s. yang dinanti berdasarkan riwayat-riwayat yang begitu banyak dari Nabi saw. yang menyebutkan, bahwa dia dari keturunan Fatimah, dan dia keturunan yang kesembilan dari Imam Husain a.s., karena anak atau keturunan yang kedelapan dari Imam Husain adalah Imam Hasan Al-Askari, yang telah meninggal pada tahun 260 H sedangkan beliau tidak mempunyai anak kecuali anak yang diberi nama Muhammad. Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi panggilan nasab Abul Qasim. Banyak orang-orang terpercaya dari umat Islam yang telah melihatnya. Dan mereka telah meng-kabarkan akan kelahirannya, cirri-ciri khasnya, keimamahannya dan nas dari ayahnya yang me-nunjukkan kepemimpinannya.
Dia telah gaib setelah 50 tahun dari kelahirannya, karena musuh-musuh ingin membunuhnya. Oleh karena itu, Allah swt. menyimpannya untuk menegakkan pemerintahan yang adil, universal pada akhir zaman, dan mensucikan bumi dari kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi oleh keduanya.
Maka tidak aneh dan tidak pula mengherankan akan panjangnya usia beliau dan masih hidup sampai sekarang, meskipun sudah melampaui abad 20 dari kelahirannya. Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah hidup sampai 950 tahun di tengah umatnya, dan menyeru mereka kepada Allah,atau Nabi Haidir a.s. yang sampai saat ini masih hidup.
Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, dan kehendaknya berjalan tanpa ada yang bisa mencegah dan menolaknya. Bukankah Allah swt. telah menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s. dalam firmannya:
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Maka, sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai Hari Kebangkitan. (QS. Al-Shaffat [ 37]:143-144).
Sebagian besar ulama Ahli Sunnah meyakini kelahiran Imam Mahdi a.s. dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan nama kedua orang tuanya, serta sifat-sifatnya, di antara mereka ialah:
1. Abdul Mu’min Syablanji Al-Syafi’i dalam kitabnya, Al-Abshor fi Manaqibi Nabi al-Muchtar.
2. Ibnu Hajar Haitami Makki Asy-Syafi’i dalam kitabnya Ashowaiq al Muhriqah, seraya menga-takan; Abul Qasim Muhammad Al-Hujjah, ditinggal wafat oleh ayahnya pada usia lima tahun. tetapi Allah swt. memberikan hikmah padanya. Dia juga disebut sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.
3. Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-Balkhi dalam bukunya, Yanabi al Mawaddah, yang dicetak di ibukota Turki masa Dinasti Otoman.
4. Sayyid Muhammad Shidiq Hasan Al-Qonuji Al-Bukhori dalam kitabnya, Al-Izhaa’ah Liman Kana waman Yakunu baina Yaday Assaa’ah.
Mereka ini termasuk ulama-ulama terdahulu. Adapun dari ulama-ulama mutakhir, seperti; Dr. Musthafa Rafi’i dalam bukunya Islamuna, telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dan menjawab seluruh kritik seputar masalah ini.
21. Kaum Syi’ah Ja’fariyah melakukan shalat, puasa, haji, membayar khumus (1/5) pendapatan mereka, haji ke Mekkah yang mulia, melaksanakan manasik umrah dan haji seumur hidup sekali, sedangadapun dari itu adalah sunnah, memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar, berpihak kepada wali-wali Allah dan Nabinya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan musuh-musuh Nabi-Nya, berjihad di jalan Allah terhadap setiap orang kafir atau musyrik yang terang-terangan memerangi Islam, dan terhadap setiap orang yang berbuat makar terhadap umat Islam.
Mereka melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi, sosial, keluarga, seperti jual beli, penyewaan, nikah, talak, warisan, pendidikan, menyusui, hijab dan lain sebagainya, sesuai dengan hukum-hukum Islam yang benar dan lurus. Mereka mengamalkan hukum-hukum ini dari proses ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka yang warak dengan berdasarkan pada hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul Bait, akal dan konsensus (ijma’) ulama.
22. Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang bersifat harian, memiliki waktu tertentu, dan waktu-waktu shalat harian adalah Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Yang paling penting adalah melakukan setiap shalat pada waktunya yang khusus. Hanya saja, mereka melakukan jamak antara dua shalat Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya karena Rasulullah saw. melakukan jamak dua shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan tanpa berpergian, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya, “Sebagai keringanan untuk umat serta untuk mempermudah bagi mereka”. Dan itu telah menjadi masalah biasa pada masa kita sekarang ini.
23. Mereka mengumandangkan azan sebagaimana azannya umat Islam yang lain. hanya saja mereka sebutkan setelah hayya ‘alal falah dengan redaksi hayya ‘ala khairil ‘amal, karena telah ada sejak zaman Nabi saw. Hanya saja, pada zaman Umar bin Khaththab, kalimat itu dihapus atas dasar ijtihad pribadinya, dengan alasan bahwa hal itu dapat memalingkan umat Islam dari berjihad. Padahal mereka tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik perbuatan (sebagaimana pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari dalam kitab Syarah Tajrid Al-I’tiqad,Al-Mushannaf, karya Al-Kindi, Kanz Al-Ummal karya Muttaqi Hindi, dll. Umar bin Khaththab telah manambahkan sebuah redaksi Ashalatul khairul minanauum sementara kalimat itu tidak pernah ada pada zaman Nabi saw.
Dan sesungguhnya ibadah, dan muqaddimah-muqaddimahnya dalam Islam itu harus berdasarkan kepada perintah dan izin syariat yang suci. Artinya, segalanya harus berlandaskan pada nas yang khusus ataupun yang umum dari Al-Quran dan hadis. Bila tidak, maka hal itu dikatakan sebagai bid’ah yang harus ditolak.
Oleh karena itu, dalam ibadah, bahkan dalam setiap masalah syariat tidak boleh ada penambahan atau pengurangan dengan pendapat pribadi.
Adapun apa yang ditambahkan Syi’ah Ja’fariyah setelah syahadah kepada Rasulullah saw. (Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah),berupa kalimat Asyhadu anna Aliyan waliyullah karena adanya riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang menjelaskan bahwa tidaklah disebutkan kalimat Muhammad Rasulullah atau tidaklah ditulis kalimat tersebut di atas pintu surga, kecuali diikuti dengan kalimat (‘Aliyan waliyullah), yaitu sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa Syi’ah tidak mempercayai kenabian Ali bin Abi Thalib, apa lagi sampai mengatakan ketuhanannya. Karenanya, diperbolehkan untuk membaca kalimat itu setelah dua syahadat, dengan niat bahwa itu tidak termasuk bagian atau kewajiban dari azan. Inilah pendapat mayoritas ulama-ulama ahli fiqih Syi’ah Ja’fariyah.
Oleh sebab itu,kalimat tambahan yang dibaca ini bukan bagian dari azan sebagaimana yang telah kami katakan, dengan demikian bukan termasuk dari yang tidak ada pada mulanya dalam syariat, tidak pula termasuk bid’ah.
24. Mereka sujud di atas tanah , debu, kerikil, atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak riwayat di dalam sumber-sumber Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul saw. adalah sujud di atas debu atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.
Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas serban (ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal !”. Begitu juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah !”.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan lainnya, Nabi saw. juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku sebagai tempat sujud yang suci”.
Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas tanah, tatkala sujud merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah swt, karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal wujudnya. Bukankah Allah swt. berfiman:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan kepadanya kami akan kembalikan kamu sekalian, serta darinya kami akan mengeluarkan (membangkitkan) kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha [20]:55)
Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan sederhana, yaitu tanah.[9]
Tentunya, debu tersebut harus suci. Orang-orang Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipres dan sudah jelas kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah, seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan mereka dan untuk mendapatkan berkahnya.
Meski demikian, Syi’ah Ja’fariyah tidak memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram.
Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi saw. tidak pernah melakukan hal itu, juga karena tidak ada nas yang kuat dan jelas yang menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut mazhab Maliki tidak melakukan sedekap tersebut.[10]
25. Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam ayat wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan kepala mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan dua basuhan dan dua usapan”.[11]

Friday, October 24, 2014

Eksistensi Abdullah Bin Saba Menurut Paham Syiah


Abdullah Bin Saba didaulat sebagai tokoh pendiri madzhab syi'ah yang menurut sebagian buku seperti Tarikh Milal wa Nihal madzhab syiah didirikan olehnya pada masa khalifah Utsman bin Affan.[1] Namun demikian, klaim ini tentunya bisa kita pertanyakan dan tinjau kembali sejauh mana kebenarannya. Karena sebagaimana yang akan dibahas nanti bahwa sumber primer yang dijadikan rujukan dalam menukil tokoh ini berasal dari satu sumber. Dan sumber inipun oleh beberapa sejarawan serta muhaditsin tidak diterima keabsahannya.

Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang mesti diajukan, apakah Abdullah bin Saba merupakah tokoh nyata dalam sejarah islam ataukah sekedar tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencoba meninjau kembali kebenaran tokoh Abdullah bin Saba tersebut.

Sekilas Tentang Abdullah bin Saba dan Pemikirannya

 Lebih dari seribu tahun lamanya para sejarawan (lama maupun kontemporer)  dalam kitabnya telah mencatat riwayat-riwayat mencengangkan mengenai Abdullah bin Saba dan Sabaiyun (pengikut Abdullah bin Saba). Lantas siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba? Bagaimanakah pemikirannya serta apa yang telah dilakukannya?

Dibawah ini beberapa riwayat ringkas dari para sejarawan mengenai Abdullah bin Saba:

Seorang Yahudi dari  Shan'a di Yaman yang pada zaman khalifah ketiga pura-pura masuk Islam dan secara sembunyi-sembunyi membuat sebuah gerakan untuk memecah belah ummat Islam. Ia melakukan berbagai perjalanan ke kota-kota  besar islam seperti Kufah, Basrah, Damsyik, dan Mesir sambil menyebarkan suatu kepercayaan akan kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagaimana akan kembalinya Nabi Isa As. Dan sebagaimana para nabi sebelumnya memiliki washi (pengganti), Ali adalah washi dari Nabi Muhammad SAW. Dia penutup para washi sebagaimana Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, dan menuduh Utsman dengan zalim telah merampas hak washi ini darinya, serta mengajak masyarakat untuk bangkit mengembalikan kedudukan washi tersebut pada yang berhak.2

 Sejarahwan menyebut tokoh utama dari cerita tersebut di atas adalah Abdullah bin Saba dengan laqab "Ibn Ummat Sauda" –Anaknya budak hitam- mereka mengatakan Abdullah bin Saba mengirimkan para muballighnya ke berbagai kota dan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar memerintahkan pada mereka untuk melumpuhkan para pemimpin di kota-kota tersebut. Kaum muslimin pun banyak yang mengikutinya dan membantu mensukseskan rencananya.

Mereka mengatakan Sabaiyun (sebutan untuk para pengikut Abdullah bin Saba) dimana saja berada dalam rangka memuluskan rencananya, mereka memprovokasi serta menghasut masyarakat untuk melawan pemerintah dan menulis surat kritikan terhadap pemerintah, tidak hanya itu,  surat inipun dikirimkan ke berbagai daerah lain. Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok sabaiyun ini akhirnya membuahkan hasil yaitu dengan berdatangannya sebagian dari kaum muslimin ke madinah untuk memblokade serta mengepung rumah khalifah ketiga (Ustman bin Affan) dan berakhir pada terbunuhnya khalifah di tangan mereka. Yang kesemuanya ini berada dibawah kepemimpinan kelompok sabaiyun.

Setelah kaum muslimin menyatakan bai'atnya pada Ali , Aisyah (ummul mukminin) beserta Talhah dan Zubair untuk menuntut terbunuhnya Utsman bergerak menuju Bashrah. Di luar kota Bashrah antara Ali dengan Talhah dan Zubair sebagai pemimpin pasukan Aisyah dalam perang Jamal melakukan perundingan. Hal ini diketahui oleh kelompok Sabaiyun bagi mereka jika perundingan dan kesepahaman ini sampai terjadi penyebab asli dari terbunuhnya khalifah ketiga yang tiada lain adalah mereka sendiri akan berdampak negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, malam hari mereka memutuskan untuk menggunakan cara apapun yang bisa dilakukan agar perang tetap terjadi. Akhirnya mereka menyusup masuk pada kedua kelompok yang berbeda. Pada malam hari ditengah kedua pasukan dalam kondisi tertidur dan penuh harap agar perang tidak terjadi, kelompok sabaiyun yang berada di pasukan Ali melakukan penyerangan dengan memanah pasukan Talhah dan Zubair, dan sebaliknya akhirnya perangpun antara kedua belah pihak tidak bisa terhindarkan lagi.3





Sumber Riwayat Abdullah bin Saba



Untuk lebih mengetahui siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba, alangkah baiknya jika kita melihat sebagian pendapat para sejarawan dalam menceritakan sosok Abdullah bin Saba dan sumber yang digunakannya, yang pada akhirnya kita akan bermuara pada sumber asli penukilan dari cerita Abdullah bin Saba tersebut.



1. Sayyid Rasyid Ridha

Sayyid Rasyid Ridho dalam bukunya (Syi’ah wa Sunni, hal. 4-6) mengatakan bahwa pengikut syiah memulai perpecahan antara dien dan politik di tengah ummat Muhammad Saw, dan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar syiah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang berpura-pura masuk Islam, dia mengajak masyarakat untuk membesar-besarkan Ali, sehingga terciptalah perpecahan dikalangan ummat, dan telah merusak dien dan dunia mereka.

Cerita ini pun terus berlanjut sampai halaman enam kemudian dia mengatakan apabila seseorang ingin mengetahui  peristiwa perang Jamal, lihatlah kitab Tarikh Ibnu Atsir, Jilid 3, hal.95-103, maka akan ditemukan sejauhmana peran Sabaiyun dalam memecah belah ummat, dan secara mahir memainkan perannya serta tidak mengizinkan terjadinya perdamaian diantara keduanya (kelompok Ali dan Aisyah).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Rasyid Ridlo mengutip cerita ini dari kitab Tarikh Ibnu Atsir.



2. Ibnu Atsir (w. 732 H)

Ibnu Atsir (w. 630 H.Q) menuliskan secara sempurna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar tahun 30-36 H tanpa menyebutkan  sumber-suber yang dijadikan rujukannya, namun dalam prakata bukunya Tarikh al-Kamil ia mengatakan "Saya telah mendapatkan riwayat-riwayat ini dari kitab Tarikhul Umam wa Al-Muluk yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Thabari.





3. Ibnu Katsir (w. 747 H)

Ibnu Katsir (w.774 H.Q) dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah wa Al-Nihayah meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba dengan menukil dari Thabari dan pada halaman 167  dia mengatakan:

"Saif bin Umar mengatakan: sebab dari penyerangan terhadap Utsman adalah karena seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba yang mengaku islam dan dia pergi menuju Mesir kemudian membentuk para muballig dan ..." Kemudian cerita Abdullah bin Saba dengan seluruh karakteristiknya terus berlanjut sampai halaman 246 kemudian dia mengatakan :

"Demikianlah ringkasan yang dinukil oleh Abu Ja'far Thabari"



4. Ibnu Khaldun

Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun dalam bukunya yang berjudul Al-Mubtada' wa Al-Khabar sebagaimana Ibnu Atsir dan Ibnu katsir dalam menceritikan Abdullah bin saba telah mengutip dari Thabari. Dia setelah menukil peristiwa perang jamal (jilid 2, hal 425) mengatakan:

"Demikianlah peristiwa perang jamal yang diambil secara ringkas dari kitabnya Abu Ja'far Thabari..."



5. Thabari (w. 310 H)

Tarikh Thabari adalah kitab sejarah yang paling lama yang menjelaskan cerita Abdulah bin Saba disertai dengan para perawi dari cerita tersebut. Semua kitab sejarah yang ada setelahnya dalam menjelaskan cerita Abdulah bin Saba menukil dari Tarikh Thabari. Oleh karenanya kita harus melihat dari manakah dia menukil cerita tersebut serta bagaimanakah sanadnya?

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Thabari Amuli (w. 310 H) cerita sabaiyun dalam kitabnya Tarikh Al-Imam wa Al-Muluk hanya menukil dari Saif bin Umar Tamimi Kufi. Ia merujuk hanya sebagian dari peristiwa-peristiwa itu, sebagai berikut :

Pada tahun yang sama (yakni 30 H) peristiwa mengenai Abu Dzar dan Muawiyah, dan pengiriman Abu Dzar oleh muawiyah dari Syam ke Madinah. Banyak hal yang dikatakan tentang peristiwa itu, tetapi saya tidak mau menuliskannya, sebagaimana Sari bin Yahya telah menuliskannya buat saya demikian:

"Syu'aib bin Ibrahim telah meriwayatkan dari Saif bin Umar:"...Karena Ibnu Sauda sampai ke Syam (Damsyik) dia bertemu dengan Abu Dzar dan berkata: Wahai Abu Dzar! Apakah kamu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Muawiyah?.. Kemudian Thabari cerita Ibnu Saba hanya menukilnya dari Saif dan dia mengakhiri penjelasannya mengenai keadaan Abu Dzar dengan mengatakan :"Orang-orang lain telah berbicara banyak riwayat pembuangan Abu Dzar, tetapi saya segan menceritakannya kembali"

 Mengenai peristiwa-peristiwa dalam tahun-tahun 30-36 H, Thabari mencatat riwayat bin Saba dan kaum sabaiyah, pembunuhan Utsman serta peperangan jamal dari Saif. Dan Saif adalah satu-satunya orang yang dapat dikutipnya.



Thabari meriwayatkan kisahnya dari Saif melalui dua orang:



1. 'Ubaidillah bin Sa'id  Zuhri dari pamannya Ya'qub bin Ibrahim dari Saif.

Dari jalur-jalur ini riwayat-riwayat tersebut dia mendengar dari 'Ubaidillah dan menggunakan lafadz "Haddatsani atau Haddatsana" yaitu diceritakan kepada saya atau diceritakan kepada kami.



2. Sari bin Yahya dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Thabari dalam jalur sanad ini hadits-hadits Saif  diambil dari dua bukunya yang berjudul Al-Futuh dan Al-Jamal, dengan dimulai oleh kata Kataba ilayya (ia menulis kepada saya), Haddatsani (ia meriwayatkan kepada saya) dan Fi Kitabihi Ilayya (dalam suratnya kepada saya)4

Dengan demikian dari beberapa sumber di atas sebagai sumber rujukan dalam menceritakan Abdullah bin Saba semuanya pada akhirnya merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Thabari dalam buku masyhurnya Tarikh Thabari. Namun demikian,  ada juga beberapa sejarahwan lain yang meriwayatkan Abdullah bin Saba dan kaum Sabaiyun tidak mengutip dari Thabari, tetapi langsung mengutipnya dari Saif, mereka adalah :



1. Ibnu 'Asakir (w. 571 H)

Ibnu 'Asakir mencatat dari sumber lain. Dalam bukunya Tarikh Madinah Damsyik , ketika ia menulis tentang biografi Thalhah dan Abdulah bin Saba, dia telah mengutip bagian-bagaian dari cerita-cerita tentang kaum Sabaiyah melalui Abul Qasim Samarqandi dan Abul Husain Naqqur dari Abu Thaher Mukhallas dari Abu Bakar bin Saif dari Sari dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Jadi sumbernya adalah Sari, salah satu dari dua jalur yang telah dikutif Thabari.



2. Ibnu Abi Bakr (w. 741 H)

Bukunya At-Tamhid telah dijadikan sumber dan dinukil oleh beberapa penulis. Buku itu meriwayatkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Dalam bukunya itu disebutkan buku Al-Futuh karangan Saif.5



3. Dzahabi

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Islam meriwayatkan sebagaian riwayat mengenai Abdullah bin Saba. Ia memulai dengan menukil dua riwayat dari Saif  yang sebelumnya oleh Thabari tidak dinukil. Dia mengatakan:

"Berkata Saif bin Umar bahwa Athiyyah mengatakan, bahwa Yazid Al-Faq'asi mengatakan ketika Abdullah bin Saba pergi ke Mesir..."6

Dari beberapa sumber riwayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar sejarahwan pasca Thabari dalam meriwayatkan sejarah mengenai Abdullah bin Saba semuanya bersumber dari buku Tarikh Thabari. Sementara hanya sebagian kecil saja dari sejarahwan yang langsung menukil riwayat mengenai Abdulah bin Saba dan Kaum Sabaiyah ini dari Saif yaitu, Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Bakr dan Dzahabi. Dengan kata lain seluruh riwayat mengenai Abdullah bin Saba ini pada akhirnya bermuara pada Saif bin Umar yang kemudian dari dialah Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abu Bakr dan Dzahabi mengutip.

Lantas siapakah  sebenarnya Saif bin Umar, kemudian bagaimanakah dia dan riwayat-riwayat yang dikeluarkan olehnya di mata para muhaditsin. Dengan mengetahui jawaban ini kita bisa mengukur sejauh mana validitas riwayat-riwayat yang dikeluarkannya termasuk dalam hal ini riwayat mengenai Abdullah bin Saba.



Siapakah Saif bin Umar?



Menurut Thabari, namanya yang lengkap adalah Saif bin umar Tamimi Al-Usaidi. Menurut Al-Lubab Jamharat Al-Ansab dan Al-Isytiqaq, namanya Amr bin Tamimi. Karena ia keturunan Amr maka ia telah mengkontribusikan lebih banyak lagi tentang perbuatan-perbuatan heroik Bani Amr ketimbang yang lain-lainnya.

Namanya disebut sebagai usady, sebagai ganti Osayyad, dalam Al-Fihrist oleh Ibn Nadim. Dalam Tahdzib Al-Tahdzib, ia juga disebut Burjumi, Sa'adi atau Dhabi. Disebutkan pula bahwa Saif berasal dari Kufah dan tinggal di Baghdad, meninggal pada tahun 170 H pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ( 170-193 H).



Saif bin Umar Tamimi menulis dua buah buku yang berjudul:

1.  Al-Futuh Al-Kabir wa Al-Riddah, isinya menjelaskan tentang sejarah dari sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw hingga pada masa Utsman menjadi khalifah.

2. Al-Jamal wa Al-Masiri 'Aisyah wa Ali, mengenai sejarah sejak terbunuhnya Utsman sampai peristiwa peperangan jamal.

          Kedua buku ini lebih banyak menceritakan tentang fiksi ketimbang kebenaran. Sebagian dari cerita-ceritanya adalah cerita palsu yang dibuat olehnya. Kemudian kedua buku ini pun menjadi sumber rujukan para sejarawan seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Atsir, Dzahabi dan Ibnu Hajar ketika mereka hendak menulis dan menjelaskan perihal para sahabat Nabi Saw.

Allamah Askari menjelaskan dalam bukunya bahwa setelah diadakan penelitian terhadap buku-buku yang dikarang oleh keempat sejarahwan di atas ditemukan bahwa ada sekitar 150 sahabat nabi buatan yang dibuat oleh Saif bin Umar.7

Ahli Geografi seperti Al-Hamawi dalam bukunya Mu'jam Al-Buldan dan Al-Himyari dalam Al-Raudh yang menulis kota-kota islam juga menggunakan riwayat dari Saif dan menyebutkan nama-nama tempat yang diada-adakan oleh Saif8  Dengan demikian Saif tidak hanya membuat tokoh fiktif Abdullah bin Saba tetapi juga dia telah membuat ratusan tokoh fiktif lainnya dan juga tempat-tempat fiktif yang dalam realitasnya tidak ada. Berikut ini adalah pandangan dan penilaian para penulis biografi tentang nilai-nilai tulisan Saif :

1.    Yahya bin Mu'in (w. 233 H); "Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna".

2.    Nasa'i (w. 303 H) dalam kitab Shahih-nya mengatakan : "Riwayat-riwayatnya lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya."

3.    Abu Daud (w. 275H) mengatakan: "Tidak ada harganya, ia seorang pembohong (Al-Kadzdzab)."

4.    Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) mengatakan bahwa : "Dia telah merusak hadist-hadits shahih, oleh karena itu janganlah percaya terhadap riwayat-riwayatnya dan tinggalkanlah hadists-hadistnya."

5.    Ibnu Sakan (w. 353 H)_mengatakan : "Riwayatnya lemah."

6.    Ibnu Hiban (w. 354 H) dia mengatakan bahwa :" Hadists-hadits yang dibuat olehnya kemudian disandarkan pada orang yang terpercaya" juga dia berkata "Saif dicurigai sebagai Zindiq; dan dikatakan dia telah membuat hadits-hadits yang kemudia hadis tersebut dia sandarkan pada orang yang terpercaya."

7.    Daruqutni (w. 385 H) berkata :" Riwayatnya lemah. Tinggalkanlah hadits-haditsnya."

8.    Hakim (w. 405 H) mengatakan : "Tinggalkanlah hadits-haditsnya, dia dicurigai sebagai seorang zindiq."

9.    Ibnu 'Adi (w. 365 H) mengatakan : "Lemah, sebagian dari riwayat-riwayatnya terkenal namun sebagian besar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti."

10. Firuz Abadi (w. 817 H) penulis kamus mengatakan:" Riwayatnya lemah."

11. Muhammad bin Ahmad Dzahabi (w. 748 H) mengenainya dia mengatakan :"Para ilmuwan dan ulama semuanya sepakat bahwa riwayatnya lemah dan ditinggalkan."

12. Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan :"hadisnya lemah" dan dalam buku lain mengatakan :Walaupun banyak riwayat yang dinukil olehnya  mengenai sejarah dan penting, tapi karena dia lemah, hadits-haditsnya ditinggalkan."

13. Sayuti (w. 911 H) mengatakan :"Sangat lemah."

14. Shafiuddin (w. 923 H) mengatakan :"Menganggapnya lemah."



Dari beberapa pendapat di atas (baik dari kalangan syi'ah maupun ahlu sunnah) menunjukan bahwa Saif bin Umar  sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.

Wallahu ‘alam bishshawwab.