Friday, October 24, 2014

Eksistensi Abdullah Bin Saba Menurut Paham Syiah


Abdullah Bin Saba didaulat sebagai tokoh pendiri madzhab syi'ah yang menurut sebagian buku seperti Tarikh Milal wa Nihal madzhab syiah didirikan olehnya pada masa khalifah Utsman bin Affan.[1] Namun demikian, klaim ini tentunya bisa kita pertanyakan dan tinjau kembali sejauh mana kebenarannya. Karena sebagaimana yang akan dibahas nanti bahwa sumber primer yang dijadikan rujukan dalam menukil tokoh ini berasal dari satu sumber. Dan sumber inipun oleh beberapa sejarawan serta muhaditsin tidak diterima keabsahannya.

Berdasarkan hal tersebut, pertanyaan mendasar yang mesti diajukan, apakah Abdullah bin Saba merupakah tokoh nyata dalam sejarah islam ataukah sekedar tokoh fiktif yang sengaja dibuat untuk kepentingan tertentu.

Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk mencoba meninjau kembali kebenaran tokoh Abdullah bin Saba tersebut.

Sekilas Tentang Abdullah bin Saba dan Pemikirannya

 Lebih dari seribu tahun lamanya para sejarawan (lama maupun kontemporer)  dalam kitabnya telah mencatat riwayat-riwayat mencengangkan mengenai Abdullah bin Saba dan Sabaiyun (pengikut Abdullah bin Saba). Lantas siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba? Bagaimanakah pemikirannya serta apa yang telah dilakukannya?

Dibawah ini beberapa riwayat ringkas dari para sejarawan mengenai Abdullah bin Saba:

Seorang Yahudi dari  Shan'a di Yaman yang pada zaman khalifah ketiga pura-pura masuk Islam dan secara sembunyi-sembunyi membuat sebuah gerakan untuk memecah belah ummat Islam. Ia melakukan berbagai perjalanan ke kota-kota  besar islam seperti Kufah, Basrah, Damsyik, dan Mesir sambil menyebarkan suatu kepercayaan akan kebangkitan Nabi Muhammad SAW sebagaimana akan kembalinya Nabi Isa As. Dan sebagaimana para nabi sebelumnya memiliki washi (pengganti), Ali adalah washi dari Nabi Muhammad SAW. Dia penutup para washi sebagaimana Muhammad SAW sebagai penutup para nabi, dan menuduh Utsman dengan zalim telah merampas hak washi ini darinya, serta mengajak masyarakat untuk bangkit mengembalikan kedudukan washi tersebut pada yang berhak.2

 Sejarahwan menyebut tokoh utama dari cerita tersebut di atas adalah Abdullah bin Saba dengan laqab "Ibn Ummat Sauda" –Anaknya budak hitam- mereka mengatakan Abdullah bin Saba mengirimkan para muballighnya ke berbagai kota dan dengan dalih amar ma'ruf nahi munkar memerintahkan pada mereka untuk melumpuhkan para pemimpin di kota-kota tersebut. Kaum muslimin pun banyak yang mengikutinya dan membantu mensukseskan rencananya.

Mereka mengatakan Sabaiyun (sebutan untuk para pengikut Abdullah bin Saba) dimana saja berada dalam rangka memuluskan rencananya, mereka memprovokasi serta menghasut masyarakat untuk melawan pemerintah dan menulis surat kritikan terhadap pemerintah, tidak hanya itu,  surat inipun dikirimkan ke berbagai daerah lain. Propaganda dan agitasi yang dilakukan oleh kelompok sabaiyun ini akhirnya membuahkan hasil yaitu dengan berdatangannya sebagian dari kaum muslimin ke madinah untuk memblokade serta mengepung rumah khalifah ketiga (Ustman bin Affan) dan berakhir pada terbunuhnya khalifah di tangan mereka. Yang kesemuanya ini berada dibawah kepemimpinan kelompok sabaiyun.

Setelah kaum muslimin menyatakan bai'atnya pada Ali , Aisyah (ummul mukminin) beserta Talhah dan Zubair untuk menuntut terbunuhnya Utsman bergerak menuju Bashrah. Di luar kota Bashrah antara Ali dengan Talhah dan Zubair sebagai pemimpin pasukan Aisyah dalam perang Jamal melakukan perundingan. Hal ini diketahui oleh kelompok Sabaiyun bagi mereka jika perundingan dan kesepahaman ini sampai terjadi penyebab asli dari terbunuhnya khalifah ketiga yang tiada lain adalah mereka sendiri akan berdampak negatif terhadap mereka. Oleh karena itu, malam hari mereka memutuskan untuk menggunakan cara apapun yang bisa dilakukan agar perang tetap terjadi. Akhirnya mereka menyusup masuk pada kedua kelompok yang berbeda. Pada malam hari ditengah kedua pasukan dalam kondisi tertidur dan penuh harap agar perang tidak terjadi, kelompok sabaiyun yang berada di pasukan Ali melakukan penyerangan dengan memanah pasukan Talhah dan Zubair, dan sebaliknya akhirnya perangpun antara kedua belah pihak tidak bisa terhindarkan lagi.3





Sumber Riwayat Abdullah bin Saba



Untuk lebih mengetahui siapakah sebenarnya Abdullah bin Saba, alangkah baiknya jika kita melihat sebagian pendapat para sejarawan dalam menceritakan sosok Abdullah bin Saba dan sumber yang digunakannya, yang pada akhirnya kita akan bermuara pada sumber asli penukilan dari cerita Abdullah bin Saba tersebut.



1. Sayyid Rasyid Ridha

Sayyid Rasyid Ridho dalam bukunya (Syi’ah wa Sunni, hal. 4-6) mengatakan bahwa pengikut syiah memulai perpecahan antara dien dan politik di tengah ummat Muhammad Saw, dan orang yang pertama kali menyusun dasar-dasar syiah adalah seorang Yahudi bernama Abdullah bin Saba yang berpura-pura masuk Islam, dia mengajak masyarakat untuk membesar-besarkan Ali, sehingga terciptalah perpecahan dikalangan ummat, dan telah merusak dien dan dunia mereka.

Cerita ini pun terus berlanjut sampai halaman enam kemudian dia mengatakan apabila seseorang ingin mengetahui  peristiwa perang Jamal, lihatlah kitab Tarikh Ibnu Atsir, Jilid 3, hal.95-103, maka akan ditemukan sejauhmana peran Sabaiyun dalam memecah belah ummat, dan secara mahir memainkan perannya serta tidak mengizinkan terjadinya perdamaian diantara keduanya (kelompok Ali dan Aisyah).

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Sayyid Rasyid Ridlo mengutip cerita ini dari kitab Tarikh Ibnu Atsir.



2. Ibnu Atsir (w. 732 H)

Ibnu Atsir (w. 630 H.Q) menuliskan secara sempurna tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi sekitar tahun 30-36 H tanpa menyebutkan  sumber-suber yang dijadikan rujukannya, namun dalam prakata bukunya Tarikh al-Kamil ia mengatakan "Saya telah mendapatkan riwayat-riwayat ini dari kitab Tarikhul Umam wa Al-Muluk yang ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad Thabari.





3. Ibnu Katsir (w. 747 H)

Ibnu Katsir (w.774 H.Q) dalam bukunya yang berjudul Al-Bidayah wa Al-Nihayah meriwayatkan cerita Abdullah bin Saba dengan menukil dari Thabari dan pada halaman 167  dia mengatakan:

"Saif bin Umar mengatakan: sebab dari penyerangan terhadap Utsman adalah karena seorang yahudi yang bernama Abdullah bin Saba yang mengaku islam dan dia pergi menuju Mesir kemudian membentuk para muballig dan ..." Kemudian cerita Abdullah bin Saba dengan seluruh karakteristiknya terus berlanjut sampai halaman 246 kemudian dia mengatakan :

"Demikianlah ringkasan yang dinukil oleh Abu Ja'far Thabari"



4. Ibnu Khaldun

Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun dalam bukunya yang berjudul Al-Mubtada' wa Al-Khabar sebagaimana Ibnu Atsir dan Ibnu katsir dalam menceritikan Abdullah bin saba telah mengutip dari Thabari. Dia setelah menukil peristiwa perang jamal (jilid 2, hal 425) mengatakan:

"Demikianlah peristiwa perang jamal yang diambil secara ringkas dari kitabnya Abu Ja'far Thabari..."



5. Thabari (w. 310 H)

Tarikh Thabari adalah kitab sejarah yang paling lama yang menjelaskan cerita Abdulah bin Saba disertai dengan para perawi dari cerita tersebut. Semua kitab sejarah yang ada setelahnya dalam menjelaskan cerita Abdulah bin Saba menukil dari Tarikh Thabari. Oleh karenanya kita harus melihat dari manakah dia menukil cerita tersebut serta bagaimanakah sanadnya?

Abu Ja'far Muhammad bin Jarir Thabari Amuli (w. 310 H) cerita sabaiyun dalam kitabnya Tarikh Al-Imam wa Al-Muluk hanya menukil dari Saif bin Umar Tamimi Kufi. Ia merujuk hanya sebagian dari peristiwa-peristiwa itu, sebagai berikut :

Pada tahun yang sama (yakni 30 H) peristiwa mengenai Abu Dzar dan Muawiyah, dan pengiriman Abu Dzar oleh muawiyah dari Syam ke Madinah. Banyak hal yang dikatakan tentang peristiwa itu, tetapi saya tidak mau menuliskannya, sebagaimana Sari bin Yahya telah menuliskannya buat saya demikian:

"Syu'aib bin Ibrahim telah meriwayatkan dari Saif bin Umar:"...Karena Ibnu Sauda sampai ke Syam (Damsyik) dia bertemu dengan Abu Dzar dan berkata: Wahai Abu Dzar! Apakah kamu melihat apa yang sedang dilakukan oleh Muawiyah?.. Kemudian Thabari cerita Ibnu Saba hanya menukilnya dari Saif dan dia mengakhiri penjelasannya mengenai keadaan Abu Dzar dengan mengatakan :"Orang-orang lain telah berbicara banyak riwayat pembuangan Abu Dzar, tetapi saya segan menceritakannya kembali"

 Mengenai peristiwa-peristiwa dalam tahun-tahun 30-36 H, Thabari mencatat riwayat bin Saba dan kaum sabaiyah, pembunuhan Utsman serta peperangan jamal dari Saif. Dan Saif adalah satu-satunya orang yang dapat dikutipnya.



Thabari meriwayatkan kisahnya dari Saif melalui dua orang:



1. 'Ubaidillah bin Sa'id  Zuhri dari pamannya Ya'qub bin Ibrahim dari Saif.

Dari jalur-jalur ini riwayat-riwayat tersebut dia mendengar dari 'Ubaidillah dan menggunakan lafadz "Haddatsani atau Haddatsana" yaitu diceritakan kepada saya atau diceritakan kepada kami.



2. Sari bin Yahya dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Thabari dalam jalur sanad ini hadits-hadits Saif  diambil dari dua bukunya yang berjudul Al-Futuh dan Al-Jamal, dengan dimulai oleh kata Kataba ilayya (ia menulis kepada saya), Haddatsani (ia meriwayatkan kepada saya) dan Fi Kitabihi Ilayya (dalam suratnya kepada saya)4

Dengan demikian dari beberapa sumber di atas sebagai sumber rujukan dalam menceritakan Abdullah bin Saba semuanya pada akhirnya merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Thabari dalam buku masyhurnya Tarikh Thabari. Namun demikian,  ada juga beberapa sejarahwan lain yang meriwayatkan Abdullah bin Saba dan kaum Sabaiyun tidak mengutip dari Thabari, tetapi langsung mengutipnya dari Saif, mereka adalah :



1. Ibnu 'Asakir (w. 571 H)

Ibnu 'Asakir mencatat dari sumber lain. Dalam bukunya Tarikh Madinah Damsyik , ketika ia menulis tentang biografi Thalhah dan Abdulah bin Saba, dia telah mengutip bagian-bagaian dari cerita-cerita tentang kaum Sabaiyah melalui Abul Qasim Samarqandi dan Abul Husain Naqqur dari Abu Thaher Mukhallas dari Abu Bakar bin Saif dari Sari dari Syu'aib bin Ibrahim dari Saif.

Jadi sumbernya adalah Sari, salah satu dari dua jalur yang telah dikutif Thabari.



2. Ibnu Abi Bakr (w. 741 H)

Bukunya At-Tamhid telah dijadikan sumber dan dinukil oleh beberapa penulis. Buku itu meriwayatkan pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Dalam bukunya itu disebutkan buku Al-Futuh karangan Saif.5



3. Dzahabi

Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Dzahabi (w. 748 H) dalam kitabnya yang berjudul Tarikh Al-Islam meriwayatkan sebagaian riwayat mengenai Abdullah bin Saba. Ia memulai dengan menukil dua riwayat dari Saif  yang sebelumnya oleh Thabari tidak dinukil. Dia mengatakan:

"Berkata Saif bin Umar bahwa Athiyyah mengatakan, bahwa Yazid Al-Faq'asi mengatakan ketika Abdullah bin Saba pergi ke Mesir..."6

Dari beberapa sumber riwayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sebagian besar sejarahwan pasca Thabari dalam meriwayatkan sejarah mengenai Abdullah bin Saba semuanya bersumber dari buku Tarikh Thabari. Sementara hanya sebagian kecil saja dari sejarahwan yang langsung menukil riwayat mengenai Abdulah bin Saba dan Kaum Sabaiyah ini dari Saif yaitu, Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abi Bakr dan Dzahabi. Dengan kata lain seluruh riwayat mengenai Abdullah bin Saba ini pada akhirnya bermuara pada Saif bin Umar yang kemudian dari dialah Thabari, Ibnu Asakir, Ibnu Abu Bakr dan Dzahabi mengutip.

Lantas siapakah  sebenarnya Saif bin Umar, kemudian bagaimanakah dia dan riwayat-riwayat yang dikeluarkan olehnya di mata para muhaditsin. Dengan mengetahui jawaban ini kita bisa mengukur sejauh mana validitas riwayat-riwayat yang dikeluarkannya termasuk dalam hal ini riwayat mengenai Abdullah bin Saba.



Siapakah Saif bin Umar?



Menurut Thabari, namanya yang lengkap adalah Saif bin umar Tamimi Al-Usaidi. Menurut Al-Lubab Jamharat Al-Ansab dan Al-Isytiqaq, namanya Amr bin Tamimi. Karena ia keturunan Amr maka ia telah mengkontribusikan lebih banyak lagi tentang perbuatan-perbuatan heroik Bani Amr ketimbang yang lain-lainnya.

Namanya disebut sebagai usady, sebagai ganti Osayyad, dalam Al-Fihrist oleh Ibn Nadim. Dalam Tahdzib Al-Tahdzib, ia juga disebut Burjumi, Sa'adi atau Dhabi. Disebutkan pula bahwa Saif berasal dari Kufah dan tinggal di Baghdad, meninggal pada tahun 170 H pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid ( 170-193 H).



Saif bin Umar Tamimi menulis dua buah buku yang berjudul:

1.  Al-Futuh Al-Kabir wa Al-Riddah, isinya menjelaskan tentang sejarah dari sebelum wafatnya Nabi Muhammad Saw hingga pada masa Utsman menjadi khalifah.

2. Al-Jamal wa Al-Masiri 'Aisyah wa Ali, mengenai sejarah sejak terbunuhnya Utsman sampai peristiwa peperangan jamal.

          Kedua buku ini lebih banyak menceritakan tentang fiksi ketimbang kebenaran. Sebagian dari cerita-ceritanya adalah cerita palsu yang dibuat olehnya. Kemudian kedua buku ini pun menjadi sumber rujukan para sejarawan seperti Ibnu Abdil Bar, Ibnu Atsir, Dzahabi dan Ibnu Hajar ketika mereka hendak menulis dan menjelaskan perihal para sahabat Nabi Saw.

Allamah Askari menjelaskan dalam bukunya bahwa setelah diadakan penelitian terhadap buku-buku yang dikarang oleh keempat sejarahwan di atas ditemukan bahwa ada sekitar 150 sahabat nabi buatan yang dibuat oleh Saif bin Umar.7

Ahli Geografi seperti Al-Hamawi dalam bukunya Mu'jam Al-Buldan dan Al-Himyari dalam Al-Raudh yang menulis kota-kota islam juga menggunakan riwayat dari Saif dan menyebutkan nama-nama tempat yang diada-adakan oleh Saif8  Dengan demikian Saif tidak hanya membuat tokoh fiktif Abdullah bin Saba tetapi juga dia telah membuat ratusan tokoh fiktif lainnya dan juga tempat-tempat fiktif yang dalam realitasnya tidak ada. Berikut ini adalah pandangan dan penilaian para penulis biografi tentang nilai-nilai tulisan Saif :

1.    Yahya bin Mu'in (w. 233 H); "Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna".

2.    Nasa'i (w. 303 H) dalam kitab Shahih-nya mengatakan : "Riwayat-riwayatnya lemah, riwayat-riwayat itu harus diabaikan karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya."

3.    Abu Daud (w. 275H) mengatakan: "Tidak ada harganya, ia seorang pembohong (Al-Kadzdzab)."

4.    Ibnu Abi Hatim (w. 327 H) mengatakan bahwa : "Dia telah merusak hadist-hadits shahih, oleh karena itu janganlah percaya terhadap riwayat-riwayatnya dan tinggalkanlah hadists-hadistnya."

5.    Ibnu Sakan (w. 353 H)_mengatakan : "Riwayatnya lemah."

6.    Ibnu Hiban (w. 354 H) dia mengatakan bahwa :" Hadists-hadits yang dibuat olehnya kemudian disandarkan pada orang yang terpercaya" juga dia berkata "Saif dicurigai sebagai Zindiq; dan dikatakan dia telah membuat hadits-hadits yang kemudia hadis tersebut dia sandarkan pada orang yang terpercaya."

7.    Daruqutni (w. 385 H) berkata :" Riwayatnya lemah. Tinggalkanlah hadits-haditsnya."

8.    Hakim (w. 405 H) mengatakan : "Tinggalkanlah hadits-haditsnya, dia dicurigai sebagai seorang zindiq."

9.    Ibnu 'Adi (w. 365 H) mengatakan : "Lemah, sebagian dari riwayat-riwayatnya terkenal namun sebagian besar dari riwayat-riwayatnya mungkar dan tidak diikuti."

10. Firuz Abadi (w. 817 H) penulis kamus mengatakan:" Riwayatnya lemah."

11. Muhammad bin Ahmad Dzahabi (w. 748 H) mengenainya dia mengatakan :"Para ilmuwan dan ulama semuanya sepakat bahwa riwayatnya lemah dan ditinggalkan."

12. Ibnu Hajar (w. 852 H) mengatakan :"hadisnya lemah" dan dalam buku lain mengatakan :Walaupun banyak riwayat yang dinukil olehnya  mengenai sejarah dan penting, tapi karena dia lemah, hadits-haditsnya ditinggalkan."

13. Sayuti (w. 911 H) mengatakan :"Sangat lemah."

14. Shafiuddin (w. 923 H) mengatakan :"Menganggapnya lemah."



Dari beberapa pendapat di atas (baik dari kalangan syi'ah maupun ahlu sunnah) menunjukan bahwa Saif bin Umar  sebagai satu-satunya sumber yang meriwayatkan tentang Abdullah bin Saba adalah sesorang yang pembohong dan oleh sebagian dianggap zindik, juga riwayat-riwayatnya dianggap lemah. Dengan demikian, jelaslah bahwa Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif dalam sejarah Islam. Hal ini didasarkan bukan hanya karena adanya Saif bin Umar dalam jalur sanadnya, tetapi juga karena Saif bin Umar adalah seseorang yag terkenal zindiq dan fasik.

Wallahu ‘alam bishshawwab.

Kronologi Syahidnya Imam Hussein bin Ali Bin Abi Tholib Radiallahu Anhu menurut Paham Ahlussunnah

Biografi Imam Husein bin Sayyidina Ali Ra

Imam Husein dilahirkan di Madinah, selasa 5 sya’ban 4 H / 584 M; ibunya Sayyidah Fatimah adalah putri kesayangan Rasulullah SAW; Sedangkan ayahandanya, Ali bin Abi Thalib adalah seorang tokoh terkemuka di awal dakwah islam. Beliau dibesarkan oleh. Pasangan sejoli yang menerima asuhan langsung dari Rasulullah SAW. Nama Husein merupakan tasghir (“pengecilan”) dari nama kakaknya Hasan, yang dua-duanya berarti “bahagia”. Beliau adalah cucu tersayang Rasullah.
 
Pernah suatu hari, Rasulullah SAW menunaikan shalat dan sangat lama melakukan sujud. Bukan hanya karena ingin lebih dekat kepada Allah SWT, melainkan juga karena menjaga agar Husein dan kakaknya Hasan tidak terjatuh dari punggung beliau. Ketika itu kedua cucunda tengah bermain-main di punggung kakekanda yang mulia. Sungguh kasih sayang yang luar biasa. Nabi sangat mencintai kedua cucunda, sehingga kehidupan mereka seperti kehidupan malaikat; berada dalam naungan Allah SWT. Di masa kanak-kanak, mereka mendapat ucapan-ucapan wahyu di lingkungan kenabian. Rasulullah SAW memberi mereka pelajaran dan cara hidup islami. Sementara dari lingkungan kedua orang tua, mengambil suri teladan yang mulia. Dalam lingkungan yang mulia seperti itulah Hasan dan Husein hidup berdampingan.
 
Abu Hurairah bercerita : “Rasulullah Saw datang kepada kami bersama ke dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Yang pertama di bahu beliau yang satu, yang ke dua di bahu beliau yang lain. Sesekali Rasulullah menciumi mereka, sampai berhenti di tempat kami berada. Kemudian beliau bersabda :

”Barang siapa mencintai keduanya ( Hasan dan Husein ) berarti juga mencintai daku; barang siapa membenci keduanya berarti juga membenci daku”.

Pada hadits yang lain :

حسين منّى وانا من حسين, احبّ اللّه من احبّ حسينا, حسين سبط من الأسباط.
( رواه التّرمذى )
 
“Husein adalah bagian dari diriku dan aku adalah bagian dari diri Husein. Semoga Allah swt mencintai orang yang mencintai Husein. Husein adalah salah satu cucu diantara para cucuku”.
( HR. Turmudzi )

الحسن والحسين ريحنتاي من الدّنيا. ( رواه احمد,..)
 
“Hasan dan Husein adalah dua wewangian saya dari dunia.”
( HR. Ahmad, Ibnu Adi, Ibnu Asakir dan Turmudzi )

من سرّه ان ينظر الى سيّد شباب اهل الجنّة فتينظر الى الحسين. ( رواه ابو يعلى )
“Barangsiapa yang senang melihat junjungan ( Sayyid ) para penduduk surga, maka hendaklah ia melihat kepada Husein.”
( HR. Abu Ya’la )

“Ya Allah aku memohokan perlindungan kepadamu untuk Husein dan anak cucunya dari godaan syetan yang terkutuk.”

“Ahli Baitku yang paling kucintai adalah Hasan dan Husein.”

Pada hari ketujuh kelahiran Sayyidina Husein, Rasulullah SAW menyembelih dua ekor kambing kibas berwarna putih keabu-abuan sebagai aqiqah. Kemudian beliau memberikan dua paha kambing itu kepada hadirin, lalu mencukur rambut Husein serta menimbangnya dengan perak. Selanjutnya perak itu disedekahkan kepada faqir miskin. Lalu beliau mengurapi kepala cucunda dengan pacar, sebagaimana yang pernah beliau lakukan kepada Sayyidina Hasan. 

Sejak kecil Sayyidina Husein sudah menunjukkan bakat sebagai ilmuwan, perajurit dan orang yang sholeh. Bersama kakaknya, bakat sang adik kian berkembang, selama masa pemerintahan empat kholifah pertama. Sifat mereka yang luhur mendapat penghargaan dan perhatian yang besar dari para kholifah.

Kepribadian Imam Husein

Sayyidina Husein memiliki beberapa gelar. Yaitu :

• Az-Zaki ( yang suci )
• Ar-Rosyid ( yang cerdik )
• Ath-Thoyyib ( yang baik )
• Al-Wafi ( yang setia )
• As-Sayyid ( yang amat terhormat )
• At-Tabi’Limardlotillah ( yang mengikuti keridloan Allah swt )
• As-Sibth ( cucu Rasulullah )

Ulama meriwayatkan bahwa Sayyidina Hasan adalah orang yang paling mirip Rasulullah antara dada sampai kepalanya; sedangkan Sayyidina Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah saw antara leher sampai bagian tengah badannya.

Berkali-kali Sayyidina Husein dan Sayyidina Hasan naik di atas punggung Nabi saw, ketika keduanya sedang bercanda ria bersama beliau. Bahkan seringkali hal itu dilakukan ketika Nabi saw sedang bersujud di waktu shalat. Maka beliaupun tetap bersujud sampai keduanya turun dari punggung beliau. Seorang penyair berkata :

“Siapakah di alam semesta ini orang yang bisa mendapatkan punggung Nabi Muhammad seperti Husein,
Ia berhasil mendapatkannya dengan jalan terpuji. “

Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra ketika mengunjungi Rasulullah saw, pada waktu beliau sakit yang terakhir dengan ditemani oleh putranya Sayyidina Hasan dan Husein. Ia berkata kepada Rasulullah saw :

“Ya Rasulullah ini adalah kedua putramu, maka berilah warisan keduanya.”

Rasulullah bersabda :

“Adapun Hasan maka ia mewarisi kedermawanan dan kewibawaanku, adapun Husein maka ia mewarisi keberanian dan keluhuranku.”
( HR. Ibnu Mandah, Thabrani, Abu Nu’aim dan Ibnu Asakir )

Sayyidina Husein adalah seorang ahli ibadah dan orang yang sangat ta’at, beliau selalu berpuasa dan berqiyamul lail, dermawan, suka menyambung tali persaudaraan, suka menolong orang yang minta tolong kepadanya dan tekun menjalankan perintah tuhannya. Beliau adalah seorang yang sabar menghadapi kesulitan, tabah menerima cobaan, tidak suka marah serta bersedih hati dan tidak suka merasa cemas serta patah semangat.
 
Para Ulama meriwayatkan bahwa suatu ketika putra Sayyidina Husein meninggal dunia, namun beliau tidak merasa sedih. Maka orang-orang bertanya kepadanya tentang hal itu. Beliau menjawab :
“Sesungguhnya kami para Ahli Bait selalu meminta kepada Allah swt, maka Allah swt mamberi kami. Lalu bilamana Allah swt menghendaki sesuatu yang tidak kami sukai, sedangkan Allah swt menyukainya, maka kami pun merelakannya.”

Latar Belakang Syahidnya Imam Husein Ra
Sesungguhnya orang yang mau mempelajari peristiwa yang menyedihkan ini beserta faktor-faktor pemicunya, tentu akan mengetahui bahwa tangan-tangan bersembunyi yang berlumuran dengan darah-darah kaum muslimin serta kepala-kepala penghianat yang menjadi biang perpecahan kaum muslimin, mereka itulah sebenarnya yang telah memicu terjadinya kejahatan besar ini dan yang telah melakukannya secara keji dan licik. Sebagaimana juga mereka sebelumnya telah mengatur scenario pembunuhan terhadap Kholifah Utsman bin Affan ra; setelah mereka berhasil menyebarkan berita-berita bohong dan membuat surat - surat palsu dengan memakai nama Kholifah Utsman ra, Sayyidina Ali kw serta nama-nama lainnya. Sehingga pada akhirnya mereka berhasil membunuh Khallifah Utsman ra yang sedang berpuasa dan sedang membaca Al-Qur’an. Beliau tidak mau dilindungi oleh seorangpun dari kalangan para sahabat, agar tidak ada darah seorang muslimpun mengalir gara-gara dirinya.
 
Dan mereka itulah yang telah menyebabkan terjadinya perang Jamal. Lalu ketika kedua pihak yang sedang bertikai sudah berdamai berkat usaha Qa’ba bin Amr; maka mereka menyulut kembali api peperangan di pagi harinya dan mereka membunuh Sayyidina Thalhah bin Ubaidillah, salah satu dari dari sepuluh orang yang mendapat jaminan surga dari Nabi saw. Padahal Sayyidina Thalhah ketika itu sedang berusaha meleraikan pihak-pihak yang saling bermusuhan. Mereka juga membunuh Sayyidina Zubair yang sedang melakukan Shalat sambil berdoa’ kepada Allah swt agar segera memadamkan api peperangan yang sedang terjadi.
Mereka juga menghasut orang-orang agar membunuh Sayyidatuna Aisyah ra, maka akibatnya ratusan sahabat terbunuh. Dan mereka juga membunuh Ka’ab bin Sur Al ‘Azdi yang telah mengangkat mushaf stas perintah Sayyidatuna Aisyah untuk menghentikan peperangan diantara mereka.
Demikian juga provokasi keji yang telah berhasil memicu terjadinya perang Shiffin, mereka menghalangi sampainya berita-berita dan orang-orang yang berusaha menciptakan hubungan damai.
 
Setelah berakhirnya peperangan serta diterimanya Tahkim dan setelah terbunuhnya beribu-ribu nyawa para sahabat dan Tabi’in, maka terlihatlah persekongkolan para dalang terjadinya kekacauan ini. Mereka adalah komplotan Abdullah bin Saba’ seorang pendeta besar yahudi dari Yaman yang masuk islam dengan tujuan menhancurkan islam dari dalam. Pada mulanya ia benci kepada Kholifah Utsman bin Affan ra dan berusaha meruntuhkannya serta menggantikannya dengan Sayyidina Ali kaw. Dengan kelicikannya dan provokasinya, usahanya berhasil mendapat respon di kota-kota besar ketika seperti kota Madinah dan Basrah. Kemudian dia pergi ke Mesir, Kufah dan Damsyik serta beberapa kota lain untuk menyebarkan propaganda tentang kemulyaan Sayyidina Ali kw dan menghasut orang-orang agar tidak simpati kepada Kholifah Utsman bin Affan ra.
 
Abdullah bin Saba’ sangat berlebihan dalam mengagungkan Sayyidina Ali kw, bahkan berani membuat hadits-hadits palsu untuk menjatuhkan Kholifah Utsman ra dan menghinakan Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq dan Sayyidina Umar bin Khottob ra. Diantara ajaran Abdullah bin Saba’ adalah :
 
1. Al-Wishoyah : Wasiat. Nabi Muhammad saw berwasiat supaya yang menjadi kholifa sesudah beliau wafat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan mereka memberi gelar Sayyidina Ali “Al-Washyi”, yakni orang yang diberi wasiat.
 
2. Ar-Roj’ah : kembali. Ia mengajarkan bahwa Nabi Muhammad saw tidak boleh kalah dari Nabi Isa as. Kalau Nabi Isa as akan kembali di akhir zaman, maka Sayyidina Ali kw akan kembali di akhir zaman untuk menegakkan keadilan. Ia mengajarkan bahwa Sayyidina Ali kw tidak mati terbunuh, beliau akan kembali lagi. Ibnu Hazm, seorang ahli tarikh mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’ mengabarkan bahwa Sayyidina Ali belum mati tetapi masih bersembunyi dan akan kembali di akhir zaman. Ajaran ini dibawanya dari kepercayaan kaumyahudi yang mengatakan bahwa Nabi Ilyas juga belum mati. Ajaran inilah yang kemudian menjadi kepercayaan orang Syi’ah, bahwa imannya yang terakhir belum mati, sekarang masih bersembunyi dan pada akhir zaman nanti akan kembali untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
 
3. Ilahiyah : ketuhanan. Ajaran ini mengatakan bahwa pada diri Sayyidina ali kw, bersamayam unsur-unsur ketuhanan. Olek karena itu beliau mengetahui segala yang ghaib ( kasyaf ). Abdullah bin Saba’ mengangkat Sayyidina Ali kepada kedudukan Tuhan.

Seorang Ulama dan pengarang dari kalangan Syi’ah Mu’tazilah bernama Ibnu Abil Hadid mengakui bahwa Abdullah bin Saba’ ini adalah seorang pendeta Yahudi yang masuk Islam yang mengobarkan Syia’ah Sabaiyah. Diantara pemuka Syi’ah Sabaiyah ini terdapat seorang bernama Muqiroh bin Said yang memfatwakan bahwa Dzat Tuhan bersemayam pada tubuh Sayyidina Ali kw. Seorang lagi yang bernama Ishak bin Zaid yang memfatwakan bahwa orang-orang yang sudah sampai pada derajat yang tinggi, sudah habis taklif baginya, yaitu sudah tidak lagi wajib sholat, puasa dan berbagai kewajiban lainnya.
 
Nasib Abdullah bin Saba’ pada akhir hayatnya menjadi orang buangan, yang dibuang oleh Sayyidina Ali kw stelah beliau menjadi Kholifah keempat, beliau marah karena dia membuat fitnah atas diri beliau, dia akhirnya dibuang ke daerah Madain.
 
Kelompok Abdullah bin Saba’ ini terpisah menjadi 2 ( dua ) kelompok besar, yaitu :
 
1. Kelompok yang menyatakan bahwa sesungguhnya Sayyidina Ali kw adalah Allah sendiri yang menciptakan segala sesuatu dan memberi rizki. Dalam hal ini, Sayyidina Ali kw mengajak mereka berdialog, namun mereka ternyata bersikeras mempertahankan pendapatnya. Maka akhirnya Sayyidina Ali kw membakar orang– orang yang diketahui dari golongan mereka dengan api. Kemudian golongan mereka berkata : “Seandainya Ali bukan Allah itu sendiri tentu ia tidak membakar mereka dengan api. Karena sesungguhnya tidak akan melakukan pembakaran dengan api kecuali tuhan.” Mereka berkeyakinan bahwa Ali akan menghidupkan mereka, setelah ia membunuh mereka. Mereka inilah orang-orang yang membawa kepercayaan bahwa tuhan melakukan penitisan kepada makhluknya ( Hulul ) beserta cabang-cabang kepercayaan ini meliputi faham-faham yang sesat.
 
2. Kelompok yang memberontak terhadap Sayyidina Ali kw setelah terjadinya perang Shiffin. Mereka juga menuduh Ali Kafir, karena beliau telah menghentikan peperangan dan menyetujui Tahkim dengan kitabullah dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi Sayyidina Ali kw dan Muawiyah ra. Sebagian dari mereka juga ada yang mengkafirkan ketiga orang Khalifah sebelum Sayyidina Ali. Mereka ini telah membunuh seorang Tabi’in besar yang bernama Abdullah bin Khobbab ra dan istrinya, karena ia memuji keempat Khulafaur Rasyidin. Kemudian ketika Sayyidina Ali kw meminta agar mereka menyerahkan para pembunuhnya, mereka menolak sambil berkata: “Kami semua ikut membunuh mereka dan kami semua menganggap halal terhadap darah-darah kalian dan darah-darah mereka semua.”

Gugur Syahidnya Sayyidina Husein ra

Ketika Muawiyah memberontak, kekholifahan islam terbagi dua : satu di pimpin Imam Ali, lainnya dibawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Kholifah Usman bin Affan, yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Sayyidina Utsman yang lain, mencurigai Sayyidina Ali terlibat komplotan pembunuh Kholifah Ustman.
 
Ketika Imam Ali syahid terbunuh, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat islam, Imam Hasan yang menggantikan ayahandanya, berkompromi atau lebih tepat mengalah, dengan menyerahkan kekuasaan kepada kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan justru diracun hingga wafat pada tahun 50 H / 630 M; beliau meninggal setelah diracun istri mudanya sendiri, Ja’dah binti Al-As’as, atas hasutan kelompok Muawiyah, dengan janji akan mendapat hadiah 100.000 dirham.
 
Ketika itulah banyak kalangan mendesak Imam Husein agar memberontak terhadap Kholifah Muawiyah. Tapi, beliau hanya menjawab pendek,
“selama Muawiyah masih hidup, tak ada yang bisa diperbuat, karena begitu kuatnya kholifah itu.”
Di lain pihak, Muawiyah tak terlalu khawatir mendengar isu pemberontakan tersebut dari Gubernur Hijaz, Marwan bin Hakam. Ia bahkan minta Marwan mendekati Imam Husein secara baik-baik.
 
Pada tahun-tahun terakhir kekuasaannya sebagai kholifah; Muawiyah merobohkan sendi-sendi demokrasi. Mengikuti saran Mughira, gubernur Basrah, ia mengangkat Yazid sebagai penggantinya. Dengan pengangkatan ini, demokrasi dalam islam menjadi monarki, karena Yazid tiada lain anak Muawiyah. Tindakan itu juga melanggar perjanjian dengan Imam Hasan bahwa pengangkatan kholifah harus melalui pemilihan yang demokratis.

“Dua orang telah menimbulkan kekacauan di kalangan kaum muslimin : Amr bin Ash, yang menyarankan Muawiyah mengangkat Al qur’an di ujung lembing, ketika hendak berunding dengan Imam Ali; dan Mughira, yang menyarankan agar Muawiyah mengangkat Yazid sebagai kholifah. Jika tidak, tentulah akan terbentuk sebuah dewan Pemilihan”
kata Imam Hasan dari Basrah.

Yazid naik tahta pada bulan April 683 M ( Muawiyah wafat tahun 60 H ). para sejarawan menilai, Yazid ini tidak layak diangkat sebagai kholifah. Bukan hanya terlalu mementingkan kehidupan duniawi, tapi juga karena dia tidak terlalu dekat dengan ulama. Namun dengan licik, ia berusaha memperkuat kekuasaan dengan cara minta sumpah setia dari para ulama, termasuk Imam Husein, yang mewarisi keshalehan dan kesatriaan ayahandanya, Imam Ali, tidak mudah dipaksa atau dibujuk dengan berbagai hadiah. Secara bersama, tiga sahabat yang cukup berpengaruh, yaitu Abdullah bin Umar, Abdurrahman bin Abu Bakar dan Abdullah bin Zubair, terang-terangan menolak Yazid.
 
Melalui walid bin Utba, gubernur Madinah, Yazid memerintahkannya agar menyuruh seluruh penduduk Madinah untuk membai’at Yazid. Mereka yang menolak pembai’atan Yazid, termasuk Sayyidina Husein menyingkir ke Makkah. Selama menetap di Makkah, Sayyidina Husein menerima kiriman surat-surat dari penduduk Kufah serta utusan-utusan mereka. Para utusan ini meminta kepada Sayyidina Husein agar beliau bersedia datang ke Kufah untuk menerima bai’at dari mereka. Karena itulah Sayyidina Husein bermaksud mendatangi mereka; tapi Sayyidina Abdullah bin Abbas dan Abdullah in Umar menasehati beliau agar tidak mendatangi mereka, karena keduanya telah mengetahui sikap orang-orang Kufah dan sebagian orang Iraq yang suka berkhianat. Namun Sayyidina Husein ra berbaik sangka kepada orang-orang yang berkirim surat kepadanya, maka beliau tetap ingin mendatangi penduduk Kufah.
 
Kemudian berangkatlah Sayyidina Husein dari Makkah menuju Kufah pada hari Tarwiyah, namun sebelumnya sepupunya yang bernama Muslim bin Aqil bin Abi Thalib telah berangkat lebih dahulu. Akhirnya Sayyidina Husein dibai’at oleh orang-orang Kufah sebanyak 12.000.orang. Akan tetapi tidak berapa lama kemudian, mereka bercerai berai meninggalkan Sayyidina HUsein ketika tindakan mereka ini diketahui oleh Ubaidillah bin Ziyad, penguasa Kufah yang menjadi bawahan Yazid bin Muawiyah. Ubaidillah kemudian menangkap Muslim bin Aqil dan membunuhnya.
 
Berita terbunuhnya Muslim ini terdengar oleh Sayyidina Husein, ketika beliau sampai di dekat Qadisiyah. Maka saudara-saudara Muslim berkata :
“Kita tidak akan kembali, sehingga kita menuntut balas terhadap kematian saudara kita Muslim bin Aqil atau lebih kita terbunuh.”
Lalu Sayyidina Husein berkata “
“Tidak ada lagi keuntungan hidup sepeninggal kalian.”
Dan Sayyidina Husein memberitahu kepada orang-orang yang menyertainya tentang peristiwa yang telah terjadi serta beliau mengumumkan bahwa barangsiapa yang ingin pergi, maka hendaklah ia segera pergi. Maka mereka segera memisahkan diri, sehingga Sayyidina Husein hanya ditemani oleh sahabat-sahabatnya yang dating bersama dengan dirinya dari Makkah. Mereka berjumlah 70 orang, diantaranya terdapat 30 orang berkuda. Ketika itu Ubaidillah bin Ziyad telah mengirimkan komandan pasukannya yang bernama Hushoin bin Tamin At-Tamimi disertai pasukan berkuda.
 
Hushoin berhenti di Qadisiyah dan mengatur pasukan kudanya untuk mencegah Sayyidina Husein agar tidak bergerak kemana-mana. Demikian halnya Ubaidillah bin Ziyad juga mengirim 1000 orang pasukan berkuda yang dipimpin oleh Hur bin Yazid At-Tamimi untuk menghadang Sayyidina Husein ra agar tidak pulang meninggalkan tempatnya. 
 
Maka merekapun dapat menyusul Sayyidina Husein dan mereka berhenti dihadapannya. Peristiwa ini terjadi tengah hari. Sayyidina Husein kemudian tampil berbicara kepada mereka :
“Wahai para manusia, ketahuilah bahwa ini adalah alasan saya kepada Allah swt dan kepada kalian, sesungguhnya saya tidak akan mendatangi kalian seandainya surat-surat kalian dan orang-orang utusan kalian dating ke tempat saya. Mereka telah menyatakan : Hendaklah anda datang ke tempat kami, karena kami tidak mempunyai Imam. Semoga lewat diri anda Allah swt menyatukan kami di atas petunjuknya. Dan saya sekarang telah mendatangi kalian, karena itu bila kalian mau menepati janji-janji kalian yang saya percayai kepada saya, maka saya bersedia datang ke kota kalian. Dan bilamana kalian merasa tidak senang terhadap kedatangan saya ini, maka saya siap kembali ke tempat asal mula kedatangan saya.”
 
Mereka terdiam. Mendengar pernyataan Imam Husein, Hur bin Yazid ragu. Nuraninya ingin membela Imam Husein, tapi ia bimbang, mengingat kekuatan pasukan Ubaidillah bin Ziyad di Iraq. Apalagi ia juga diperintahkan Gubernur Kufah Ubaidillah bin Ziyad, untuk menggiring Imam Husein ke Karbala, sekitar 25 mil di timur laut Kufah.
 
Kemudian salah seorang dari pihak Sayyidina Husein mengumandangkan adzan, lalu dilaksanakan sholat dzuhur. Maka Hur bin Yazid ikut sholat bersama Sayyidina Husein. Kemudian Hur kembali ke tempatnya semula. Ketika Sayyidina Husein juga melaksanakan Sholat ‘Ashar. Kemudian beliau mendatangi mereka sambil berkata :
 
“Bila kalian semua bertaqwa kepada Allah swt serta mengetahui haq seseorang, tentu hal itu lebih membuat Allah swt ridho. Kami para Ahli Bait adalah lebih utama untuk memimpin masalah ini daripada mereka-mereka yang berjalan dengan sikap arogannya dan kedzolimannya. Karena itu, jika kalian merasa tidak senang kepada kami dan kalian bersikap masa bodoh terhadap haq kami serta pendapat kalian sudah tidak lagi seperti yang pernah dibawa oleh surat-surat dan orang-orang utusan kalian kepada saya, maka saya siap pergi meninggalkan kalian!”
 
Kemudian Sayyidina Husein mengeluarkan dua wadah yang penuh berisi lembaran-lembaran surat, lalu ia sebar di hadapan mereka. Kemudian Hur bin Yazid at Tamimi berkata :
Sesungguhnya kami telah mendapat perintah bila kami sudah bertemu anda agar kami tidak meninggalkan Anda, sehingga kami dapat membawa Anda dating ke Kufah untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad.
Ketika itu Sayyidina Husein mengetahui adanya suatu tipu muslihat serta kebohongan yang besar. Lalu beliau mengajukan tawaran kepada Umar bin Sa’ad selaku panglima pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar Umar membiarkan Sayyidina Husein kembali ke tempat asalnya atau mereka membiarkan Sayyidina melakukan jihad di jalan Allah swt atau mereka bersedia membawa Sayyidina Husein pergi menghadap Yazid bin Muawiyah di Damaskus.
 
Mereka menolak tawaran Sayyidina Husein ini, kecuali jika Sayyidina Husein bersedia tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad. Dan tawaran inipun ditolak mentah-mentah oleh Sayyidina Husein ra, karena tidaklah pantas bagi seorang cucu Rasulullah saw serta putra dari seorang Kholifah, untuk menyerahkan diri begitu saja. Beliau bertekad untuk siap perang dengan berijtihad serta berkeyakinan bahwa dirinya sedang berada di atas kebenaran dan sesungguhnya mereka berdiri di atas kebatilan. Kemudian Sayyidina Husein ra berkata :
“Kami telah ditelantarkan oleh para pengikut kami, karena itu barangsiapa diantara kalian yang ingin pergi (meninggalkan kelompok kami ), maka hendaklah ia pergi tanpa ada yang mempersalahkan dan tanpa mendapat kecaman dari pihak kami.”
 
Maka kebanyakan dari para pengikutnya memisahkan diri dari Sayyidina Husein, sampai akhirnya Sayyidina Husein hanya ditemani oleh keluarganya sendiri dan sahabat-sahabatnya yang datang dari Makkah bersama dirinya. Sayyidina Husein tidak ingin mereka berpihak kepada dirinya, kecuali bila mereka mengetahui terlebih dahulu terhadap apa yang akan mereka hadapi. Sebenarnya Sayyidina Husein telah menyadari, jika beliau menjelaskan permasalahan yang beliau hadapi kepada mereka, tentu beliau tidak akan ditemani selain oleh orang-orang yang benar-benar setia menyertai dirinya untuk menghadapi kematian bersama-sama.
Sayyidina Husein hanya ditemani oleh 70 orang laki-laki termasuk para pengikutnya dari kalangan Ahli Bait. Sedangkan sebagian orang-orang yang menyertainya dari golongan mereka yang menginginkan terjadinya kekacauan sudah menggabungkan diri ke dalam pasukan Ubaidillah bin Ziyad, agar diri mereka selamat dari ancaman maut di depan mata mereka.
 
Ketika Sayyidina Husein bersama para sahabatnya ingin berangkat menuju ke tempat asal mereka, mereka dihalangi oleh Hur; dan ia berkata kepada Sayyidina Husein :
“Saya ingin membawa pergi anda menghadap Ubaidillah bin Ziyad. Saya diperintahkan agar tidak meninggalkan anda, sehingga saya dapat membawa dating ke Kufah. Karena itu, untuk sementara waktu ambillah jalan yang tidak membawamu masuk ke Kufah. Dan janganlah anda menuju Madinah, sehingga saya berkirim surat dahulu kepada Ubaidillah bin Ziyad, sementara anda berkirim surat kepada Yazid selaku atasan Ubaidillah bin Ziyad. Maka dengan cara ini, mudah-mudahan Allah swt memberikan jalan keluar yang dapat memberikan anugerah keselamatan dari cobaan yang menimpa saya berupa keterlibatan saya dengan urusan anda.”
 
Maka Sayyidina Husein bergerak meninggalkan jalan Qadisiyah, sedangkan Hur mengiringinya untuk mencegah Sayyidina Husein agar tidak terus pulang.
Ketika telah tiba hari jum’at tanggal 3 Muharram tahun 61 h, datanglah Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas dari Kufah dengan diiringi 4.000 orang pasukan berkuda. Pasukan ini kebanyakan terdiri dari orang-orang yang pernah berkirim surat kepada Sayyidina Husein ra dan orang-orang yang pernah membai’atnya. Kemudian Umar menyuruh seorang utusan kepada Sayyidina Husein ra, agar menanyakan kepada Sayyidina Husein tentang alasannya yang telah membawanya kemari, lalu Sayyidina Husein berkata :
“Orang-orang kota kalian telah berkirim surat kepada saya agar dating ke tempat mereka, maka saya melakukannya. Jika kalian tidak senang terhadap hal itu, maka sesungguhnya saya siap pergi dari tempat kalian.”
 
Kemudian Umar bin Sa’ad melaporkan hal itu kepada Ubaidillah bin Ziyad; lalu Ubaidillah bin Ziyad mengirim perintah kepada Umar agar ia memberikan tawaran kepada Sayyidina Husein untuk bersedia membai’at Yazid; jika Sayyidina Husein mau melakukannya, maka kami akan menentukan sikap kami terhadap terhadap Sayyidina Husein. Namun jika ia tidak bersedia, maka halangilah Sayyidina beserta para pengikutnya dari tempat air. Karena Sayyidina Husein menolak membai’at Yazid, maka mereka menghalangi beliau beserta pengikutnya dari tempat air. Selama 4 hari ( 7-10 Muharram ) rombongan Imam Husein kehausan. Itulah awal kesengsaraan keturunan mulia Rasulullah SAW. Sampai-sampai hal itu membuat Hur bin Yazid, salah seorang komando pasukan Yazid terharu. Pada tanggal 10 Muharram 61 H / 641 M, ia menyaksikan Imam Husein yang sangat sengsara, lunglai, kehausan dan kelaparan.
 
Umar bin Sa’ad dan Sayyidina Husein berkali-kali mengadakan perundingan, lalu Umar mengirimkan laporan kepada Ubaidillah bin Ziyad yang berbunyi :
“Perlu diketahui bahwa sesungguhnya Allah swt telah memadamkan api kekacauan dan menyatukan semua pandangan. Husein telah memberikan pernyataan kepada saya yaitu ia akan kembali ke tempat asal mula kedatangannya atau anda membiarkan ia mengambil posisi dilokasi tapal batas ( siap tempur ) atau ia boleh mendatangi Yazid untuk mengadakan perdamaian dengannya. Dalam hal ini tentu akan membawa kepuasan bagi anda dan membawa kemaslahatan umat.”
 
Kemudian Ubaidillah bin Ziyad menyuruh Syamir bin Dzil Jausyan untuk datang kepada Umar dengan membawa surat yang isinya meminta Husein agar tunduk di bawah perintah Ubaidillah bin Ziyad dan memerintahkan agar Umar membawa Husein beserta para pengikutnya untuk menghadap Ubaidillah bin Ziyad; bila Husein menolak maka ia harus diperangi. Selain itu, Ubaidillah bin Ziyad telah berkata kepada Syamir :
 
“jika Umar bin Sa’ad mau melakukan apa yang kuperintahkan, maka dengarkanlah perintahnya; namun jika ia membangkang maka engkau mengambil alih kepemimpinannya dan tebaslah leher Umar.”
 
Ubaidillah bin Ziyad di dalam suratnya juga berkata kepada Umar bin Sa’ad :
 
“Sesungguhnya saya tidak pernah mengirimkan kamu kepada Husein, agar kamu membiarkannya dan tidak pula supaya kamu memberinya harapan serta memperpanjang kesempatannya dan tidak pula supaya kamu berlutut dihadapanku guna memintakan pertolongan untuknya. Perhatikanlah, jika Husein bersama para pengikutnya bersedia tunduk di bawah perintah, maka hadapkanlah mereka kepadaku, lalu jika mereka menolak maka seranglah mereka sehingga kamu dapat membunuh mereka semuanya dan cacahlah tubuh-tubuh mereka, karena sesungguhnya mereka telah berhak menerima hal itu. Kemudian jika Husein telah berhasil dibunuh, maka injaklah dada dan punggungnya dengan kuda-kuda kalian karena sesungguhnya ia adalah seorang yang melakukan tindakan makar, seorang pemberontak, perampok dan orang dzolim. Jika kamu ( Umar ) sanggup melaksanakan perintahkami, maka kami pasti akan memberimu balasan sebagai orang yang menta’ati perintah dan jika kamu membangkang, maka tinggalkanlah pasukan kami serta serahkanlah urusan ini kepada Syamir dan pasukan kami.”
 
Ketika surat perintah ini diterima Umar bin Sa’ad, maka ia segera memberi komando kepada pasukannya agar segera mempersiapkan diri. Peristiwa ini terjadi setelah ashar. Dan Umar memberitahukan kepada Sayyidina Husein tentang isi surat perintah dari Ubaidillah bin Ziyad; kemudian Husein meminta penundaan kepada mereka sampai besok pagi. Ketika malam telah tiba, maka Sayyidina Husein bersama-sama dengan para sahabatnya menjalankan Qiyamul lail semalam penuh, mereka melakukan Shalat serta beristighfar, berdoa’ dan bertadlarru’ kepada Allah swt. Kemudian ketika Umar bin Sa’ad telah menjalankan shalat subuh pada hari sabtu ( riwayat lain hari Jum’at, hari Asyura 10 muharam ) maka ia mulai melangsungkan peperangan dan mengepung Sayyidina Husein dari semua penjuru. Sayyidina Husein berseru :
 
“Wahai orang-orang Kufah, saya tidak pernah melihat manusia lebih berkhianat daripada kalian semua; sungguh jelek kalian dan sungguh celaka sekali, binasalah kalian……….binasalah……kalian telah berteriak-teriak kepada kami, lalu kamipun mendatangi kalian, lalu kalian cepat-cepat membai’at kami secepat lalat dan ketika kami telah berada di tempat kalian, maka kalian langsung bertebaran menjauhkan diri seperti laron-laron yang berhamburan. Kalian menghadapi kami dengan hunusan pedang layaknya musuh-musuh kami yang tidak pernah menyebarkan keadilan kepada kalian, padahal tidak ada dosa yang kami perbuat kepada diri kalian, ingatlah….laknat Allah swt pasti menimpa orang-orang yang dzolim.”
 
Kemudian Sayyidina Husein ra menyerang mereka dan peperangan ini berlangsung sampai dhuhur; lalu Sayyidina Husein menjalankan shalat. Kemudian setelah sholat dhuhur, beliau kembali berperang, sedangkan kebanyakan dari para pengikutnya sudah habis terbunuh. satu demi satu; sahabat, saudara, sepupu, kemenakan Imam Husein wafat sebagai Syuhada dengan tubuh tertancap panah. Yang mula-mula gugur ialah : Ali Akbar bin Imam Husein, Abdullah bin Ja’far, Kasim bin Husein, seorang anak Muslim bin Aqil dan kemenakan Imam Husein.
 
Yazid bin Harits bertempur membela Sayyidina Husein sampai ia terbunuh. Hur bin Ziyad di pihak pasukan Umar bi Sa’ad akhirnya membelot dan membela Sayyidina Husein, sambil berseru :
 
“Wahai putra Rasulullah sw, saya adalah orang yang pertama kali bertempur melawan kalian dan sekarang ini saya berada di pihakmu, mudah-mudahan saya bisa mendapatkan syafaat dari kakekmu.”
 
Lalu ia berperang mati-matian membela Sayyidina Husein sampai ia terbunuh dan akhirnya tinggallah Sayyidina Husein bersama bayinya, Ali Al Asghar. Suatu saat Ali Asghar berteriak-teriak kehausan minta minum. Sambil menggendong anaknya, Imam Husein mendekati lawan, lalu menyampaikan nasehat. Pasukan Yazid bukannya memberikan seteguk air, mereka justru memanah sang bayi yang tak berdosa itu, sehingga mati syahid seketika. 
 
Dengan perasaan campur aduk, sedih dan marah, Imam Husein menggendong Asghar yang berdarah-darah ke pangkuan ibunya, Syahr Banu. Ketika itulah beliau tahu, ajalnya menjelang. beliau berperang melawan mereka sampai mereka berhasil melemahkan beliau dengan luka-luka yang banyak dan beliau merasa sangat kehausan, sehingga jatuh ke tanah, lalu seorang laki-laki dari Kindah menyerangnya dengan pedang tepat mengenai kepalanya, maka hal ini membuat darahnya mengalir; kemudian Sayyidina Husein mengambil darah di kepalanya, lalu beliau tuangkan ke tanah sambil berkata :
 
“Ya Allah bilamana engkau telah menahan pertolonganmu dari langit kepada kami, maka jadikanlah hal itu untuk sesuatu yang terbaik buat kami dan balaslah mereka-mereka yang dzolim ini.”
 
Sayyidina HUsein merasa haus luar biasa, lalu ia mendekati tempat air untuk minum, tapi Hushain bin Tamim langsung menyerangnya dengan anak panah tepat mengenai mulut Sayyidina Husein, maka Sayyidina Husein berkata :
“Ya Allah bunuhlah Hushain dengan kehausan.”
( Al Allamah Al Juhri berkata : akhirnya Hushain bin Thamim menerima balasan azab berupa rasa panas di dalam perutnya dan rasa kedinginan di punggungnya; sehingga didepannya harus diletakkan es dan kipas, sedangkan di belakang tubuhnya dipasang tempat perapian. Ia menjerit-jerit rasa panas, haus dan dingin. Jika ia minum, tetap tidak merasakan kesegaran/hilang hausnya, walau minum banyak. Hal itu mengakibatkan perutnya menjadi besar dan ia mati setelah beberapa hari wafatnya Sayyidina Husein )
 
Ketika Sayyidina Husein ra merasa tubuhnya lemah sekali dan tidak mampu bangkit lagi, dikarenakan luka-luka yang banyak, maka beliau memanjatkan doa’ kepadaAllah swt :
 
Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadamu terhadap perlakuan yang diberikan kepada cucu Nabi-Mu. Ya Allah hitunglah jumlah mereka dan binasakanlah mereka semua serta janganlah Engkau menyisakan seorangpun dari mereka.”
 
Ketika melihat keadaan Sayyidina Husein sudah lemah tak berdaya, mereka menyerang Sayyidina Husein dari semua arah; Shor’ah bin Syarik At Tamimi memukul telapak tangan kiri beliau dengan pedang, kemudian Sinan bin Atsan An Nakha’i menusuk beliau dengan tombak, lalu Syamir bin Dzil Jausan memenggal kepala Sayyidina Husein dan membawanya kehadapan Ubaidillah bin Ziyad. Mereka juga menginjak-injak tubuh, punggung dan dada Sayyidina Husein dengan kuda-kuda mereka seperti yang telah diperintahkan Ubaidillah bin Ziyad.
 
Enam dari tujuh anak-anak Imam Husein Syahid di padang Karbala, juga istri tercintanya, Syahr Banu, salah seorang putri Khosru Yasdajird II dari dinasti Sasanid II, Persia ( Iran ). Empat putranya : Ali Al Akbar, Ali Ausath, Ali Al-Asghar, Abdullah; sedangkan tiga putrinya : Zainab, Sakinah dan Fatimah. Seluruh anak Husein terbunuh, kecuali Ali Ausath yang dibelakang hari terkenal sebagai wali, yaitu Ali Zainal Abidin bin Husein. Dialah satu-satunya keturunan Rasulullah SAW yang selamat dari pembantaian di Karbala.
 
Ketika pertempuran tak seimbang itu terjadi, Ali Zainal Abidin tengah tergolek sakit di tenda. Beliau hanya ditunggui bibinya, Zainab binti Ali, yang dengan gigih melindunginya ketika beberapa orang anggota pasukan musuh menerobos masuk ke perkemahan yang hanya ditunggui kaum wanita dan anak-anak.
 
Sayyidatuna Zainab berteriak lantang :
“Apakah kalian tidak menyisakan satu laki-lakipun dari keluarga kami?”
perajurit itu tertegun sebentar, kemudian berbalik arah meninggalkan tenda tersebut tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Sementara tubuh Imam Husein dimakamkan di Karbala, kepalanya dimakamkan dengan penuh kehormatan di pemakaman Baqi, Medinah, di sisi makam ibundanya dan kakaknya, Imam Hasan. Menurut riwayat lain, kepala Imam Husein dibawa ke Mesir dan dimakamkan disana.
 
Ibnu Hajar memberitahukan sebuah hadits dari suatu sumber yang diriwayatkan dari Ali, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda " Pembunuh Husein kelak akan disiksa dalam peti api, yang beratnya sama dengan siksaan separuh penduduk dunia."
 
Abu Na'im meriwayatkan bahwa pada hari terbunuhnya Sayyidina Husein, terdengar Jin meratap dan pada hari itu juga terjadi gerhana matahari hingga tampak bintang-bintang di tengah hari bolong. Langit di bagian ufuk menjadi kemerah-merahan selama enam bulan, tampak seperti warna darah.
 
Sayyidina Husein sungguh telah memasuki suatu pertempuran menentang orang yang bathil dan mendapatkan syahidnya di sana. Menurut al-Amiri, Sayidina Husein dikarunia 6 anak laki-laki dan 3 anak perempuan. Dan dari keturunan Sayyidina Husein yang meneruskan keturunannya hanya Ali al-Ausath yang diberi gelar 'Zainal Abidin'. Sedangkan Muhammad, Ja'far, Ali al-Akbar, Ali al-Ashgor , Abdullah, tidak mempunyai keturunan (ketiga nama terakhir gugur bersama ayahnya sebagai syahid di karbala). Sedangkan anak perempuannya adalah: Zainab, Sakinah dan Fathimah.

Kekuasaan Yazid dan keturunannya tidak lama. Mukhtar bin Abi Ubaid Ats Tsaqafi berhasil membunuh Ubaidillah bin Ziyad dan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqas dan membunuh satu persatu para pembunuh Sayyidina Husein yang lainnya; sehingga ia dapat menghabisi mereka semua.
 
Makam Imam Husein di Karbala, sudah diziarahi sejak empat tahun setelah Imam Husein syahid. Peziarah pertama pada 65 H / 654 M ialah Sulaiman bin Murad, salah seorang ulama generasi awal asal Madinah. Menurut sejarawan Ibnu Asir dalam kitabnya Al Kamil fi at-Tarikh li Ibn Asir, sejak 436 H / 1016 M kedatangan para peziarah di Karbala semakin meningkat. Ketika itu upacara ritual di Karbala mendapat dukungan dari seorang dermawan bernama Ummu Musa, yang tidak lain adalah Ibunda Khalifah Al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah ( 159-169 H/ 739-749 ).
 
Tapi lebih dari setengah abad kemudian, Khalifah Mutawakkil ( 232-247 H / 812-827 M ) menghancurkan kubah makam Imam Husein pada tahun 236 H / 816 M, dan menghukum berat para peziarah yang datang ke makam tersebut. Kebijakan ini dibuat, hanya karena gara-gara kelompok syiah memberontak. Namun sekitar satu abad kemudian, sebuah masyhad yang luas dengan kubahnya dibangun disalah satu sudut makam Imam Husein. Sejak itu para peziarah pun kembali ramai. Keramaian itu tak lama; dua tahun kemudian, Dabba bin Muhammad As’adi, pemimpin sejumlah suku di ‘Ain tamr, tak jauh dari Karbala, menghancurkannya kembali.
 
Tapi, pada tahun yang sama, 369 H / 949 M , penyangga Masyhad Husein diperkuat kembali oleh Addud bin Abdullah dari Dinasti Bani Buwaihi. Pembangunan Masyhad itu diteruskan dengan membangun tembok makam oleh Hasan bin Buwaihi. Pada bulan Rabi’ul awal 407 H / 987 M, sekitar 38 tahun kemudian, bangunan utama dan beberapa ruang Masyhad terbakar.
 
Tapi makam yang dianggap suci dan keramat itu dibangun kembali. Setengah abad kemudian beberapa tokoh datang berziarah. Mereka itu, misalnya Sultan Malik Syah dari Bani Saljuk, yang berziarah pada tahun 479 H / 1059 M. kemudian Ghazan Mahmud dari Dinasti Ilikh Khan, Persia, bersama ayahnya, Argun. Mereka sempat membangun kanal untuk mengalirkan air sungai Eufrat ke Masyhad, yang kemudian dikenal dengan nama Nahr Al-Huseiniyah, “air suci Husein”.
 
Sultan Pasha Agung dari kekhalifahan Turki usmani ( 1520-1566 M ) sempat memperbaiki kanal tersebut dan memperindahnya dengan taman. Sementara Sultan Murad III ( 1574-1595 M ) pernah minta walikota Baghdad, Ali pasha bin Alwan, membangun sebuah ruangan di Masyhad Husein. Kemudian Radhiah Sultan Begum, putri Sultan Husein I dari Dinasti Safawi (1694-1722 M) mempekerjakan 20.000 orang untuk memperluas Masyhad Husein. Pada abad ke 18 M, Agha Muhammad Khan dari Dinasti Kajar menghadiahkan kubah dan menara berlapis emas untuk makam Husein.
 
Kompleks makam Imam Husein sangat luas, dua kali lapangan sepak bola. Di samping makam itu terdapat makam Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, paman Sayyidina Husein dan Hurr bin Yazid.

Kata-kata Mutiara Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib ra :

“Kebutuhan orang-orang kepada kalian adalah merupakan nikmat-nikmat Allah swt untuk kalian; maka janganlah bosan terhadap nikmat-nikmat Allah swt itu sehingga ia akan pergi menjauhkan diri.”

“Orang yang berkeperluan tidaklah berarti memuliakan dirinya dengan tidak meminta kepadamu, maka dari itu muliakanlah dirimu dengan tidak menolak permintaannya.”

“Sabar adalah mahkota, kesetiaan adalah harga diri, memberi adalah kenikmatan, banyak bicara adalah membual ( omong kosong ), tergesa-gesa adalah kebodohan, kebodohan adalah aib, berlebih-lebihan ( dalam berkata ) adalah kebohongan, berteman dengan orang yang ahli berbuat hina adalah kejahatan dan berteman dengan ahli kefasikan adalah pusat prasangka buruk.”

“Bilamana dunia dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga,
maka sesungguhnya pahala Allah swt adalah lebih berharga dan lebih mulia,
Bilamana tubuh ini dirawat hanya untuk menyambut kematian,
maka terbunuhnya seseorang dengan pedang di jalan Allah swt lebih utama.
Bilamana rizki adalah bagian yang sudah ditentukan,
maka sedikitnya keserakahan seseorang dalam berusaha adalah lebih baik.
Bilamana harta benda dihimpun hanya untuk ditinggalkan,
maka apakah gunanya seseorang pelit terhadap sesuatu yang pasti ia tinggalkan,”

“Bilamana dirimu digigit oleh kekejaman masa,
maka janganlah kamu mengadu kepada manusia.
Dan janganlah kamu meminta selain kepada Allah Tuhan yang Maha penolong, yang Maha Tahu dan yang Maha Benar.
Karena seandainya kamu hidup dan kamu telah berkeliling dari belahan barat sampai kebelahan timur,
maka tentu kamu tidak menemukan seorangpun yang mampu membuat orang lain bahagia atau sengsara.”

(Dikutip dari buku Ajarilah Anakmu mencintai keluarga Nabi saw, majalah Al Kisah No 04/Tahun III dan IV/Feb 2005 dan 2006. )

Kumpulan Hadis Shahih : Cara Sholat dan Bacaan Sholat Sesuai Cara Sholat Rosulullah, Sahabat, dan Ahlul Bait Nabi


 
(gambar Ilustrasi: Kaum muslim India shalat subuh berjamaah di Masjid Jami New Delhi)

1.   Menghadap Kiblat
“Hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram dan di mana saja kamu sekalian berada hadapkanlah muka kamu sekalian ke arah Masjidil Haram.” (Al-Baqarah : 144 atau 150)
Yang dimaksud dengan Masjidil Haram adalah Ka’bah, menurut pendapat yang shahih, berdasarkan hadits Barraa, ia berkata : “Kami shalat bersama Nabi saw. ke arah Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan, kemudian dialihkannya ke arah Ka’bah.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda kepada orang yang melaksanakan shalatnya kurang baik : “Apabila kamu akan berdiri melaksanakan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat.” (HR. Syaikhani dan lainnya)
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Antara timur dan barat adalah kiblat.” (Hadits tersebut hasan shahih)
Cara menghadap kiblat waktu ibadah shalat termasuk juga ibadah shalat di kendaraan, hanya setelah menghadap kiblat kita meneruskan ibadah shalat walaupun arah kendaraan berubah-ubah. (Abu Dawud dan Ibnu Hibban, Sifat Shalat Nabi : 20) atau dimulai menghadap ke mana arah kita dibawa oleh kendaraan. (HR. Bukhari II : 37)
2.   Niat
Yaitu menyengaja untuk ibadah shalat menghambakan diri kepada Allah swt. serta menguatkannya dalam hati sekaligus. Tidaklah disebutkan dari Nabi saw. dan tidak pula dari salah seorang sahabatnya bahwa niat itu dilafazhkan dengan cara mengucapkan “ushalli fardhu … rak’ah lillaahi ta’aalaa” atau ucapan sejenisnya.
3.   Berdiri
Berdiri bagi orang yang mampu berdiri, berdasarkan firman Allah swt. :
“… berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu.” (QS. Al-Baqarah : 238)
Yang dimaksud dengan berdiri di sini adalah berdiri pada waktu shalat dan berdasarkan hadits ‘Imran bin Husain r.a., dia berkata : “Saya mempunyai penyakit bawasir, lalu saya bertanya kepada Nabi saw., beliau bersabda : ‘Shalatlah kamu dengan berdiri! Kalau tidak mampu, dengan duduk. Kalau tidak mampu, dengan berbaring.’ (HR. Bukhari dan Nasa’i menambahkan : ‘Kalau kamu tidak mampu, shalatlah dengan berbaring. Allah tidak membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya.’)”
4.   Takbiratul ihram
Takbiratul ihram merupakan batas awal dari ibadah shalat. Dari ‘Ali bin Abu Thalib r.a., sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat adalah bersuci dan tahrim shalat adalah takbir, sedangkan tahlil shalat adalah taslim.” (HR. Syafi’i, Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Hakim dan Tirmidzi)
Tirmidzi telah meshahihkan hadits ini dan dia berkata : “Hadits ini adalah yang paling shahih dan paling hasan yang dibahas pada pembahasan ini.”
Nabi saw. bersabda : “Tahrimnya shalat adalah takbir.” Jumhur ulama berargumentasi bahwa permulaan shalat adalah dengan takbir, bukan dengan dzikir lainnya.
Menurut Malik, Ahmad dan kebanyakan para salaf, cara mengucapkan takbiratul ihram mesti dengan lafazh allahu akbar, karena al pada lafadz takbir adalah lil’ahdi (karena sudah diketahui). Yang diketahuinya adalah takbir yang telah dinukil oleh umat yang sekarang dari yang dahulu, dari Nabi saw., bahwa beliau mengucapkan takbiratul ihram pada setiap shalat dan tidak mengucapkan yang lain.
Dari Rifa’ah, sesungguhnya Nabi saw. bersabda : “Allah tidak akan menerima shalat seseorang, sehingga kesucian itu terletak pada tempatnya, kemudian menghadap ke kiblat dan mengucapkan allaahu akbar.” (Abu Dawud)
Cara pengucapan kalimat takbir allaahu akbar dilakukan sambil mengangkat kedua tangan (telapak tangan menghadap ke depan) hingga betulan dada/sejajar dengan pundak.
Dari Wa’il bin Hajar, bahwa ia melihat cara Nabi saw. mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir (HR. Ahmad, Baihaqi dan Abu Dawud)
Pada riwayat lain disebutkan caranya : “Beliau bertakbir, kemudian mengangkat tangannya.” Pendapat tersebut berdasarkan hadits : Dari Abu Qilabah, sesungguhnya dia melihat Malik bin Huwairits apabila dia shalat, dia bertakbir, kemudian mengangkat kedua tangannya (Al-Hadits). Pada hadits tersebut dia menceritakan bahwa Rasulullah saw. biasa melakukan demikian.
Telah berkata Ibnu ‘Umar : “Jika Rasulullah saw. beridiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga berbetulan dengan kedua bahunya, lalu beliau bertakbir.” (HR. Muslim I : 66, Bukhari I : 180)
Setelah mengangkat tangan, kemudian tangan itu disimpan di dada (antra susu dan pusar) dengan tangan kanan di atas tangan kiri, pergelangan tangan kanan menutup pergelangan tangan kiri atau dengan cara tangan kanan menggenggam hasta tangan kiri.
Wa’il berkata : “Saya melihat Nabi saw. mengangkat kedua tangan saat shalat, kemudian takbir, lalu beliau meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.” (HR. Muslim I : 171, Bukhari I : 180)
Dari Wa’il bin Hajar, ia berkata : “Saya shalat beserta Rasulullah saw., lalu beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan dia telah menshahihkannya)
Thawus berkata : “Ternyata Rasulullah saw. meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan menguatkan keduanya di atas dadanya pada waktu shalat.” (HR. Abu Dawud)
Dari Qabishah bin Halb, dari bapaknya, ia berkata : “Saya melihat Nabi saw. berpaling ke kanan dan ke kirinya dan saya melihat beliau meletakkan ini (kedua tangannya) di atas dadanya.” (HR. Ahmad)
Dalam riwayat lain disebutkan :
Dari Abu Hurairah : “Keadaan Rasulullah saw mengangkat tangan (waktu takbir), jari-jarinya tegak ke atas.” (HR. An-Nasa’i II : 124, At-Tirmidzi : 240)
“Keadaan (Rasulullah saw.) mengangkat kedua tangan dengan menegakkan jari-jemari serta menghadapkannya ke kiblat.” (Ibnu Al-Qayyim, Zaadul Ma’ad I : 202)
Cara pandangan waktu ibadah shalat kita tujukan ke tempat sujud, tidak boleh memutar-mutar pandangan.
Rasulullah saw. bersabda : “Bila shalat, janganlah kalian memutar-mutar pandangan, karena Allah menghadapkan pandangan-Nya pada wajah hamba-Nya waktu shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan.” (HR. At-Tirmidzi, Hakim, Sifat Shalat Nabi : 47)
Dalam riwayat Abu Dawud diterangkan :
“Selama Allah menghadap kepada hamba-Nya dalam shalat selama ia tidak memutar-mutar pandangan. Apabila ia memutar pandangan, Allah akan berpaling darinya.” (HR. Abu Dawud : 909)
Bahkan dalam Hadits Al-Baihaqi disebutkan apabila Rasul shalatl, beliau menundukkan kepada dan mengarahkan pandangan ke tempat sujud. (Sifat Shalat Nabi : 45) Untuk memungkinkan kita khusyu’ dalam shalat, hilangkan sesuatu yang akan mengganggu kekhusyu’an itu, seperti gambar-gambar atau yang lainnya.
Rasulullah bersabda : “Tidak pantas di dalam rumah terdapat sesuatu yang bisa mengganggu shalat.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad, Sifat Shalat nabi : 46)
Kalau berjama’ah, usahakan dengan cara memakai pakaian yang tidak berwarna-warni dan bergambar sehingga dapat mengganggu kekhusyu’an. Rasulullah pernah shalat memakai wol dan bergambar dan terlihat sekilas olehnya. Setelah selesai shalat beliau bersabda : “Berikanlah bajuku ini kepada Abu Jahm dan untukku baju polosnya, karena bajuku tadi telah mengganggu shalatku.” (HR. Bukhari I : 183, Muslim I : 224)
5.   Membaca do’a iftitah
Membaca do’a iftitah dalam shalat pada raka’at pertama diucapkan sebelum membaca Al-Fatihah :
5.1. Cara do’a iftitah pertama :
Allaahumma baa’id bainii wa baina khathayaaya kamaa baa’atta bainal masyriqi wal maghrib, allaahumma naqqinii min khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minad danas, allaahummaghsil khathayaaya bil maa’i wats-tsalji wal barad.
“Ya Tuhanku, jauhkanlah antaraku dan antara dosa-dosaku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Tuhanku, bersihkanlah dosa-dosaku bagaikan baju putih yang dibersihkan dari kotoran. Ya Tuhanku, cucilah dosa-dosaku dengan air, salju dan embun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
5.2. Cara do’a iftitah kedua :
Wajjahtu wajhiya lil ladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wa maa ana minal musyrikin, inna shalaati wa nusuki wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabbil’aalamiin, laa syarika lahu wa bi dzaalika umirtu wa ana awwalul muslimin. Allahumma antal maliku laa ilaaha illaa anta, subhaanaka wa bi hamdika anta rabbii wa ana ‘abduk, zhalamtu nafsii wa’ taraftu bi dzambii faghfir lii dzambii jamii ‘an innahu laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, wahdinii li ahsanil akhlaaqi laa yahdii li ahsanihaa illaa anta, washrif ‘anni sayyi ‘ahaa laa yashrifu’ ‘anni sayyi ‘ahaa illaa anta, labbaika wa sa’daik, wal khairu kulluhu fii yadaik, wasy syarru laisa alaik, wal mahdii man hadait, wa ana bika wa ilaik, laa manja’a wa laa malja’a minka illaa ilaik, tabaarakta wa ta’aalait, astaghfiruka wa atuubu ilaik.
“Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang membuat langit dan bumi dengan lurus dan menyerah dan aku bukanlah tergolong orang-orang yang menyekutukan (Dia). Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku semata-mata untuk Allah, Dzat yang mengatur semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah dan aku adalah termasuk orang yang pertama menyerah (kepada-Nya). Ya Tuhanku, Engkau adalah raja tiada tuhan melainkan Engkau, Mahasuci Engkau dan dengan Memuji-Mu, Engkau adalah Tuhan yang mengatur aku. Aku adalah hambu-Mu, aku telah menzhalimi diriku dan (kini) aku mengakui akan dosaku. Oleh karena itu, ampunilah dosaku seluruhnya karena sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa selain Engkau dan bimbinglah aku kepada akhlaq yang teramat baik karena tidak ada yang bisa membimbing ke arah yang teramat baik selain Engkau dan palingkanlah adriku akhlaq yang jelek dariku selain Engkau. Kusambut panggilan-Mu dan demi kebahagiaan (dari)-Mu kebaikan itu semuanya berada di tangan-Mu dan kejelekan itu sama sekali bukan kembali kepada-Mu. Orang yang bisa memimpin adalah orang yang memang telah Engkau pimpin. Aku dengan-Mu dan kepada-Mu, tidak ada tempat keselamatan dan tempat kembali dari (adzab)-Mu  melainkan kepada-Mu. Mahasuci Engkau dan Mahatinggi, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Hibban, Ahmad dan Syafi’i)
5.3. Cara do’a iftitah ketiga :
Subhaanakallaahumma wa bi hamdika wa tabaarakasmuka wa ta’aalaa jadduka wa laa ilaaha ghairuk.
“Mahasuci Engkau, ya Tuhanku, (aku) tetap memuji-Mu. Mahasuci nama-Mu dan Mahaagung keagungan-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Ibnu Majah dan Nasa’i)
5.4. Cara do’a iftitah keempat :
Dilain riwayat, bacaan di atas ada tambahan :
Laa ilaaha illaallaah (3x) allaahu akbar (3x) (HR. Abu Dawud dan Thahawi)
5.5. Cara do’a iftitah kelima :
Allaahu akbar kabiiraa, wal hamdu lillaahi katsiraa, wa subhaanallaahi bukrataw wa ashiilaa.
“Mahabesar Allah dengan sebesar-besarnya. Segala puji bagi Allah dengan pujian yang sebanyak-banyaknya. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan sore.”
Do’a iftitah ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Maka tatkala Rasulullah saw. Mendengarnya, beliau bersabda : “Sungguh aku kagum kepada laki-laki ini. Baginya dibukakan pintu-pintu (barakah dari) langit.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.6. Cara do’a iftitah keenam :
Wal hamdu lillaahi hamdan katsiran thayiibam mubaarakan fiih.
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati-Nya.
Do’a ini diucapkan oleh salah seorang sahabat. Ketika Rasulullah saw. Mendengar, beliau bersabda : “Sungguh aku melihat dua belas malaikat yang berlomba untuk mengangkatnya, siapa di antara mereka itu yang dapat mengangkatnya.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.7. Cara do’a iftitah ketujuh :
Allahumma rabba jabraa’iila wa miikaa’iila wa israafiila faathiras samaawaati wal ardhi, ‘aalimal ghaibi wasy syahaadah, anta tahkumu baina ‘ibaadika fiimaa kaanuu fiihi yakhtalifuun, ihinii limkhtalafa fiihi minal haqqi bi idznik, innaka tahdii man tasyaa’u ilaa shiraathim mustaqiim.
“Ya Tuhanku, Than Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi yang menghukumi perkara yang ghaib dan alam nyata, Engkau menghukumi antara hamba-hamba-Mu tentang sesuatu yang mereka perselisihkan. Tunjukkanlah daku jalan yang benar dengan idzin-Mu karena sesuatu yang diperselisihkan itu. Engkau menunjukkan siapa saja yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
5.8. Cara do’a iftitah kedelapan :
Allaahu akbar (10x), alhamdu lillaah (10x), subhaanallaah (10x), laa ilaaha illaallaah (10x), astaghfirullaah 10x), allaahummaghfir lii wahdinii warzuqnii wa ‘aafinii (10x), allaahumma innii a’uudzu bika minadh dhayyiiqi yaumal hisaab (10).
“Mahabesar Allah (10x). Segala puji bagi Allah (10x). Mahasuci Allah (10x). Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah (10x). Aku mohon pengampunan kepada Allah (10x). Ya Tuhanku, ampunilah aku dan pimpinlah aku dan berilah aku rizki dan peliharalak aku (10x). Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan-Mu dari kesempitan pada hari hisab nanti (10x).” (HR. Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud dan Thabrani)
5.9. Cara do’a iftitah kesembilan :
Allahu akbar (3x), dzul malakuuti wal jabaruuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
“Mahabesar Allah (3x), Dzat yang memiliki kerajaan ini, yang memiliki segala kekuasaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Ath-Thayalisi dan Abu Dawud)
6.   Membaca ta’awwudz
Sebelum membaca Al-Fatihah kita diperintahkan membaca ta’awwudz, sebagaimana firman Allah :
“Apabila kamu membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl : 98)
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi saw., sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk shalat, beliau membaca do’a iftitah, kemudian membaca : “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk, dari permainan gangguannya, serta ludahnya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Telah berkata Ibnu Al-Mundzir, telah datang dari Nabi (keterangan) bahwa ia membaca “a’uudzu billaahi minsysyaithaanir rajiim” sebelum Fatihah.
Telah berkata Al-Aswad : “Saya melihat ‘Umar ketika memulai (do’a) shalatnya ia membaca : ‘Mahasuci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu, Mahaagung nama-Mu, luhur keagungan-Mu. Tiada tuhan selain Engkau, kemudian membaca ta’awwudz’.” (HR. Ad-Daruquthni, Nailu Al-Authar II : 220)
Atau :
“Aku mohon perlindungan kepada Allah Yang Maha Mendengar dan Mengetahui dari setan yang dirajam.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi)
Cara membaca ta’awudz (dibaca ta’udz) hanya disyari’atkan pada raka’at pertama dengan menganggap bahwa bacaan pada shalat adalah bacaan yang satu dan disunnahkan dengan pelan, menurut kebanyakan ahli ilmu. Dalam Kitab Ad-Dinul Khalish disebutkan, para ulama telah sepakat bahwa tidak dilaksanakan (ta’awudz) kecuali pada raka’at pertama berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa : Nabi saw. Apabila bergerak (bangun) untuk raka’at kedua, beliau memulai dengan bacaan (Al-Fatihah) dan beliau tidak diam. (HR. Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
7.   Membaca Al-Fatihah
Al-Fatihah sebagai rukun keutamaan dalam shalat, caranya dibaca setelah membaca ta’awudz yang dimulai dengan membaca kalimat bismillaahir rahmaanir rahiim, sebagaimana diterangkan : “Ketika kamu membaca alhamdu, hendaklah kamu membaca bismillaahir rahmaanir rahiim.” (HR. Ad-Daruquthni)
Anas pernah berkata : “Saya pernah mendengar Rasulullah saw. Membaca bismillaahir rahmaanir rahiim dengan nyaring.” (HR. Hakim)
Telah berkata Abu Hurairah : “Adalah Nabi saw. Apabila menjadi imam, beliau memulai dengan bacaan bismillaahir rahmaanir rahiim.” (HR. Daruquthni)
Dari Ummi Salamah, sesungguhnya ia telah ditanya tentang bacaan Rasulullah saw., maka ia selalu menjawab : “Adalah Nabi memutuskan bacaan seayat-seayat, bismillaahir rahmaanir rahiim (berhenti), kemudian al-hamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dari Qatadah, ia berkata bahwa Anas telah ditanya tentang bagaimana bacaan Nabi saw., kemudian ia menjawab : “Bacaannya panjang; beliau membaca bismillaahir rahmaanir rahiim, dengan memanjangkan lafadz rahmaan dan rahiim.” (HR. Bukhari)
Abu Bakar Al-Hanafi berkata : Telah meriwayatkan kepada kami, ‘Abdul Hamid Ibnu Ja’far. Telah menceritakan kepadaku Nuh Ibnu Bilal, dari Sa’id Ibnu Abu Al-Maqbari, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. Bersabda : “Alhamdu lillaahi rabbil ‘aalamiin itu tujuh ayat; salah satunya adalah bismillaahir rahmaanir rahiim. (Al-Fatihah) itu merupakan as-sab’ul matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang), Al-Qur’an ‘azhim, ummul Qur’an, dan Fatihatul Kitab (pembuka Al-Qur’an).” Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam Al-Ausath dengan sanad yang rijalnya tsiqat.
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. Bersabda : ‘Jika kamu sekalian akan membaca alhamdulillaahi rabbil ‘alamiin (Al-Fatihah), bacalah bismillaahir rahmaanir rahiim, itu adalah ummul Qur’an, ummul kitab dan as’sab’ul matsaani, sedangkan bismillaahir rahmaanir rahiim adalah salah satunya.” (HR. Daruquthni)
Kewajiban membaca Al-Fatihah ini berlaku bagi makmum dan imam (jika shalatnya tidak nyaring), sedang pada shalat jahar, ma’mum diperintahkan untuk membaca dalam hati dan memperhatikan bacaan imam. Rasulullah saw. Bersabda : “Adakah di antara kalian tadi yang membaca bersamaan denganku?” Salah seorang menjawab : “Ya, saya ya Rasulullah.” Nabi bersabda : “Sekarang aku katakan, aku tak perlu disaingi.” (HR. Daruquthni, Abu Dawud : 826, Tirmidzi)
Hadits dari Jabir r.a., ia berkata : “Barangsiapa melakukan shalat satu raka’at, tetapi tidak membaca Al-Fatihah, maka dia tidak shalat, kecuali dia menjadi ma’mum.” (HR. Imam Malik dan Imam Tirmidzi) Imam Tirmidzi menshahihkannya.
Membaca Al-Fatihah dalam shalat hukumnya wajib. Rasulullah bersabda :
“Tidak ada shalat (yang sah) bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah (Fatihah al-kitab).” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Ubadah bin Shamit)
“Barangsiapa yang shalat tidak membaca ummul Qur’an (Al-Fatihah), maka shalatnya tidak sempurna.” (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim : I : 168)
Adapun cara membaca Al-Fatihah adalah sebagai berikut :
Ayat 1. Bismillaahir rahmaanir rahiim  (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha  Penyayang).
Ayat 2. Alhamdu lillaahi rabbil ‘alamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam).
Ayat 3. Ar-rahmaanir rahiim (Maha Permurah lagi Maha Penyayang).
Ayat 4. Maaliki yaumid diin (Yang menguasai hari pembalasan )
Ayat 5. Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan).
Ayat 6. Ihdinas shiraathal mustaqiim (Tunjukilah kami jalan yang lurus).
Ayat 7. Shiraathal ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin (Yaitu jalan orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat).
Setelah membaca “wa ladh dhaalliin”, maka disambung dengan cara pengucapan “aamiin”, baik berjamaah maupun munfarid.
Rasul bersabda : “Bacalah aamiin, maka kamu akan dicintai Allah.” (HR. Abu Dawud : 972)
Pada suatu riwayat  (disebutkan) : “Jika imam selesai membaca ghairil maghdhuubi ‘alaihim, wa ladh dhaalliin, ucapkanlah amin, sesungguhnya malaikat mengucapkan aamiin dan imam pun mengucapkan aamiin. Barangsiapa yang pengucapan aamiinnya bersamaan dengan pengucapan aamiin malaikat, pasti diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Imam Ahmad dan Imam Nasa’i)
Dari Abu Hurairah r.a., ia berkata : “Apabila Rasulullah saw. telah mengucapkan ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin, beliau mengucapkan aamiin, sehingga terdengar oleh ma’mum yang ada pada shaf pertama.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah). Ibnu Majah berkata : “… sehingga ucapan aamiin Rasulullah saw. itu terdengar oleh ma’mum pada shaf pertama, sehingga dengan suara itu (aamiin) masjid menjadi gemuruh.“ Juga diriwayatkan oleh Daruquthni : “Isnad hadits ini hasan.” Al-Hakim juga mengatakan : “Hadits ini shahih mengikuti syarat (shahihnya) kitab.” Baihaqi mengatakan : “Hadits ini hasan shahih.” Pada Hadits Tirmidzi terdapat syad.
“Sesungguhnya Nabi saw. apabila membaca ‘Wa ladh dhaalliin’, beliau mengucapkan : ‘aamiin’ dan beliau menyaringkan suaranya.” (HR. Tirmidzi : 248)
Aamiin artinya semoga Allah mengabulkan.
Setelah membaca Al-Fatihah, diteruskan dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an pada rakaat pertama dan kedua jika munfaridh (sendiri) atau imamnya membaca dengan sir (pelan).
Dari Abu Qatadah r.a., ia berkata bahwa Nabi saw. (pernah) membaca – ketika shalat Zhuhur dan ‘Ashar pada dua raka’at – Fatihah al-kitab (Al-Fatihah) dan kadang-kadang beliau memperdengarkan bacaannya (dengan keras) kepada kami, juga membaca – pada dua raka’at terakhir – Fatihah al-kitab. (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud)
Adapun surat yang dibaca setelah Al-Fatihah diserahkan kepada yang mengerjakan shalat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya. Caranya, Jika mengimami, ia harus melihat situasi dan kondisi ma’mum, mungkin ada yang sakit, ada yang berhajat, orang tua, sehingga tidak memanjangkan bacaannya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda : “Jika kamu mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke kiblat, lalu bertakbir, kemudian membaca ayat-ayat yang mudah dari Al-Qur’an”) (HR. Bukhari I : 192)
Telah berkata Abu Sa’id : “Kami diperintah (oleh Rasulullah) supaya membaca Al-Fatihah dan apa-apa (ayat atau surah) yang mudah.” (HR. Abu Dawud)
Selanjutnya, setiap perpindahan dari satu rukun ke rukun yang lainnya, disunnahkan dengan cara membaca takbir (allaahu akbar). Cara takbir seperti ini disebut intiqal. Adapun cara pengangkatan tangan berlaku untuk :
7.1. Memulai shalat (takbiratul ihram);
7.2. Takbir untuk ruku’;
7.3. Mengangkat kepala (bangkit dari ruku’) dan
7.4. Bangkit setelah raka’at kedua (tahiyyatul awal).
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw. Jika beliau memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang (mendekati) kedua bahunya. Demikian pula jika beliau hendak ruku’ dan setelah mengangkat kepalanya dari ruku’. Akan tetapi beliau tidak melakukan itu ketika antara dua sujud.” (HR. Imam Malik, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai’i, Ibnu Majah, Daruquthni dan Imam Baihaqi)
Imam Baihaqi menambahkan : “Begitulah cara shalat Rasulullah saw., sampai beliau menemui Allah swt.”
Dari Ibnu ‘Umar r.a., ia berkata : “Nabi saw. Apabila berdiri hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang (sejajar atau mendekati) kedua bahunya, kemudian beliau bertakbir (untuk ruku’) dengan kedua tangannya seperti posisi tersebut, lalu ruku’, kemudian ketika beliau akan mengangkat punggungnya dari ruku’, beliau pun mengangkat kedua tangannya sampai setentang dengan kedua bahunya, kemudian beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’ (semoga Allah swt. Mendengarkan orang yang memuji-Nya). Akan tetapi, beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika hendak sujud dan selalu mengangkat keduanya setiap bertakbir sebelum ruku’, sampai selesai shalatnya.” (HR. Abu Dawud)
Juga dalam lafazh Daruquthni : “Beliau mengangkat kedua tangannya, sehingga ketika mendekati kedua bahunya, beliau bertakbir (mengucapkan allaahu akbar). Jika hendak ruku’ beliau mengangkat kedua tangannya sampai setentang kedua bahunya, lalu beliau ruku’. Demikian pulah jika hendak mengangkat punggungnya, beliau mengangkat kedua tangannya sampai kedua bahunya, lalu beliau mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’, lalu beliau sujud, tetapi tidak mengangkat kedua tangannya setiap takbir sebelum sujud sampai selesai shalatnya.”
8.   Ruku’
Cara ruku’ sebagai berikut :
8.1. Menaruh tapak tangan di atas lutut sambil menggenggamnya;
8.2. Merenggangkan jemarinya;
8.3. Punggung rata (tidak terlalu bungkuk).
Rasululullah saw. Bersabda :
“Apabila ruku’, letakkanlah tapak tanganmu di atas lutut, lalu renggangkan jemari dan diamlah, sehingga anggota tubuh terletah pada posisinya.” (Ibnu Hibban)
“Apabila ruku’, letakkanlah tapak tangan di atas lutut, luruskan punggung dan kokohkan ruku’.” (HR. Ibnu Majah : 169, Abu Dawud : 731)
Diriwayatkan dari Siti ‘Aisyah r.a., dalam hadits yang panjang : “Rasulullah saw. Jika ruku’, tidak mengangkat kepalanya dan tidak menundukkannya sampai ke bawah, tetapi pertengahan antara itu (lurus antara kepala dengan punggung).” HR. Imam Muslim)
Dari Salim Al-Barrad, ia berkata : “Kami beserta ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari mendatangi Abu Mas’ud, lalu kami mengatakan kepadanya : ‘Ceritakanlah kepada kami mengenai shalat Rasulullah saw!’ Lalu dia berdiri di hadapan kami – di dalam masjid – lalu ia bertakbir dan ketika ruku’, ia meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya dan jari-jarinya di bawah lutut. Ia merenggangkan kedua sikunya sehingga setiap anggota tubuhnya menjadi tegak, (lalu berdiri atau bangkit dari ruku’) sambil mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’.” (HR. Imam Nasa’i dan Abu Dawud)
Dari Anas r.a., sesungguhnya Nabi saw. Bersabda kepadanya : “Hai anakku, jika kamu melakukan ruku’, letakkanlah kedua telapak tanganmu pada kedua lututmu, renggangkan antara jari tanganmu dan jauhkanlah kedua (siku) tanganmu dari kedua sisi pinggangmu.” (HR. Imam Thabrani rahimahullah ta’ala)
9.   Cara bacaan dalam ruku’
Setelah thuma’ninah ruku’, kita membaca :
9.1. Subhaana rabbiyal ‘azhiim (3x). “Mahasuci Tuhanku Yang Mahaagung.” (HR. Tirmidzi)
9.2. Subbuuhun qudduusur rabbul malaa’ikati war ruuh. “Mahasuci, Mahabersih, (ya) Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
9.3. Subhaanakallahumma wa bi hamdika allaahummaghfirlii. “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya Tuhanku, ampunilah aku.” Do’a ini diucapkan oleh Rasulullah sebagai tafsir ayat Al-Qur’an yang berbunyi :
 “Mahasucikanlah dengan memuji Tuhanmu dan minta ampunlah kepada-Nya, karena sesungguhnya Dia amat menerima taubat.” (QS. An-Nahsr : 3) (HR. Bukhari dan Muslim)
9.4. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka aslamtu anta rabbii, khasya’a laka sam’ii wa basharii wa mukhii wa ‘azhamii. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’, kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku menyerah. Engkau adalah Tuhanku. Kepada-Mu pendengaran dan penglihatanku tunduk, begitu juga otak dan tulang-tulangku.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
9.5. Allaahumma laka raka’tu wa bika aamantu wa laka aslamtu wa ‘alaika tawakkaltu anta rabbii khasya’a sam’ii wa basharii wa damii wa lahmii wa ‘azhamii wa ‘ashabii lillaahi rabbil ‘aalamiin. “Ya Tuhanku, kepada-Mulah aku ruku’, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku menyerah dan kepada-Mu aku tawakal. Engkau adalah Tuhanku. Pendengaranku, penglihatanku, darahku, dagingku, tulangku dan urat syarafku tunduk kepada Allah Dzat yang mengatur semesta alam.” (HR. Nasa’i)
9.6. Subhaana dzil jabaruuti wal malakuuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah. “Mahasuci Dzat yang mempunyai seluruh kekuasaan, seluruh kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
10. Cara Bangkit dari Ruku
Bangkit dari ruku membaca “sami’allaahu li man hamidah, rabbanaa lakal hamdu” sambil :
10.1.         Mengangkat tangan (sama dengan takbiratul ihram)
10.2.         Meluruskan tulang belakang sehingga tulang-tulang itu kembali ke sendinya.
10.3.         Tangan tidak disedekapkan (dirumbaikan)
“…. maka ketika kamu telah mengangkat kepalamu, luruskanlah tulang belakangmu, sehingga kembali tulang-tulang itu ke sendi-sendinya.” (HR. Bukhari I : 19, Fiqhus Sunnah I : 117)
Keterangan lain :
“… kemudian ia bertakbir ketika ruku’, kemudian ia ucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’ (mudah-mudahan Allah mendengarkan orang yang memuji-Nya). Ketika mengangkat kepala dari ruku’, ia mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamdu’ setelah berdiri (Wahai Tuhan kami dan bagi-Mulah sekalian pujian).” (HR. Bukhari I : 179, Muslim I : 198)
Atau setelah membaca ‘sami’allaahu li man hamidah’ membaca :
Allahumma rabbanaa lakaal hamdu mil’as samaawaati wal ardhi wa mil’a maa syi’ta min syai’im ba’du. “Wahai Tuhan kami, bagi-Mulah segala pujian, sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa-apa yang Engkau kehendaki selain dari itu.” (HR. Muslim I : 190-197, Ibnu Majah : 878)
Pada Hadits Abu Hurairah r.a.  disebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan ‘sami’allaahu li man hamidah’, ucapkanlah oleh kalian ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, sebab barang siapa yang bacaannya bersamaan dengan bacaan malaikat, dia akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Malik, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Imam Ahmad-pun meriwayatkan dengan kata-kata : “Apabila imam mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’, orang yang di belakangnya hendaklah mengucapkan ‘allaahumma rabbana lakal hamdu’, maka ucapan itu (pasti) akan bersamaan dengan ucapan ahli langit (malaikat), yakni ‘allaahumma rabbanaa lakal hamdu’, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.”
Dalil-dalil di atas diperkuat dengan :
Hadits Abu Musa Al-Asyar’i r.a., menyebutkan bahwa Nabi saw. Bersabda : “Jika imam mengucapkan ‘sami’allaahu liman hamidah’, lalu ma’mum mengucapkan ‘rabbanaa wa lakal hamdu’, Allah swt. Akan mendengarkan kalian.” (HR. Imam Muslim, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Adapun do’a i’tidal ini cukup banyak, diantaranya :
10.1. Rabbanaa lakal hamdu.
“Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji.” (HR. Bukhari)
10.2.  Rabbanaa wa lakal hamdu (HR. Ahmad)
10.3.         Allaahumma rabbanaa lakal hamdu mil’as samaawaati wa mil’al ardhi wa mil’a maa syi’ta min sayi’im ba’du. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu.”
10.4.         Allaahumma lakal hamdu mil ‘as samaawaati wa mil ‘al ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min sya’im ba’du, allaahummathahhirnii bits tsalji wal baradi wal maa’il baaridi, allaahumma thahhirnii minadz dzunuubi wal khathaayaaya kamaa yunaqqats tsaubul abyadhu minal wasakhi – dalam satu riwayat- minad danasi. “Ya Tuhanku, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan sepenuh (isi) bumi dan sepenuh (isi) apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu. Ya Tuhanku, sucikanlah daku dengan es, embun dan air yang dingin. Ya Tuhanku, sucikanlah daku dari dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan sebagaimana dibersihkannya pakaian putih dari kotoran.” (HR. Muslim)
10.5.         Rabbanaa lakal hamdu mil ‘as samaawaati wa ardhi wa mil ‘a maa syi’ta min say’im ba’du, ahlats tsanaai wal majdi ahaqqu maa qaalal ‘abdu wa kullunaa laka ‘abdun, allaahumma laa maani ‘a lima a’thaita wa laa mu’thiya limaa mana’ ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji sepenuh (isi) langit dan bumi dan sepenuh apa saja yang Engkau kehendaki selain langit dan bumi itu, (wahai) Dzat yang berhak mendapatkan pujian dan keagungan, suatu pujian yang paling banyak diucapkan oleh seorang hamba dan kami semua ini adalah hamba-Mu. Ya Tuhanku, tiada seorang pun yang bisa menghentikan sesuatu yang berikan dan tiada seorang pun yang bisa memberikan sesuatu yang Engkau hentikan dan kekayaan tidak bisa menolong orang yang mempunyai kekayaan itu dari adzab-Mu.” (HR. Muslim)
10.6.         Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyibam mubaarakan fiihi ka maa yuhibbu rabbanaa wa yardlaa. “Ya Tuhan kami, bagi-Mulah segala puji, degan pujian yang banyak lagi baik dan diberkahi sebagaimana yang disukai oleh Tuhan kami dan diridhai-Nya.” (HR. Mailk, Bukhari dan Abu Dawud)
11. Cara bersedekap dalam I’tidal
11.1. Alasan orang yang berpendapat sedekap dalam i’tidal.
a. Dari Sahl bin Sa’ad, ia berkata : “Adalah manusia diperintahkan agar meletakkan tangan kanan di atas tangan/lengan yang kiri pada waktu shalat.” (HR. Bukhari I : 180)
b. Telah berkata Ibnu ‘Abbas : “Saya mendengar Nabi saw. Bersabda : ‘Kami golongan para nabi telah diperintahkan untuk menyegarkan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur dan kami diperintahkan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada waktu shalat.” (Majma’u Az-Zawaid II : 105)
c.  Dari Ghadaif bin Harits, ia berkata : “Kami tidak lupa dari beberapa perkara yang (biasa) kami lupakan. Sesungguhnya kami melihat Rasulullah saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
d. Dari Qabishah bin Hulb, dari ayahnya r.a. ia berkata : “Kami melihat Nabi saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat.” (HR. Ahmad)
e. Dari Wa’il bin Hujr, dari ayahnya r.a., ia berkata : “Saya shalat bersama Rasulullah saw., kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di atas dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah)
11.2.         Alasan orang yang berpendapat melepas kedua tangan pada waktu i’tidal.
a. Hadits-hadits tersebut di atas merupakan dalil yang qath’i untuk sedekap kedua tangan di dada pada waktu i’tidal.
b. Bisa saja dengan kata-kata shalat itu disebut “kulli” (secara keseluruhan), padahal yang dimaksud “al-juz’u/sebagian”, sebagaimana contoh berikut :
- Dari Fudhalah bin ‘Ubaid r.a., ia berkata : Rasulullah saw. Mendengar seorang laki-laki berdo’a dalam shalatnya, tetapi tidak memuji Allah dan tidak membaca shalawat Nabi. Disini disebut “fii shalatihi” (secara keseluruhan). Padahal yang dimaksud bagian dari shalat, yaitu tasyahhud.
-  Dari Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., sesungguhnya ia kepada Rasulullah saw. : “Ajarkanlah kepadaku do’a yang saya baca pada waktu shalat.” Nabi menjawab  “Katakanlah : ‘Ya Allah, sesungguhnya aku zhalim terhadap diriku…’.” Di sini juga disebut lafazh shalat, padahal yang dimaksud bagian shalat, yaitu dalam tasyahhud. Dalam hal ini tak seorang pun berpendapat boleh mambaca do’a tersbut dalam setiap gerakan shalat, dengan berpegang pada umumnya hadits tersebut.
c.  Kalau kita berpegang pada umumnya lafazh hadits, seyogyanya kita meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika turun untuk sujud, ketika mengangkat kepala/bangkit dari sujud, dan ketika duduk di antara dua sujud. Padalah telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Saya melihat Rasulullah saw. Jika berdiri shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga lurus dengan kedua bahunya. Beliau melakukan hal itu ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ seraya membaca ‘sami’allaahu liman hamidah’ dan beliau tidak melakukan hal seperti itu (mengangkat tangan) ketika ia turun untuk sujud.”
     Maksud lafazh hadits “wa laa yaf’alu dzaalika fii sujuudi” ialah ia tidak melakukannya/mengangkat tangan ketika turun untuk sujud dan tidak ketika bangkit dari sujud. Dalam hal mana ia mengatakan : “Ketika ia turun sujud dan tidak ketika ia bangkit dari sujud.” (Fathu Al-Bari III : 220)
     Adapun riwayat Thabrani dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw. Mengangkat kedua tangannya ketika takbir untuk ruku’ dan ketika takbir untuk sujud, maka hadits tersebut syadz, menyalahi hadits yang lebih shahih, yaitu hadits riwayat Bukhari dalam kitab Shahihnya. Apabila kita pahamkan bahwa yang dimaksud ucapan “hiina yasjudu” ialah ketika sujud, hal ini tidak rasional, karena bagaimana mungkin seseorang dapat mengangkat kedua tangannya pada waktu sujud.
d. Hadits 11.1 huruf c sampai e tersebut diatas, itu merupakan hadits fi’li (perbuatan), bukan hadits qauli (ucapan), sedangkan fi’li tidak menunjukkan hal yang umum. Dalam qaidah Ushul Fiqh disebutkan : “Perbuatan yang konkret jika mempunyai beberapa aspek, tidak berarti umum untuk semua bagian-bagiannya.” Contoh lafazh : “Ana ashuumu al-yauma (Saya sedang saum hari ini).” Lafazh tersebut tidak mencakup semua macam shaum yaitu puasa wajib, sunnah, puasa nadzar dan puasa lainnya, tetapi menunjukkan khusus di antara macam-macam shaum. Beda dengan kata-kata : “Makan itu membatalkan shaum.” Ungkapan ini mencakup segala macam shaum. Demikian juga lafazah hadits : “Saya melihat Rasulullah saw. Meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya pada waktu shalat.” Hadits ini tidak mencakup semua gerakkan shalat, melainkan hanya menunjukkan satu gerakkan tertentu saja.
e. Para ulama menyandarkan dalil hadits Wa’il, yaitu : “Saya shalat bersama Nabi saw., kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya di dadanya.” Sebagai Dalil disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika berdiri dalam shalat dan mereka tidak menyinggung disyari’atkannya meletakkan tangan tersebut setelah ruku’.
     Dukungan atas pendapat itu hadits berikut :
-  Dari Jabir bin ‘Abdullah r.a., ia berkata : “Rasulullah saw. Lewat kepada seorang laki-laki yang sedang shalat, sedangkan (laki-laki) itu meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, maka Rasulullah saw. Membukanya dan tangan kanannya diletakkan di atas tangan kirinya.” (HR. Ahmad)
-  Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata : “Nabi saw. Melihatku ketika itu aku sedang meletakkan tangan kiriku di atas tangan kananku waktu shalat, maka Nabi memegang tangan kananku serta meletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR. Nasa’i II : 97)
f.  Tidak meletakkan kedua tangan di dada/sedekap pada waktu i’tidal, termasuk yang telah disepakati umat dan telah merata dalam pengamalan. Adapun meletakkan kedua tangan di atas dada pada waktu i’tidal, tidak seorang pun sahabat yang membicarakannya dan tidak juga para ulama dulu. Andai hal itu disyari’atkan, tentu akan banyak riwayat tentang itu secara mutawatir, juga akan mutawatir dalam pengamalannya. (Mutawatir’amali)
g. Andaikan irsal (lepas tangan) itu menyalahi sunnah, tentu sahabat akan mengingkarinya, demikian juga para ahli hadits dan fiqh sejak dulu.
h. Telah berkata : Mumhammad Nashiruddin Al-Bani : “Adalah Nabi memerintahkan thuma’ninah pada waktu i’tidal. Nabi berkata kepada orang yang shalatnya salah : ‘Angkatlah kepalamu sehingga engkau tegak berdiri, kemudian setiap tulang kembali ke tempatnya’.” Dalam riwayat lain : “Dan jika engkau mengangkat kepala, tegakkan tulang rusukmu dan angkatlah kepalamu sehingga tulang kembali ke tempat persendiannya.”
Sesungguhnya maksud dari hadits ini terang dan jelas, yaitu menunjukkan cara thuma’ninah sewaktu berdiri. Adapun istidhal atau pendapat saudara-saudara kita dari Hijaz dan yang lainnya bahwasanya hadits ini menunjukkan cara atau disyari’atkannya meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri (bersedekap) pada waktu berdiri (bangkit dari ruku’), maka jauh sekali dari kumpulan riwayat hadits, bahkan ia adalah istidhal yang bathil karena cara meletakkan tangan tersebut (hatta tarji’al ‘izhamu ilaa mafashilihaa/sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) tidak diterangkan dalam berdiri di raka’at pertama dalam satu pun hadits dari sekian banyak riwayat hadits dan lafazhnya.
Maka bagaimana mungkin menafsirkan cara tersebut (sehingga tulang-tulang kembali ke tempat persendiannya) dengan cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri pada sebelum ruku’ ini andaikan didukung oleh sejumlah hadits dalam tempat ini, tetapi bagaimana mungkin sedangkan kandungan hadits itu sendiri dengan menunjukkan berbeda dengan cara berdiri sebelum ruku’ dalam hal meletakkan tangannya.
Meletakkan tangan di atas dada dalam berdiri i’tidal adalah bid’ah dhalalah sedikitpun tidak diriwayatkan dalam hadits-hadits yang menerangkan tentang shalat. Kalaulah hal itu terdapat dasar hukumnya, tentu akan sampai  riwayatnya kepada kita sekalipun hanya satu riwayatnya. Disamping itu pula, tak seorangpun imam hadits menerangkannya. (Shifat An-Nabi : 120)
12. Kedudukan dan Cara Membaca saat Sujud
Sujud itu dilakukan dua kali pada setiap raka’at dan hukumnya fardhu berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta ijma ulama. Allah berfirman : “Wahai orang-orang yang beriman, ruku’lah dan sujudlah…” (QS. Al-Hajj : 77)
Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Nabi saw. Bersabda kepada orang yang tidak melaksanakan shalat dengan baik : “Kemudian sujudlah sampai thuma’ninah (tenang) dalam sujud itu, lalu bangkitlah sehingga thuma’ninah dalam duduk, lalu sujudlah sampai thuma’ninah dalam sujud itu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Cara melakukan sujud dilakukan setelah bangkit dari ruku’ dan setelah membaca ‘rabbana wa lakal hamdu, mendahului lutut, kemudian kedua tapak tangan.
“Saya melihat Nabi saw. apabila sujud, beliau letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.” (HR. Empat, Fiqhus Sunnah I : 139, Ibnu Majah : 882, At-Tirmidzi : 167)
Waktu sujud hidung kita menyentuh lantai, juga dahi sebagaimana diterangkan :
“… Kami diperintah sujud dengan tujuh tulang, yaitu dahi, dan ia isyaratkan juga pada hidung, dua tangannya, dua lutut dan ujung-ujung tapak kakinya.” (HR. Bukhari I : 197, Muslim I : 203)
Pada Hadits ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib r.a., disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda : “Jika seorang hamba bersujud, bersujudlah bersamanya tujuh anggota tubuhnya, yakni mukanya, kedua tapak tangannya, kedua lututnya, dan kedua tapak kakinya.” (HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dalam keterangan lain disebutkan :
“Janganlah kamu menghamparkan hasta seperti anjing menghampar.” (HR. Ibnu Majah : 891, Tirmidzi : 274, Muslim I : 204)
Dari Barra’ bin ‘Ajib, ia berkata : “Rasulullah saw. bersabda ‘Dan apabila kamu sujud, maka letakkan dua tapak tanganmu dan angkatlah dua sikumu’.” (HR. Muslim I : 204)
Dari Wa’il bin Hujr, bahwa keadaan Nabi saw. bila ruku’, beliau renggangkan jari-jarinya danapabila sujud, beliau kepit jari-jarinya. (HR. Hakim, Fiqhus Sunnah I : 136, Bukhari I : 197)
Juga jari tidak dikepalkan : “Faidzaa sajada wadha’a yadaihi ghairi muftarisyin wa laa qaabidhihimaa.” (HR. Bukhari I : 200)
Nabi saw. sujud, ia simpan dua tapak tangannya dengan tidak direnggangkan (jari-jarinya) serta tidak dikepalkan. Sabdanya pula : “Janganlah membentangkan hasta, bertumpulah dengan tapak tangan dan renggangkanlah kedua tanganmu.” (HR. Ibnu Khuzaimah, Sifat Shalat Nabi : 148)
“…. Ketika sujud diletakkannya dua tapak tangannya, lengannya (hasta) tidak diletakkan ke tempat sujud dan tidak dikepitkan ke rusuknya dan ujung jari kakinya dihadapkan ke arah kiblat.” (Bukhari I : 201)
Pada saat sujud, selain tangan kita rapatkan, demikian pula tumit kita pun diletakkan sebagaimana diriwayatkan.
Cara membaca do’a-do’a sujud sangat banyak, antara lain :
12.1.  Subhaana rabbiyal a’laa (3x)
           “Mahasuci Tuhanku Yang Maha Tinggi.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Daruquthni, Thahawi, Al-Bazzar dan Thabrani)
12.2.  Subbuuhun qudduusur rabbul malaaikati war ruuh.
           “Mahasuci dan Mahabersih Tuhan malaikat dan ruh.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.3.  Subhaanakallaahumma wa bi hamdika allaahummagh fir lii.
           “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, ya Tuhanku, ampunilah daku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
12.4.  Allaahumma laka sajattu wa bika aamantu wa laka aslamtu wa anta rabbii, sajada wajhii lil ladzii khalaqahu wa shawwarahu fa ahsana shuwarahu, wa syaqqa sam’ahu wa basharahu fa tabaarakallahu ahsanul khaaliqiin.
           “Ya Tuhanku, kepada-Mu aku sujud dan kepada-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku menyerah. Engkau adalah Tuhanku. Mukaku sujud kepada Dzat yang menciptakannya dan membentuknya, maka ia baguskan bentuknya dan ia telah membukakan pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik Dzat yang mencipta.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Thahawi dan Daruquthni)
12.5.  Allaahummagh fir lii dzambii kullahu wa diqqahu wa jillahu wa awwalahu wa aakhirahu wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu.
           “Ya Tuhanku, ampunilah dosaku seluruhnya yang kecil maupun yang besar, yang pertama maupun yang paling akhir, yang terang-terangan maupun yang tersembunyi.” (HR. Muslim dan Abu ‘Awanah)
12.6.  Sajada laka sawaadii wa khayaalii wa aamana bika fu’ aadii, abuu’u bi ni’matika ‘alayya, haadzihi yadii wa maa jiilat’alaa nafsii.
           “Kepada-Mu hati kecilku dan khayalku sujud, kepada-Mu hatiku beriman, aku kembali dengan nikmat-Mu yang (Engkau berikan) kepadaku. Ini adalah tanganku bersama apa yang tergerak dalam diriku.” (HR. Ibnu Nashr, Al-Bazzar dan Al-Hakim)
12.7.  Subhaana dzii jabaruuti wal malakuuti wal kibriyaa’i wal ‘azhamah.
           “Mahasuci Dzat yang mempunyai segala kekuasaan, segala kerajaan, kebesaran dan keagungan.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)
12.8.  Subhaanakallaahumma wa bi hamdika laa ilaaha illaa anta.
           “Mahasuci Engkau, ya Tuhanku dan dengan memuji-Mu, tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah, Nasa’i dan Ibnu Nashr)
12.9.  Allaahummaghfir lii maa asrartu wa maa a’lantu.
           “Ya Tuhanku, ampunilah (dosa)ku yang kurahasiakan dan yang kulakukan dengan terang-terangan.” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Nasa’i dan Hakim)
12.10.       Allaahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii lisaanii nuuran waj’al fii sam’ii nuuran waj’al fii basharii nuuran waj’al min tahti nuuran waj’al min fauqi nuuran wa’an yamiinii nuuran wa’an yaasarii nuuran waj’al amaamii nuuran waj’al khalfii nuuran waj’al fii nafsii nuuran wa ‘azhzhim lii nuuran.
           “Ya Tuhanku, jadikanlah cahaya dalam kalbuku, cahaya dalam lisanku, jadikanlah cahaya dalam pendengaranku, jadikanlah cahaya dalam penglihatanku, jadikanlah cahaya di bawahku, jadikanlah cahaya di atasku, cahaya di kananku, cahaya di kiriku dan jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya di belakangku dan jadikanlah cahaya dalam diriku dan besarkanlah cahaya bagiku.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Syaibah)
12.11.       Allaahumma innii a’uudzu bi ridhaaka min sakhatika wa a’uudzu bi mu’ aafaatika min ‘uquubatik, wa a’uudzu bika minka, laa uhshii tsanaa’an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsik.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri dengan keridhaan-Mu dari murka-Mu dan aku berlindung diri dengan kema’afan-Mu dari siksa-Mu aku berlindung diri dengan nama-Mu dan siksa-Mu. Aku tidak dapat membilang pujian atas-Mu, sebagaimana Engkau telah memuji atas diri-Mu.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Baihaqi)
13. Duduk di antara Dua Sujud
      Setelah sujud pertama, kemudian mengangkat kepala untuk duduk di antara dua sujud sambil bertakbir.
      Rasulullah bersabda : “Tidak sempurna shalat seseorang sehingga ia sujud sampai tenang semua persendiannya sambil mengucapkan ‘allaahu akbar’, kemudian mengangkat kepalanya sampai duduk dengan tepat.” (HR. Abu Dawud : 875)
      Dalam keterangan lain :
      “… kemudian ia sujud dan diantara dua sujud.” (HR. Muslim I : 197)
      Duduk iftirasy dicontohkan sebagai berikut :
      Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dari sunnah shalat menegakkan tapak kaki yang kanan dan menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat dan duduk di atas kaki kirinya.” (HR. An-Nasa’i II : 235)
      Bagi yang duduk di antara dua sujud meletakkan tangan yang kanan di atas paha yang kanan dan tangan yang kiri di atas paha kiri, ujung jari kedua tangan di atas ujung lutut dan menghadap kiblat sambil membaca do’a sujud, antara lain sebagai berikut :
13.1.  Allaahumaghfir lii warhamnii wajburnii warfa’nii wahdinii wa’aafiinii warzuqhni.
           “Ya Tuhanku, ampunilah daku, berilah aku rahmat, cukupilah aku, angkatlah aku, tunjukilah aku, jagalah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)
13.2.  Rabbighfir li warmahnii wahdinii warzuqnii.
           “Ya Tuhanku, ampunilah daku, berilah aku rahmat, tunjukilah aku dan berilah aku rizki.” (HR. Abu Dawud dll.)
13.3.  Rabbighfir lii (3x) atau allaahummaghfir lii
         “Ya Tuhanku, ampunilah daku (3x).” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)
Selanjutnya kita membaca takbir (tanpa angkat tangan) dan melakukan sujud yang kedua dengan bacaan sujud yang sama.
Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. bersabda : “Apabila kamu mendirikan shalat…, kemudian sujudlah hingga tenteram dalam sujud, kemudian hendaklah engkau bangkit (dari sujud) sehingga engkau tenteram dalam duduk, kemudian sujudlah hingga engkau tetap di dalam sujud, lalu kerjakanlah itu di dalam shalatmu semuanya.” (HR. Bukhari I : 192, Muslim I : 166, Bulughul Maram : 156)
14. Tata cara shalat raka’at kedua
Setelah sujud kedua, kemudian berdiri untuk melaksanakan shalat raka’at yang kedua. Pada saat bangkit dari sujud yang kedua kita dahulukan tangan, kemudian lutut dan takbir tanpa mengangkat tangan.
Diterangkan dalam suatu hadits :
Pada hadits Wa’il bin Hujr (disebutkan), ia berkata : “Aku melihat Rasulullah saw. apabila sujud, beliau meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya dan apabila bangun, beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” (HR. Imam Nasa’i dan Al-Atsram)
Kedua tangannya bertekan ke bumi pada waktu bangkit untuk raka’at berikutnya.
“Rasulullah saw. bangkit kepada raka’at kedua, sambil bertekan kepada tanah.” (HR. Bukhari dan Asy-Syafi’i)
Mengenai duduk istirahat sejenak setelah bangun dari sujud kedua pada raka’at pertama dan raka’at ketiga (dalam shalat empat raka’at) disebutkan dalam hadits berikut :
Pada hadits Abu Qilabah disebutkan : “Abu Sulaiman, Malik bin Al-Huwairits mendatangi masjid kami. Dia berkata : ‘Demi Allah, aku akan mempraktekkan shalat, padahal sebenarnya aku tidak akan shalat (saat ini), hanya aku ingin memperlihatkan kepada kamu sekalian, bagaimana aku melihat shalat Rasulullah saw.’, lalu dia duduk sebentar pada raka’at pertama setelah selesai dari sujudnya yang kedua pada raka’at pertamanya itu.” (HR. Imam Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa’i)
Dalam suatu riwayat disebutkan : “Aku (Malik bin Al-Huwairits) berkata kepada Abu Qilabah, bagaimana caranya aku melakukan shalat”. Malik bin Al-Huwairits berkata : “Aku shalat seperti syekh kita ini (yakni ‘Amr bin Salamah, imam mereka)”, dan disebutkan di situ bahwa setelah beliau selesai sujud kedua pada raka’at pertama, beliau mengangkat kepalanya, lalu duduk, kemudian berdiri. (HR. Imam Bukhari, Imam Abu Dawud dan Nasa’i)
Dari Mali bin Al-Huwairits bahwa dia melihat Nabi saw., jika beliau sujud pada raka’at ganjil (satu atau tiga), beliau tidak segera bangkit berdiri, kecuali setelah duduk dengan tegak terlebih dahulu. (HR. Imam Bukhari, Malik, Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih dan perlu diamalkan menurut ahli ilmu)
Dalil-dalil tersebut dikuatkan juga dengan hadits di bawah ini :
Pada hadits Abu Humaid As-Sa’idi mengenai sifat-sifat shalat Rasulullah saw., dia berkata : “Kemudian Rasulullah bergerak turun ke bumi untuk sujud. Beliau merenggangkan kedua tangannya dari kedua pinggangnya, lalu bangun sambil mengangkat kepalanya, membengkokkan tapak kaki kirinya, lalu duduk di atasnya dan menegakkan jari-jari kaki kirinya jika sujud, lalu beliau sujud lagi, kemudian mengucapkan ‘allaahu akbar’, sambil mengangkat kepalanya. Beliau membengkokkan kaki kirinya sambil mendudukinya. Beliau duduk setelah dua sujud, yaitu pada raka’at pertama dan ketiga, sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya masing-masing (duduk dengan tegak), lalu bangkit dan begitulah yang beliau lakukan pada raka’at ganjil lainnya.” (HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Baihaqi dan Tirmidzi). Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini hasan shahih.
Dalam suatu riwayat dari Abi Hurairah :
“Adalah Rasulullah saw….., kemudian bertakbir ketika turun ke sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian beliau berbuat demikian dalam semua shalat dan beliau bertakbir ketika bangkit dari dua raka’at setelah duduk.” (HR. Bukhari : 191, Muslim I : 166)
Pada raka’at kedua kita membaca Fatihatul kitab (Al-Fatihah) disambung dengan surat/ayat Al-Qur’an lainnya sebagaimana diterangkan hadits berikut ini :
Dari Abu Qatadah, ia berkata : “Adalah Rasulullah saw. shalat bersama kami. Beliau membaca Fatihatul kitab dan dua surat pada dua raka’at pertama pada shalat Zhuhur dan ‘Ashar dan kadangkala beliau memperdengarkan bacaan ayat itu kepada kita dan memanjangkan bacaan pada raka’at pertama dan pada dua raka’at terakhir membaca Fatihatul kitab saja.” (HR. Bukhari I : 191, Muslim I : 189)
Tata cara selanjutnya sama dengan rakaat yang pertama, yaitu :
14.1.  Membaca Fatihah;
14.2.  Membaca surat;
14.3.  Ruku dan bacaannya;
14.4.  Bangkit dari ruku’ dan bacaannya;
14.5.  Sujud pertama dan bacaannya;
14.6.  Bangkit dari sujud (duduk diantara dua sujud) dan bacaannya;
14.7.  Sujud kedua dan bacannya;
14.8.  Bangkit dari sujud kedua langsung duduk tahiyyat awal
15. Sifat duduk tasyahdud awal
Wa’il bin Hujr berkata tentang sifat shalat Rasulullah saw. : “Jika (yang shalat, yakni Rasulullah saw.) duduk setelah dua raka’at, beliau menelentangkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya, meletakkan tangan kanan pada paha kanannya, menegakkan jari (telunjuknya) untuk berdo’a dan meletakkan tangan kiri pada kaki kirinya.” (HR. Imam Nasa’i)
Dalil tersebut dikuatkan dengan :
Pada Hadits Ibnu ‘Umar r.a., (disebutkan) bahwa dia melihat seorang laki-laki yang mempermainkan batu kecil dengan tangannya, padahal dia sedang shalat. Setelah laki-laki tersebut shalat, (Ibnu ‘Umar) berkata kepadanya : “Janganlah menggerakkan batu kerikil jika kamu sedang shalat, sebab itu termasuk perbuatan syetan, tetapi lakukanlah seperti yang dilakukan Rasulullah saw.”. Orang itu bertanya : “Bagaimanakah shalat yang dilakukan Rasulullah saw. itu?” Ibnu ‘Umar meletakkan tangan kanannya pada paha kanannya dan mengisyaratkan jari telunjuk ke arah kiblat, sedangkan dia memandang telunjuknya.” (HR. Imam Nasa’i)
Pada suatu riwayat disebutkan : “Dia menegakkan (kaki) kanannya, menelentangkan kaki kiri, meletakkan tangan kanannya pada paha kanan dan tangan kiri pada paha kirinya, serta mengisyaratkan telunjuknya.”
Hadits itu pun dikuatkan dengan hadits Ibnu Zubair, dia berkata : “Rasulullah saw. jika duduk dalam shalat, beliau meletakkan tapak kaki kirinya di bawah paha kaki kanan dan betisnya. Beliau menancapkan tapak kaki kanan, meletakkan tangan kiri pada lutut kirinya, meletakkan tangan kanan pada paha kanannya, dan beliau berisyarat dengan (salah satu) jarinya dan ‘Abdu Wahid bin Ziyad memperlihatkan kepada kami bahwa (Rasulullah) mengisyaratkan dengan telunjuknya.” (HR. Imam Muslim dan Abu Dawud melalui jalan ‘Affan bin Muslim, dari ‘Abdul Wahid bin Ziyad)
Kedudukan tangan dan kaki pada saat tasyahdud sama dengan posisi saat kita melakkan duduk antara dua sujud, hanya kedudukan tangan kanan berbeda, yaitu membuat huruf O (jempol dan jari tengah dilekatkan ujungnya, jari manis dan kelingking digenggam, sedangkan telunjuk diisyaratkan) sebagaimana disebutkan dalam suatu riwayat sebagai berikut :
Dari Ibnu ‘Umar r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. apabila duduk tasyahdud (attahiyat), beliau meletakkan tangan kiri di atas lutut yang kiri dan tangan yang kanan di atas lutut yang kanan dan beliau genggam lima puluh tiga (jempol dan jari tengah ujungnya dirapatkan membentuk huruf O, jari manis dan kelingking digenggamkan) dan beliau mengisyaratkan jari telunjuknya. (HR. Muslim I : 235, Fiqhus Sunnah Vi : 144)
Berdasarkan perkataan Wa’il bin Hujr mengenai sifat shalat Rasulullah saw. : “Beliau duduk sambil membentangkan kaki kirinya dan meletakkan tapak tangan kirinya pada paha kirinya dan lutut kirinya, siku kanannya diangkat dari paha kanannya, kemudian mengepalkan tiga jarinya membentuk lingkaran (antara ibu jari dengan jari tengahnya), kemudian mengangkat jari (telunjuk)nya. Aku melihat beliau menggerakkan (telunjuknya) seraya berdo’a.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Imam Baihaqi)
Pada saat menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuk, tidak terlalu ditegakkan, tetapi sedang saja (agak dilekukkan) sebagaimana diriwayatkan : “Rasul mengangkat telunjuknya dan menggerakkannya dengan melekukkan sedikit.” (HR. Abu Dawud : 991, Zaadul Ma’ad I : 242)
16. Cara membaca do’a tasyahdud awal
      Pada saat duduk tasyahdud awal berbarengan dengan menggerakkan (mengisyaratkan) telunjuknya. Membaca do’a tasyahdud banyak macamnya, antara lain :
16.1.  Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata : “Rasulullah saw. mengajar aku tasyahdud sebagaimana beliau mengajar kepadaku surat dari Al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut : ‘Attahiyyaatu lillaahi washshalawaatu waththayyibaat, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh’ (Semua penghormatan, do’a dan puji-pujian yang baik adalah untuk Allah. Semoga sejahtera atas engkau, hai Nabi, termasuk juga rahmah Allah dan barakah-Nya. Sejahteralah atas kita sekalian dan atas hamba-hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang layak diibadahi melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.)” (HR. Bukhari dan Muslim)
16.2.  Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, ia berkata : “Rasulullah saw. mengajar kami tasyahdud sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat Al-Qur’an, yaitu : ‘Attahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaatu lillaah, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadar rasuulullaah.” (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Syafi’i)
16.3.  Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah saw. : “…. dan apabila sedang duduk, hendaklah permulaan ucapan salah seorang di antara kamu itu ialah : ‘Attahiyyaatuth, thayyibaatush shalawaatu lillaah, assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh, assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin, asyahdu al laa ilaaha illaha illallaahu wahdahu laa syariika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasululuh.”
16.4.  Diriwayatkan bahwa ‘Umar Ibnul Khaththab pernah mengajarkan tahiyyat kepada manusia dari atas mimbar sebagai berikut : “Attahiyyaatu lillaah, azzaakiyaatu lillaah, aththayyibaatu lillaah, ashshalawaatu lillaah, assalaamu ‘alaika …dst” (HR. Malik dan Al-Baihaqi)
Sesudah tahiyyat itu, langsung diteruskan dengan do’a shalawat yang beberapa lafazhnya berbunyi sebagai berikut (pilih salah satunya) :
16.5.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim innaka hamiidum majiid wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa ahli baitihi wa dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali ibrahiim innaka hamiidum majiid. (HR. Ahmad dan Thahawi dengan sanad yang shahih)
16.6.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita ‘alaa ibrahiim wa ‘alaa aali ibrahim, innaka hamiidum majid, allaahumma baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari, Muslim, Al-Humaidi dan Ibnu Mandah)
16.7.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum majiid, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakata ‘alaa ibraahiim wa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Ahmad, Nasa’i dan Abu Ya’la)
16.8.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aali muhammad, kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiima fil ‘aalamiina innaka hamiidum majiid. (HR. Muslim, Abu ‘Awanah dan Ibnu Abi Syaibah)
16.9.  Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin ‘abdika wa rasuulik, kamaa shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin ‘abdika wa rasuulik, wa ‘alaa aali muhammad, kamaa barakta ‘alaa ibraahiim, wa ‘alaa aali ibraahiim. (HR. Bukhari, Nasa’i, Thahawi dan Ahmad)
16.10.       Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih kama shallaita ‘alaa aali ibraahiim, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa azwaajihi wa dzurriyyatih, kamaa baarakta ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Bukhari dan Muslim)
16.11.       Allaahumma shalli ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, wa baarik ‘alaa muhammad wa ‘alaa aali muhammad, kama shallaita wa baarakta ‘alaa ibraahiim wa ‘alaa aali ibraahiim, innaka hamiidum majid. (HR. Thahawi dan Abu Sa’id Al-‘Arabi)
17. Bangkit dan shalat raka’at ketiga
Setelah membaca tasyahdud dan shalawat kita bangkit untuk raka’at yang ketiga sambil bertakbir dan mengangkat tangan untuk takbir. Disebutkan dalam satu riwayat :
Takbir mengangkat tangan saat raka’at ketiga ini sifat dan caranya sama dengan takbir-takbir (mengangkat tangan) lainnya.
Bacaan-bacaan shalat dan cara-caranya sama dengan raka’at kedua, hanya setelah takbir langsung membaca Al-Fatihah tanpa membaca surat. Hal ini dijelaskan dalam suatu hadits berikut :
“…. dan membaca pada dua raka’at terakhir Fatihatul Kitab saja.” (HR. Bukhari I : 189, Muslim I : 191)
Jika jumlah raka’at hanya tiga (shalat Maghrib), setelah sujud kedua langsung tahiyyat akhir yang bacaannya sama dengan tahiyyat awal, hanya bisa ditambah dengan do’a (akan dijelaskan bacaan tahhiyat akhir pada raka’at keempat).
18. Raka’at keempat
Setelah sujud kedua raka’at ketiga, kita bangkit dan takbir tanpa mengangkat tangan. Bacaan dan caranya sama dengan raka’at ketiga. Hanya setelah sujud yang kedua kita duduk untuk tahhiyyat akhir dengan cara berikut :
- Kedudukan tangan sama dengan ketika tahiyyat awal.
-  Kedudukan kaki diterangkan :
   “… dan apabila beliau duduk pada raka’at terakhir (tahiyyat akhir), diulurkannya tapak kaki kirinya (ke sebelah kanan) dan ditegakkannya tapak kaki yang sebelah kanan (ujung jari-jarinya menghadap kiblat) dan beliau duduk di punggulnya.” (HR. Bukhari I : 201, Fiqhus Sunnah I : 145)
-  Pandangan mata pada saat tasyahdud (baik awal maupun akhir), diterangkan dalam hadits :
   Dari ‘Abdillah bin Zubair, dari bapaknya … pandangannya tidak melebihi isyaratnya (telunjuk waktu berisyarat/menggerakkan). (HR. Abu Dawud : 990 dan Nasa’i III : 29)
   Dalam keterangan lain disebutkan :
   Berkata Ibnu ‘Umar : “Rasulullah meletakkan tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau mengisyaratkan (menggerakkan) telunjuknya pada arah kiblat dan beliau mengarahkan pandangannya pada jari telunjuk atau arahnya.” (HR. Nasa’i II : 237, Fiqhus Sunnah I : 144)
Setelah membaca tasyahdud (tahiyyat) dan shalawat sebagaimana tahiyyat awal, kita boleh memanjangkan do’a yang kita ajukan kepada Allah. Diantara do’a-do’a yang diajarkan Nabi saw. itu adalah sebagai berikut :
18.1.  Allahumma innii a’uudzu bika min ‘adzaabil qabri, wa a’uudzu bika min fitnatil mashiihid dajjaal, wa a’uudzu bika min finatil mahyaa wal mamaat, allahumma innii a’uudzu bika minal ma’tsami wal maghrami.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari adzab kubur. Aku berlindung diri kepada-Mu dari fitnah Masih Dajjal. Aku berlindung diri kepada-Mu dari fitnah hidup dan mati. Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari berbuat dosa dan berhutang.”
           Do’a ini sering diucapkan oleh Rasulullah saw. Karena seringnya hingga ‘Aisyah bertanya kepada Nabi : “Gerangan mengapa engkau sering berdo’a minta perlindungan dari hutang, ya Rasulullah?” Nabi menjawab : “Sesungguhnya seseorang itu apabila berhutang, kalau bicara ia suka dusta dan kalau berjanji suka menyalahinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.2.  Allahumma innii a’uudzu bika min syarri maa ‘amiltu wa min syarri maa lam a’mal.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan apa yang kuperbuat dan dari kejelekkan apa yang tidak ku perbuat.” (HR. Nasai’i dengan sanad yang shahih)
18.3.  Allahumma haasibnii hisaabay yasiiraa.
           “Ya Tuhanku, hisablah aku dengan hisab yang ringan.” (HR. Ahmad dan Hakim, shahih)
18.4.  Allahumma bi ‘ilmikal ghaiba wa qudratika ‘alal khalqi ahyiinii maa ‘alimtal hayaata khairal lii, wa tawaffanii idzaa kaanatil wafaatu khairal lii. Allahumma wa as’aluka khasy-yataka fil ghaibi way syahaadati wa as’aluka kalimatal haqqi wal ‘adli fil ghadabi war ridhaa, wa as’alukal qashda fil faqri wal ghinaa wa al’aluka na’iimal laa yabiid, wa as’aluka qurrata ‘ainil laa tanqathi’u wa as’alukar ridhaa ba’dal qadhaa’i, wa al’aluka bardal ‘aisyi ba’dal mauti, wa as’aluka ladzdzatan nazhari ilaa wajhika wa as’alukasy syauqa ilaa liqaa’ika fii ghairi dharraa’i mudhirrah, wa laa fitnatim mudhillah, allahumma zayyinaa bi ziinatil iimaani waj’alnaa hudaatam muhtadiin.
           “Ya Tuhanku, dengan pengetahuan-Mu akan hal yang ghaib dan kekuasaan-Mu atas makhluk ini, hidupkanlah aku yang menurut pengetahuan-Mu hidupku itu adalah baik bagiku dan matikanlah aku jika mati itu lebih baik bagiku. Ya Tuhanku, aku meminta kepada-Mu supaya bisa takut kepada-Mu pada waktu tersembunyi dan pada waktu ramai. Aku meminta kepada-Mu beromong yang benar, jujur pada waktu marah dan senang. Aku meminta kepada-Mu untuk bisa sederhana, baik pada waktu miskin maupun pada waktu kaya. Aku minta kepada-Mu kenikmatan yang tiada hancur dan aku minta kepada-Mu kesejukkan mata yang tidak terputus-putus. Aku minta kepada-Mu kepuasan sesudah qadha dan aku minta kepada-Mu kesejukkan hidup sesudah mati. Aku minta kepada-Mu kesenangan melihat wajah-Mu dan aku minta kepada-Mu kerinduan untuk bertemu dengan-Mu dalam keadaan tidak susah yang menyusahkan dan tidak terdapat finah yang menyesatkan. Ya Tuhanku, hiasilah hidup kami ini dengan perhiasan iman dan jadikanlah kami pemimpin yang terpimpin.” (HR. Nasa’i dan Hakim, shahih)
18.5.  Allahumma innii zhalamtu nafsii zhulman katsiiraa, wa laa yaghfirudz dzunuuba illaa anta, faghfir lii maghfiratam min ‘indik, warhamnii innaka antal ghafuurur rahiim.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku dengan penganiayaan yang banyak, sedang tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau. Oleh karena itu, ampunilah aku dengan suatu pengampunan yang datangnya dari-Mu dan sayangilah aku karena sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
18.6.  Allahumma innii as’aluka minal khairi kullihi ‘aajilihi wa aajilihi maa ‘alimtu minhu wa maa lam a’lam, wa a’uudzu bika minasy syarri kulihi ‘aajilihi wa aajilihi ma ‘alimtu minhu wa maa lam ‘alam, wa as’alukal jannata wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa ‘a’uudzu bika minan naari wa maa qarraba ilaihaa min qaulin au’amalin, wa as’aluka minal khairi maa sa’alaka ‘abduka wa rasuuluka muhammad, wa a’uudzu bika min syarri masta’aadzaka minhu ‘abduka wa rasuuluka muhammadun shallallaahu ‘alaihi wa sallam, wa as’aluka maa qadhaita lii min amrin an taj’ala ‘aaqibatahu lii rusydaa.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu kebaikan semuanya, sekarang atau nanti, yang aku ketahui atau yang tidak kuketahui. Aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan semuanya, sekarang atau nanti, yang kuketahui atau yang tidak kuketahui. Aku minta kepada-Mu surga dan sesuatu yang mendekatkan ke surga, baik berupa omongan maupun perbuatan. Aku berlindung diri kepada-Mu dari neraka dan sesuatu yang mendekatkan ke neraka, baik berupa omongan maupun perbuatan. Aku minta kepada-Mu kebaikan yang pernah diminta oleh hamba-Mu dan Rasul-Mu, Muhammad dan aku berlindung diri kepada-Mu dari kejelekkan sesuatu yang pernah diminta perlindungannya oleh hamba-Mu suatu perkara yang telah Engkau tentukan kepadaku yang Engkau akan jadikan akibatnya itu sebagai satu pimpinan bagiku.” Do’a ini adalah do’a yang diajarkan Rasulullah saw. kepada ‘Aisyah r.a. (HR. Ahmad, Thasyalisi, Ibnu Majah, Hakim dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
18.7.  Allahumma innii as’aluka yaa allaahul ahadsuh shamad al-ladzii lam yalid wa lam yuulad wa lam yakul lahu kufuwan ahad an taghfiraa lii dzunuubii innaka antal ghafuurur rahiim.
           “Ya Tuhaku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, ya Allah, Dzat Yang Esa, yang menjadi tempat bergantung, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan dan tiada satupun (mkhluk) yang sama dengan Dia, kiranya Engkau dapat mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya Engkaulah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Mahabelas kasih.” Do’a ini semula diucapkan oleh salah seorang sahabat. Akan tetapi setelah Rasulullah saw. sendiri mendengarnya, lalu dipujinya orang itu dengan sabadany : “Sungguh Allah telah mengampuni dia. Sungguh Allah telah mengampuni dia.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
18.8.  Allahumma innii as’aluka bi anna lakal hamd, laa ilaaha illaa anta wahdaka laa syariika lak, almannaan, yaa badii’as samaawaati wal ardhi, yaa dzal jalaali wal ikraam, ya hayyu yaa qayyuum, innii as’alukal jannata wa a’uudzu bika minan naar.
           “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku minta kepada-Mu, karena sesungguhnya bagi-Mulah segala puji. Tiada tuhan yang layak diibadahi melainkan Engkau Yang Esa, yang tiada sekutu bagi-Mu, Mahamurah, wahai Dzat Pencipta langit dan bumi, waha Dzat yang mempunyai keagungan dan kemuliaan, wahai Dzat yang Maha hidup dan berdiri sendiri. Sesungguhnya aku minta kepada-Mu surga dan aku berlindung diri kepada-Mu dari neraka.” Do’a ini juga semula diucapkan oleh salah seorang sahabat, kemudian ketika Rasulullah saw. mendengarnya, ia bertanya kepada para sahabatnya : “Tahukah kalian apa yang ia katakan dalam do’anya itu?” Mereka menjawab : “Allah dan Rasulnya yang lebih tahu”. Rasulullah kemudian menjelaskan : “Demi Dzat yang diriku dalam kekuasaan-Nya, sungguh telah berdo’a dengan nama-Nya, Yang Maha Agung, yang apabila seseorang berdo’a dengan nama-Nya, pasti akan dikabulkan dan apabila dia minta, pasti diberi.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ahmad dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)
Setelah membaca tasyahdud atau do’a sebagai penutup shalat kita mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sebab salam merupakan penghalalan shalat. Hal ini diterangkan :
Dari ‘Ali r.a., bahwa Nabi saw. bersabda : “Kunci shalat itu bersuci, permulaannya takbir dan penutupnya adalah mengucapkan salam.” (HR. Syafi’i, Imam Ahmad, Al-Bazzar, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Tirmidzi) Menurut Imam Tirmidzi, hadits ini paling shahih dan hasan di antara hadits lainnya yang berkenan dengan masalah ini. Imam Hakim dan Ibnu Sakan pun menshahihkannya.
Cara bacaan salam yang diajarkan Rasul adalah : Dari Ibnu Mas’ud r.a., bahwa Nabi saw. biasa mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga terlihat warna putih pipinya (dengan ucapan) : “Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah, assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah.” (HR. Imam Ahmad, At-Thahawi, Abu Dawud, Tirmidzi, Imam Nasa’i, Ibnu Majah) Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Dalil tersebut dikuatkan dengan hadits :
Dari Sa’ad bin Waqqash r.a., ia berkata : “Aku telah melihat Rasulullah saw. mengucapkan salam ke kanan dan ke kiri, sehingga aku dapat melihat warna putih pipinya.” (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah, Daraquthni, Ibnu Hibban, Al-Bazzar)
Atau mengucapkan salam dengan sempurna.
Dari Wa’il bin Hujr r.a., ia berkata : “Aku pernah mendirikan shalat beserta Nabi saw. Ternyata Nabi saw. salam ke kanan dengan mengucapkan ‘Assalaamu ‘alaikum warahmutullahi wabarakaatuh’ (Semoga salam sejahter dicurahkan kepada kamu sekalian. Demikian pula rahmat dan berkah dari Allah swt.’), sedangkan ketika salam ke kiri beliau mengucapkan ‘Assalaamu ‘alaikum warahmatullah’.” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tata cara shalat itu adalah :
1.   Suci dari hadats besar dan kecil (dengan wudhu, tayammum dan mandi);
2.   Niat untuk shalat (bukan talafudz bin niyat dengan membaca ushalli) sebagaimana diterangkan : “Sesungguhnya amalah itu tergantung niatnya.” (HR. Bukhari);
3.   Pakaian, tempat dan badan harus suci dari najis;
4.   Menghadap kiblat;
5.   Mengangkat tangan (takbiratul ihram);
a.   Jari tangan direnggangkan;
b. Tapak tangan sejajar dada atau sejajar daun telinga atau sejajar pundak.
c.  Tapak tangan dihadapkan ke arah kiblat;
6.   Memeluk hasta tangan kiri oleh tapak tangan kanan antara susu dan pusar;
7.   Membaca do’a iftitah;
8.   Membaca ta’awwudz, Fatihah dan surat (reka’at pertama);
9.   Takbir waktu ruku’ dengan mengangkat kedua tangan, kedudukan tangan sama dengan ketika takbiratul ihram;
10. Bacaan ruku’
11. Mengangkat dua tangan, bangkit dari ruku’, sambil membaca sami’allaahu li man hamidah dan rabbanaa wa lakal hamdu;
12. Takbir ke sujud dengan tidak mengangkat tangan;
a. Mendahulukan lutut, kemudian tapak tangan sampai ke lantai;
b. Tujuh anggota badan menyentuh lantai : dahi, hidung, dua tapak tangan dan dua lutut;
c.  Jari kaki dihadapkan ke kibalat (lipat);
d. Dua tumit kaki dilekatkan;
e. Hasta tidak dikepitkan ke rusuk dan tidak dihamparkan ke lantai (seperti menghamparkan anjing), siku diangkat sedikit;
13. Membaca bacaan dalam sujud;
14. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud tanpa angkat tangan;
15. Membaca bacaan waktu bangkit dari sujud dan meletakkan kedua tangan di atas paha yang sesuai;
16. Takbir waktu sujud tanpa mengangkat tangan;
17. Membaca bacaan dalam sujud;
18. Takbir, bangkit dari sujud tanpa mengangkat tangan; Untuk raka’at kedua, ketiga dan seterusnya tidak ada :
a. Takbiratul ihram;
b. Do’a iftitah;
c.  Ta’awwudz;
Tetapi ada :
a. Tahiyyat awal pada raka’at kedua;
b. Tahiyyat akhir pada raka’at terakhir yang lebih dari dua rakaat atau yang dua raka’at;
c.  Takbir mengangkat tangan waktu akan memulai raka’at ketiga;
d. Bacaan waktu berdiri pada raka’at ketiga dan atau keempat hanya Fatihah saja (tanpa surat);
e. Saat tahiyyat menggoyangkan telunjuk, baik awal maupun akhir;
f.  Salam ke kanan dan ke kiri;
g. Khusus raka’at ketiga dan keempat hanya Fatihah saja tanpa membaca surat