
( gambar: Persebaran Pembagian Mazhab di dunia Islam)
Hingga saat ini sebagian besar umat Islam dalam menjalankan tatacara
ibadah ritual maupun muamalah berpedoman pada salah satu madzhab fiqh
yang empat atau lima. Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali bagi
kaum Ahlusunnah wal Jama’ah serta madzhab Ja’fari bagi pengikut Syi’i.
“Bermazhab “(al-madzhabiyyah) biasa diartikan dengan bertaklidnya
orang awam, atau seorang yang ilmunya belum mencapai tingkat mujtahid,
kepada madzhab seorang imam mujtahid, baik konsisten dengan seorang imam
saja maupun kadang berganti dari satu imam ke imam lain. Sedangkan
kebalikkannya adalah “Anti-Madzhab” (al-lamadzhabiyyah) adalah tidak
bertaklidnya seorang awam, atau seorang yang belum mencapai tingkat
mujtahid kepada seorang imam mujtahid. Penafsiran bermadzhab dan anti
madzhab tersebut di atas adalah yang diketahui secara bahasa
(etimologis), dipahami secara istilah (terminologis) dan dimengerti
secara umum oleh khalayak.
Menarik untuk mencermati mereka yang anti madzhab, mereka berpendapat
bahwa madzhab-madzhab itu merupakan sekumpulan pendapat, pemahaman
terhadap beberapa masalah dan ijtihad yang dilakukan ulama. Allah dan
Rasulnya tidak mewajibkan seorang pun untuk mengikuti berbagai pendapat
dan ijtihad ulama tersebut. Sebagai gantinya, mereka beranggapan bahwa
menggunakan metode ijtihad langsung adalah mudah bagi siapapun dan tidak
memerlukan referensi yang lebih dari al-Muwaththa, ash-shahihain (shahih Bukhari dan Muslim), Sunan Abi Dawud, Jami’ at-Tirmidzi dan an-Nasa’i
karena kitab-kitab tersebut sudah diketahui lagi masyhur, bisa diakses
dalam waktu singkat. Bagi siapa saja yang tidak memahami kita tersebut
karena kendala bahasa bisa meminta yang mengeri untuk menjelaskan
kepadanya.
Lebih jauh lagi mereka beranggapan bahwa seorang muslim tidak boleh
mengikuti suatu madzhab tertentu dan menekankan agar seorang muslim
wajib mengambil hukum-hukum dari al-Quran dan sunnah secara langsung
sebagai dua sumber hukum yang ma’shum. Bertaklid pada salah satu imam
madzhab dianggap sebagai perbuatan sesat karena mengikuti pendapat
ulama yang tidak ma’shum, menyaingi madzhab Nabi, ikut andil dalam
memecah belah agama Islam ke dalam golongan-golongan dan menjadikan
orang-orang alim sebagai Tuhan selain Allah karena telah membuat syariat
tandingan.
Pendapat-pendapat mereka yang anti madzhab ini mengingatkan pada
pendapat seorang orientalis berkebangsaan Jerman, Joseph Schacht.
Schacht menyatakan bahwa fiqh Islam yang ada saat ini tidak lain
hanyalah pemahaman tentang undang-undang yang diproduksi oleh
pikiran-pikiran konstitusional / perundang-undangan yang disematkan atau
dicarikan pembenarannya dalam al-Quran dan sunnah yang dilakukan para
ulama. Schacht juga berpendapat bahwa kandungan ajaran Islam sebenarnya
sederhana dan bisa dipahami oleh seorang Arab pedalaman dalam beberapa
menit saja.
Agak memakan waktu untuk mencari pijakan atau argumen dasar bagi saya
dan mereka yang memutuskan untuk memilih salah satu madzhab yang
disepakati sah dalam Islam ini. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk
menyampaikan kembali argumen yang disampaikan oleh Dr. Syaikh Muhammad
Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya yang berjudul “ Al-Lamadzhabiyyah; Akhtaru Bid’ah Tuhaddidu asy-Syari’ah al-Islamiyyah” yang diterjemahkan dengan judul “Menampar Propaganda “Kembali kepada Al-Quran” : Keruntuhan Argumentasi Paham Anti-Madzhab dan Anti Taqlid”
yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren. Saya akan berusaha meringkas
beberapa bagian tanpa merubah esensi materi yang disampaikan Syaikh
Ramadhan al-Buthi dan mungkin harus saya bagi menjadi tiga postingan ; “Argumen Dasar Bermadzhab”, “Sanggahan Atas Argumen Anti-Madzhab” dan “Tiga Kesepakatan Dalam Bermadzhab” yang dijadwalkan terposting hingga hari Sabtu, 26 Oktober 2013 tiap pukul 15.00 WIB. Mari kita mulai bagian yang pertama.
Taklid Adalah Legal Secara Syari’at
Bahwa menurut kesepakatan umat Islam, taklid itu sah secara syari’at.
Taklid adalah mengikuti perkataan/pendapat seseorang tanpa mengetahui
hujjah keabsahannya (dalam hal-hal furu’ bukan aqidah), meskipun ia
mampu mengerti argumen mengenai sahnya taklid itu sendiri. Seorang
muqallid kadang mengetahui hujjah kebolehan bertaklid kepada seorang
ulama-mujtahid, namun ia tidak mengerti hujjah tentang keabsahan hukum
yang ia ikuti.
Apakah perbuatan tersebut dinamakan taklid ataupun ittiba’, tidak ada
bedanya. Secara linguistik, makna keduanya sama. Allah mengungkapkan
bentuk terburuk dari taklid dengan kata “ittiba”.
Hal-hal yang kemudian menyebabkan ada sebagian orang yang bertaklid
dan sebagian lainnya mujtahid yang diikuti / ditaklidi adalah sebagai
berikut :
- Sebagian orang mengerti dalil-dalil dan menguasai cara ber-istinbath, sehingga ia dan ilmunya tersebut mencapai tingkatan seorang mujtahid yang mampu memberikan fatwa.
- Sebagian orang tidak mengerti tentang dalil-dalil itu, atau memahami dalil namun tidak menguasai cara ber-istinbath, sehingga ia adalah orang yang bertaklid kepada mujtahid.
Lantas, apa dalil disyari’atkannya taklid dan kewajiban melakukannya ketika tidak mempunyai kemampuan berijtihad ?
Pertama: Firman Allah
Allah berfirman:
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui” (QS. an-Nahl [16]:43)
Para ulama sepakat bahwa ayat itu adalah perintah kepada orang yang
tidak mengetahui hukum suatu persoalan untuk mengikuti orang yang tahu
akan hukum persoalan tersebut. Mayoritas ulama ushul fiqh menjadikannya
sebagai sandaran pertama mengenai kewajiban orang awam untuk bertaklid
kepada ulama-mujtahid.
Ayat yang memiliki kandungan yang sama dengan firman di atas:
“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan
perang), mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. at-Taubah [9]:
122)
Allah Swt melarang semua orang pergi berjihad, dan memerintahkan agar
ada sebagian yang tinggal untuk mendalami agama- Nya. Sehingga jika
saudara-saudaranya pulang (dari berperang), mereka akan menemukan orang
yang memberi fatwa tentang halal-haram dan menjelaskan hukum Allah Swt.
Kedua: Ijma’ (Kesepakatan)
Ijma’ menyatakan bahwa para sahabat Rasulullah Saw memiliki tingkat
keilmuan yang berbeda-beda. Tidak semua sahabat adalah ahli
fatwa—sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun, dan hanya segelintir saja yang
menjadi mufti-mujtahid. Di antara mereka ada juga yang menjadi
mufti-muqallid, bahkan golongan inilah yang paling banyak. Sahabat yang
menjadi mufti tidak selalu menyebutkan suatu hukum beserta penjelasan
dalilnya (kepada mustafti atau orang yang meminta fatwa).
Rasulullah Saw mengutus seorang sahabat yang ahli fikih ke daerah
yang penduduknya masih awam, baik dalam masalah akidah maupun tata cara
peribadatan. Para penduduk itu mengikuti semua fatwanya. Mereka
mempercayakan amal-amal, ibadah, urusan mu’amalah dan seluruh perkara
halal-haram kepada sang mufti. Kadang, sang mufti menemukan hal yang
belum ditemukan dalilnya dalam al-Qur‘an dan Sunnah. Dia pun berijtihad
dan berfatwa sesuai kemampuan ijtihadnya, lalu para penduduk berpedoman
dengannya. Contoh yang paling populer disebutkan adalah apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Syu’bah
dari Mu’adz bin Jabal:
Ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, Nabi bertanya kepadanya, “Apa
yang akan kamu lakukan jika kamu menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz
menjawab, “Saya akan putuskan dengan Kitabullah.” Nabi bertanya, “Jika
tidak ada (pemecahannya) dalam Kitabullah ?” Mu’adz menjawab, “Dengan
sunnah Rasulullah.”
Nabi bertanya, “Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?” “Saya
akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono”, jawab Mu’adz. Mu’adz
mengatakan, “Maka Rasulullah pun menepuk dadaku lalu berkata: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah
tentang hal yang disukai olehnya.”
Sebagai argumen bahwa orang awam harus bertaklid, al- Ghazali menulis
dalam al-Mustashfa, bab at-Taqlid wa al-Istifta‘ (Taklid dan Meminta
Fatwa):
“Terhadap hal itu, kami berargumen dengan dua jalan/segi. Pertama,
ijma’ sahabat. Para sahabat berfatwa kepada orang-orang awam dan tidak
memerintahkan mereka untuk mencapai tingkatan ijtihad. Hal itu sudah
diketahui para ulama dan orang awam dari kalangan sahabat secara pasti
dan mutawatir (dibicarakan banyak orang)”
Dalam al-Ihkam, al-Amidi mengatakan:
“Sudah menjadi ijma’, bahwa orang awam di masa sahabat dan
tabi’in, sebelum munculnya orang-orang yang berbeda pendapat, selalu
meminta fatwa kepada para mujtahid dan mengikuti mereka dalam
hukum-hukum syari’at. Para ulama segera men¬jawab pertanyaan mereka
tanpa menyebut dalilnya. Tidak ada seorang pun yang mengingkari itu.
Sehingga, hal itu mutlak telah menjadi ijma’, bahwa orang awam boleh
mengikuti mujtahid.”
Bahkan di masa sahabat, hanya orang-orang tertentu saja yang
mengeluarkan fatwa, yakni mereka yang ahli di bidang fikih, riwayat dan
ber-istinbath. Yang paling terkenal adalah khalifah empat, ‘Abdullah ibn
Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Mu’adz ibn Jabal, Ubay ibn Ka’b dan Zaid
ibn Tsabit. Mereka inilah yang ditaklidi oleh kebanyakan sahabat
lainnya.
Di masa tabi’in, medan ijtihad meluas. Pada masa ini, umat Islam
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di masa sahabat. Hanya
saja, ijtihad pada masa ini direpresentasikan dalam dua madzhab utama,
yakni madzhab ahlur-ra’yi dan ahlul-hadits, disebabkan adanya faktor-faktor ijtihadiyah.
Yang termasuk tokoh-tokoh otoritatif madzhab ahlur-ra’yi di Irak
adalah: ‘Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Masruq ibn al-Ajda‘ al-Hamdani,
Ibrahim ibn Zaid an-Nakha’i, dan Sa’id ibn Jubair. Kenyataan bahwa
mayoritas penduduk Irak dan sekitarnya bertaklid kepada madzhab ini,
tidak diingkari oleh seorang pun (ahli sejarah).
Yang termasuk para tokoh otoritatif madzhab ahlul-hadits di Hijaz
adalah: Sa’id ibn al-Musayyab al-Makhzumi, ‘Urwah ibn az-Zubair, Salim
ibn ‘Abdillah ibn ‘Amr, Sulaiman ibn Yasar, dan Nafi’, bekas budak
‘Abdullah ibn ‘Umar. Bahwa kebanyakan penduduk Hijaz dan sekitarnya
bertaklid kepada madzhab ini, juga tidak diingkari seorang pun (ahli
sejarah).
Di antara dua poros madzhab ini, kadang terjadi perdebatan dan
persaingan sengit. Tapi orang awam dan para pelajar yang secara ilmu dan
pengetahuan fikih masih di bawah mereka, tidak menggubris persaingan
itu. Karena mereka bertaklid kepada yang mereka inginkan, atau yang
dekat dengan mereka. Dan perdebatan sebagian mujtahid itu tidak menjadi
persoalan dan tanggung jawab orang awam yang tidak tahu-menahu.
Kenyataan ini tidak ada yang mengingkari.
Ketiga: Dalil ‘Aqli (Rasional) yang Jelas
Berikut ini adalah perkataan al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdullah Darraz:
“….Argumen yang rasional adalah, bahwa orang yang belum memiliki
kemampuan berijtihad, jika menghadapi kasus yang sifatnya far’iyyah,
(ada dua kemungkinan yang dilakukan); kadang menghukuminya tanpa dasar
sama sekali, dan ini menyalahi ijma'; kadang menghukuminya dengan
berdasar pada penelitian dalil yang menerangkan hukum itu atau dengan
bertaklid. Yang pertama (meneliti sendiri) dilarang, karena dalam hal
itu, orang tersebut — telah melanggar haknya (yang tidak memiliki
kemampuan ijtihad) dan hak orang lain — ia tidak akan bisa meneliti
dalil-dalil banyak kasus, dan la sibuk dengan mata-pencahariannya,
(meneliti banyak dalil dari kasus-kasus) bisa membuatnya menelantarkan
profesi dan pekerjaan, merusak dunia sebab mengabaikan ladang dan anak
turunannya, dan yang terutama, telah melepaskan diri dari taklid. Hal
itu sangat sulit (terjadi) … Demikian karena-nya, cukup bertaklid, dan
itulah yang dilakukan untuk melaksanakan kefarduan tersebut.”
Ketika para ulama telah melihat keseluruhan dalil al-Qur‘an, Sunnah
dan akal—bahwa orang awam atau orang alim yang belum mencapai tingkatan
ber-istinbath dan berijtihad harus bertaklid kepada mujtahid yang
mengerti benar tentang dalil, mereka (para ulama) mengatakan, “ Fatwa
mujtahid bagi orang awam seperti dalil al-Qur‘an dan Sunnah bagi
mujtahid”. Karena al-Qur‘an telah me-wajibkan orang yang tidak tahu
untuk memegangi fatwa dan ijtihad ulama, sebagaimana wajibnya orang alim
untuk berpedoman pada kandungan maknanya (al-Qur’an). Tentang hal
tersebut, asy- Syathibi menjelaskan:
“Fatwa-fatwa mujtahid, bagi orang awam, seperti dalil-dalil syar’i
bagi para mujtahid. Alasannya, ada atau tidaknya dalil-dalil bagi para
muqallid adalah sama saja ketika mereka tidak bisa mema¬hami maksudnya
sedikit pun. Meneliti dalil-dalil dan ber-istinbath bukanlah tugas
mereka, (bahkan) Hal itu sama sekali tidak diper¬bolehkan. Allah Swt
berfirman, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kalian tidak mengetahui.” (QS al-Anbiya [21 ]:7). Seorang muqallid
bukanlah orang yang tahu, oleh karena itu ia harus bertanya dan merujuk
pada orang yang memiliki pengetahuan (ahl adz-dzikri). Sehingga ahl
adz-dzikri adalah orang yang bagi muqallid menempati posisi syara’, dan
perkataannya menduduki kedudukan syari’ (yang membuat syari’at).”
Dengan demikian sulit diterima argumen yang mengatakan bahwa
pertumbuhan madzhab empat adalah bid’ah, dan bertaklid pada madzhab
empat adalah bentuk bid’ah yang lain. Sulit diterima jika kemunculan
madzhab empat dianggap bid’ah sedangkan kemunculan madzhab ahlur-ra‘yi
dan ahlul-hadits tidak dianggap demikian. Sulit juga menerima jika
penganut madzhab Syafi’i dan Hanafi dianggap pembuat bid’ah sedangkan
penganut madzhab an-Nakha’i di Irak dan madzhab Sa’id ibn al-Musayyab di
Hijaz tidak.
Hal yang dianggap “bid’ah” baru dari mereka adalah bahwa mereka telah
mengkodifikasikan sunnah dan fikih pada satu sisi, dan pada sisi lain
merintis suatu dasar metode ber-istinbath serta metode pengkajian dalil.
Efek dari usaha mereka adalah pecahnya dinding perselisihan antara
ahlul-hadits dan ahlur-ra‘yi. Pada masa berikutnya, sebab rintisan
metode para imam tersebut, masing-masing dari dua golongan ini dapat
berdamai dalam satu putusan yang seimbang dan baru yang tetap bersandar
pada dalil-dalil dari Sunnah, al-Qur‘an dan ijma’.
Karena hal yang demikian, menjadi semakin kuatlah pondasi metodologi
madzhab empat, yang disusul kemudian dengan pengkodifikasian
masalah-masalah ushul dan furu’. Para ulama lalu mencurahkan perhatian
untuk meneliti hasil pengodifikasian tersebut, sehingga madzhab empat
meluas dan kitab-kitabnya tersebar di mana-mana.
Setelah menjelaskan semua hal di atas (esensi dan dalil taklid,
posisi madzhab empat terhadap madzhab-madzhab sebelumnya, dan realita
umat Islam pada masa madzhab-empat dan masa sebelumnya), cukuplah sidang
pembaca yang berakal dan adil dalam bersikap (munshif).
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)