Menjawab Argumen mereka yang Anti Berdiri diatas Mazhab, Berikut sanggahan yang diberikan oleh Syaikh Ramadhan al-Buthi atas argumen tersebut.
Apa saja argumen-argumen yang menjadi sandaran klaim pendukung anti madzhab ? Mari kita mencermatinya.
Argumen Pertama: Hukum Islam Sedikit Jumlahnya
Klaim bahwa Islam tidak lebih dari sekedar hukum-hukum yang sedikit
jumlahnya, yang bisa dipahami oleh setiap orang Arab pedalaman (a’rabiy)
atau muslim mana pun. Mereka biasanya bersandar pada hadits yang cukup
panjang berikut ini :
Amr bin Muhammad bin Bukair an-Naqid menuturkan kepadaku. Dia
berkata; Hasyim bin al-Qasim Abu an-Nadhr menuturkan kepadaku. Dia
berkata; Sulaiman bin al-Mughirah menuturkan kepadaku dari Tsabit dari
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, dia mengatakan; Dahulu kami pernah
dilarang untuk bertanya tentang apa saja kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam oleh sebab itu kami merasa senang apabila ada orang
Arab Badui yang cukup berakal datang kemudian bertanya kepada beliau
lantas kami pun mendengarkan jawabannya.
Maka suatu ketika, datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung
pedalaman. Dia mengatakan, “Wahai Muhammad, telah datang kepada kami
utusanmu. Dia mengatakan bahwasanya anda telah mengaku bahwa Allah telah
mengutus anda?”. Maka Nabi menjawab, “Dia benar”. Lalu arab badui itu bertanya, “Lalu siapakah yang menciptakan langit?”. Beliau menjawab, “Allah”. Lalu dia bertanya, “Siapakah yang menciptakan bumi?”. Nabi menjawab, “Allah”.
Dia bertanya lagi, “Siapakah yang memancangkan gunung-gunung ini dan
menciptakan di atasnya segala bentuk ciptaan?”. Nabi menjawab, “Allah”.
Lalu arab badui itu mengatakan, “Demi Dzat yang telah menciptakan
langit dan yang menciptakan bumi serta memancangkan gunung-gunung ini,
benarkah Allah telah mengutusmu?”. Maka beliau menjawab, “Iya”.
Lalu dia kembali bertanya, “Utusanmu pun mengatakan kepada kami bahwa kami wajib untuk melakukan shalat lima waktu selama sehari semalam yang kami lalui.” Nabi mengatakan, “Dia benar”.
Lalu dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah
telah memerintahkanmu dengan perintah ini?”. Nabi menjawab, “Iya”. Lalu dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami berkewajiban untuk membayarkan zakat dari harta-harta kami?”. Nabi mengatakan, “Dia benar”. Dia berkata, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang telah menyuruhmu untuk ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Dan utusanmu juga mengatakan bahwa kami wajib berpuasa di bulan Ramadhan di setiap tahunnya.” Nabi mengatakan, “Dia benar” Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah telah menyuruhmu dengan perintah ini?”. Beliau menjawab, “Iya”. Dia mengatakan, “Utusanmu pun mengatakan bahwa kami wajib untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu melakukaan perjalanan ke sana.” Nabi menjawab, “Dia benar”. Dia mengatakan, “Demi Dzat yang telah mengutusmu, benarkah Allah yang memerintahkanmu dengan ini?”. Nabi menjawab, “Iya”.
Anas mengatakan; Kemudian dia pun berbalik seraya mengatakan,
“Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan
menambahkan selain itu dan aku juga tidak akan menguranginya.” Maka Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Kalau dia benar-benar jujur/konsisten niscaya dia akan masuk surga”.
(Diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam Kitab al-’Ilm, bab maa jaa’a fi qaulihi ta’ala, ‘Wa qul Rabbi zidni ‘ilman’, hadits no 63, lihat Shahih Muslim cet ke-4 Darul Kutub Ilmiyah 1427 H, hal. 29)
Mereka yang anti madzhab mengklaim bahwa madzhab-madzhab fikih
hanyalah kumpulan pendapat yang berasal dari pemahaman seorang ulama
terhadap beberapa persoalan. Pendapat-pendapat itu pun tidak diwajibkan
oleh Allah dan Rasul-Nya untuk diikuti setiap umat Islam.
Menurut kami, kalau benar bahwa hukum Islam terbatas pada hal-hal
yang dapat dihitung (jumlahnya sedikit), pada apa yang diucapkan oleh
Rasul kepada seorang Arab pedalaman, lalu orang Arab itu bisa pergi
begitu saja tanpa perlu menoleh (ber-tanya) lagi, tentunya kitab-kitab
hadits macam Shahih dan Musnad tidak akan membeberkan ribuan hadits yang
membahas berbagai hukum terkait kehidupan seorang muslim. Dan tentunya
juga, Nabi Saw tidak akan duduk berjam-jam hingga kelelahan untuk
mengajari utusan dari Tsaqif tentang hukum-hukum Islam dan
kewajiban-kewajiban dari Allah yang dibebankan pada mereka setiap hari.
Rukun-rukun Islam yang didiktekan Rasulullah kepada umatnya adalah
satu hal, dan ajarannya mengenai cara melaksanakan rukun-rukun itu
adalah hal lain. Yang satu tidak membutuhkan lebih dari beberapa menit,
satunya lagi perlu dipelajari dan dipraktekkan secara sungguh-sungguh.
Oleh karena itu, Rasulullah mengutus Khalid ibn al-Walid ke Najran,
‘Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’adz ibn Jabal ke Yaman,
dan ‘Utsman ibn Abi al-’Ash ke Tsaqif. Mereka diutus Rasul untuk
mengajari orang-orang yang masih awam. Para sahabat itu menjelaskan
hukum syari’at kepada mereka secara mendetail, sebagai tambahan dari
pengajaran yang telah dilakukan oleh Rasul Saw.
Rasulullah Saw mengutus para sahabat yang terkenal bagus hapalannya,
pemahamannya, dan istinbath-nya, ke tiap kabilah di berbagai daerah.
Rasul menugasi mereka untuk mengajarkan hukum Islam dan perkara
halal-haram kepada orang-orang. Umat Islam sepakat bahwa para sahabat
berijtihad, kemudian mem¬perlihatkan dalil al-Qur‘an dan Sunnah-nya
secara eksplisit, dan bahwa hal itu telah ditegaskan oleh Nabi Saw.
Sebagaimana sebuah hadits masyhur yang disampaikan melalui Abu Dawud dan
at-Tirmidzi meriwayatkan dari Syu’bah dari Mu’adz bin Jabal:
Ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, Nabi bertanya kepadanya, “Apa
yang akan kamu lakukan jika kamu menghadapi suatu persoalan?” Mu’adz
menjawab, “Saya akan putuskan dengan Kitabullah.” Nabi bertanya, “Jika
tidak ada (pemecahannya) dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Dengan
sunnah Rasulullah.”
Nabi bertanya, “Jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?” “Saya
akan berijtihad dan saya tidak akan sembrono”, jawab Mu’adz. Mu’adz
mengatakan, “Maka Rasulullah pun menepuk dadaku lalu berkata: Segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah
tentang hal yang disukai olehnya.”
Semua ini adalah hasil ijtihad dan pemahaman dari ulama- sahabat,
yang menghukumi dengannya, menerapkannya kepada orang-orang, dengan
persetujuan dan mandat dari Nabi Saw. Bagaimana bisa dikatakan: bahwa
itu adalah ijtihad dan pemahaman yang tidak pernah diwajibkan Allah dan
Rasulullah untuk diikuti oleh seorang pun?!
Di masa awal Islam, terutama karena Islam secara wilayah dan jumlah
penganutnya belum sebesar sekarang, permasalahan yang harus dicarikan
solusi hukumnya masih sedikit. Akan tetapi, seiring meluasnya wilayah
daulah Islam dan persentuhannya dengan adat tradisi dan
persoalan-persoalan baru, problem- problem yang harus dipecahkan semakin
banyak. Semuanya berkaitan dengan hukum, baik yang bersumber dari nash
al- Qur‘an, hadits, ijma’ ataupun qiyas. Tiap sesuatunya adalah
sumber-sumber yang berasal dari spirit hukum Islam. Hukum Allah tiada
lain adalah ketetapan yang diijtihadkan oleh seseorang yang telah
memenuhi syarat-syarat tertentu untuk memahaminya, mengikuti hierarki
hukumnya, dan metode istinbath-nya.
Jadi, hukum Islam tidaklah mudah dipahami dan jumlahnya tidak
sedikit, sebagaimana digambarkan oleh pendukung anti madzhab yang
berargumen dengan hadits-hadits yang ia pelintirkan. Justru hukum Islam
sangat luas dan komprehensif, mencakup segala hal yang berkaitan dengan
kehidupan, yang khusus ataupun umum, di berbagai situasi dan kondisi.
Semua hukum-hukum itu merujuk kepada al-Qur‘an dan Sunnah, kadang dengan
berpegangan pada makna lahiriahnya secara langsung, kadang dengan
metode analisis, ijtihad, istinbath dan cara pemahaman lain.
Argumen Kedua: Al-Qur‘an Ma’shum Sementara Imam Madzhab Tidak Ma’shum
“Bahwa inti dari berpegangan pada Islam adalah berpegangan pada
al-Qur’an dan Sunnah, keduanya terjaga dari kesalahan (ma’shum). Jadi,
mengikuti para imam madzhab berarti tidak mengikuti yang ma’shum,
beralih kepada yang tidak ma’shum.”
Yang dimaksud dengan firman Allah yang terjaga dari kesalahan adalah
apa yang dikehendaki maknanya oleh Allah. Dan yang dimaksud dengan
sunnah Nabi yang ma’shum adalah apa yang dikehendaki maknanya oleh
Rasulullah. Sedangkan pemahaman manusia dari keduanya jelas tidak
ma’shum, baik itu dari para mujtahid, ulama maupun orang-orang bodoh
(kecuali, nash al-Qur‘an atau Sunnah yang pasti maknanya dan
transmisinya [qath’iy ad-dalalah wa ats-tsubut], dan yang memahaminya
adalah orang Arab yang luas pengetahuannya. Dalam hal ini, ke- ma
’shum-an pemahamannya berasal dari qath’iyud-dalalah-nya).
Jika cara untuk mendapatkan hukum dari al-Qur‘an dan Sunnah adalah
dengan memahami, sedangkan pemahaman adalah sebuah usaha yang tak
mungkin lepas dari kesalahan-selain dari yang dikecualikan tadi, lalu
apa bedanya upaya memahami dari seorang awam dengan mujtahid ? Dan apa
artinya mengajak orang awam untuk melepaskan taklid dengan alasan bahwa
al-Qur‘an itu ma’shum, sedangkan imam madzhab yang diikuti tidak ma’shum
? Akankah ada perbedaan golongan manusia antara yang awam, alim,
muqallid dan mujtahid, jika yang awam atau bodoh sekalipun diberi
keleluasaan untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang terjaga dari
kesalahan atau apa yang dikehendaki oleh Allah dari nash-nash al-Qur‘an?
Agaknya, para pendukung anti madzhab mengira bahwa madzhab-madzhab
itu bersandarkan pada ijtihad para imam yang bersumber dari selain
al-Qur‘an dan Sunnah. Madzhab-madzhab itu adalah madzhab
tersendiri—bukan madzhab Rasulullah Saw—, dan karenanya menjadi pesaing
bagi madzhab Rasulullah. Mereka ingin mengalihkan perhatian orang-orang
yang—menurutnya—tertipu dengan madzhab-madzhab itu agar kembali pada
madzhab yang paling benar. Ia berdalih dengan statemen bahwa madzhab-
madzhab tidak ma’shum sedangkan madzhab Nabi Saw terjaga dari kesalahan
(ma’shum).
Argumen Ketiga: Di Dalam Kubur, Seseorang Tidak Akan Ditanyai tentang Madzhabnya
“Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa seseorang akan ditanya tentang madzhab atau thariqahnya di dalam kubur.”
Argumen ini menjelaskan—sebagaimana Anda lihat, mereka yang anti
madzhab meyakini bahwa standar yang digunakan untuk mengetahui
kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepada manusia adalah
pertanyaan-pertanyaan dua malaikat di dalam kubur. Semua pertanyaan yang
dikemukakan oleh dua malaikat itu adalah kewajiban yang dibebankan,
sedangkan yang tidak dipertanyakan bukanlah kewajiban; tidak diakui
syari’at!
Saya tidak tahu, apakah ada sumber rujukan akidah Islam yang
menyatakan bahwa dua malaikat kubur akan menanyai mayit tentang
hutang-hutangnya, tentang akad jual-belinya yang belum sah, tentang
mu’amalahnya yang belum legal secara syari’at, tentang dirinya yang
tidak memedulikan pendidikan keluarga dan anaknya, atau tentang
waktu-waktu yang ia habiskan untuk kesenangan yang sia-sia?!
Jika ada dalil yang menunjukkan bahwa dua malaikat akan menanyakan
semua itu—dan hal-hal semacamnya—kepada mayit, baiklah dipikirkan,
apakah dua malaikat kubur akan bertanya: mengapa mayit bertaklid kepada
asy-Syafi’i dan tidak berijtihad; mengapa ia tetap saja mengikuti satu
imam-mujtahid dan tidak beralih kepada yang lain? Seandainya dua
malaikat kubur bertanya tentang hal ini, saya bersaksi bahwa mereka
benar dan bahwa saya, bersama seluruh ulama, adalah salah. Karena kami
berpendapat bahwa pertanyaan dua malaikat kubur hanya berkisar pada
persoalan ke-Islam-an yang mendasar dan global, yang terwujud dalam
beberapa pertanyaan tertentu sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab
hadits shahih. Tentunya, tugas malaikat kubur terhadap mayit adalah
tugas penting, yakni untuk meng-hisab amalnya secara detail dan
menyeluruh!
Argumen Keenam: Kemunculan Madzhab Empat Disebabkan Intrik Politik
Penggagas anti madzhab menganggap bahwa munculnya madzhab empat
disebabkan oleh intrik politik orang-orang ‘Ajam (non- Arab) yang
memiliki ambisi kekuasaan. Dengan menisbatkan klaimnya pada kitab
Muqaddimah karya Ibn Khaldun berikut ini :
“Jika Anda ingin meneliti sebab-sebab kemunculan madzhab- madzhab
dan tarekat-tarekat, Anda harus menelaah Muqaddimah Tarikh Ibn Khaldun.
Ibn Khaldun telah menjelaskan hal ini dengan bagus, semoga Allah
membalasnya dengan kebaikan. Ibn Khaldun memberikan informasi bahwa
kemunculan madzhab-madzhab dan penyebarannya disebabkan oleh intrik
politik dan pemberontakan orang-orang Ajam yang memiliki ambisi terhadap
kekuasaan”
Kami telah merujuk langsung pada Muqaddimah Ibn Khaldun, menelitinya,
dan menyimak setiap penjelasan di dalamnya mengenai latar belakang
pertumbuhan madzhab-madzhab. Tapi di dalam kitab Ibn Khaldun itu, satu
pun tidak kami temukan anggapan-anggapan yang dijadikan argumen mereka.
Kami tidak memahami keterangan Ibn Khaldun tentang persoalan itu,
kecuali sebagaimana kebenaran nyata yang telah disepakati oleh mayoritas
umat Islam, yang sama sekali tidak digubris oleh mereka yang anti
madzhab.
Pada halaman 216 (cet. Bulaq), saat menerangkan proses pertumbuhan ilmu fikih dan madzhab-madzhabnya, Ibn Khaldun menulis:
“Para sahabat tidak semuanya ahli fatwa. Ajaran agama pun tidak
diambil dari mereka semuanya. Otoritas itu hanya berlaku bagi para
penghafal al-Qur’an, yang mengerti nasikh-mansukh-nya,
mutasyabih-muhkam-nya, dan kandungan maknanya yang di- talaqqi-kan dari
Rasulullah Saw atau mereka dengar dari periwayat sebelum mereka. Karena
itu, mereka dinamakan qurra (ahli bacaan al-Qur’an) … Demikianlah yang
terjadi pada masa awal Islam sampai wilayah Islam melebar hingga banyak
orang Arab ummi yang kemudian menelaah kitab, memiliki kemampuan ber-
istinbath dan menyempurnakan fikih, menjadikannya disiplin ilmu
tersendiri. Sebutan mereka diganti dengan nama fuqaha dan ‘ulama. Dalam
berfikih, mereka terbagi menjadi dua aliran: ahl ar-ra’yi wa al-qiyas
(rasionalis dan analogis) dari Irak, dan ahl al-hadits dari Hijaz.
Hadits sangat sedikit ditemukan di Irak, seba¬gaimana sudah kami
jelaskan, sehingga mereka banyak meng¬gunakan qiyas lalu menguasainya,
karena itulah mereka dinamakan ahlur-ra’yi. Golongan ahlur-ra’yi yang
pertama kali memantapkan madzhabnya, beserta pengikutnya, adalah Abu
Hanifah an- Nu’man. Sedangkan Imam ahli Hijaz adalah Malik ibn Anas, dan
dilanjutkan oleh asy-Syafi’i. Lalu muncullah segolongan sarjana yang
menolak qiyas dan membatalkan pengunaan qiyas (sebagai metodologi),
yaitu golongan Zhahiriyah. Golongan Zhahiriyah berpendapat bahwa semua
sumber (hukum) sudah tercukupi oleh nash-nash dan ijma. Mereka menolak
qiyas jaliy (jelas dan kuat sisi persamaan yang dianalogikan-pener/.)
dan ‘illah (alasan/rasio hukum) yang termaktub dalam nash. Sebab,
penjelasan eksplisit tentang ‘illah merupakan keterangan tentang hikmah
di seluruh bidangnya. Imam madzhab ini adalah Dawud ibn ‘Ali, putranya,
dan ashhab-nya. Inilah madzhab-madzhab yang kala itu menjadi
madzhab-madzhab mayoritas yang terkenal di antara umat.”
Ibn Khaldun kemudian menjelaskan bagaimana sebagian (golongan) Syi’ah
mendirikan madzhab dan fikih tersendiri. Demikian pula Ibn Khaldun
berbicara tentang Khawarij dan Zhahiriyah. Ibn Khaldun kemudian
memaparkan biografi imam empat, menjelaskan keutamaan pribadi dan
keilmuan mereka, dan jangkauan wilayah penyebaran madzhab mereka. Ia
juga mengurai persoalan tentang mengambil fikih dan ushul fiqh dari
sebagian mereka, serta bagaimana ashhab Abu Hanifah mengintegrasikan
metode Ahli Hijaz dengan Ahli Irak, sehingga kedua aliran itu bertemu.
Selanjutnya dia mengatakan:
“Setelah itu, orang-orang pun menutup pintu perdebatan karena acap
muncul beragam istilah-istilah keilmuan, sulitnya mencapai tingkatan
ijtihad, dan kekhawatiran akan adanya penisbatan tingkatan ijtihad
kepada yang bukan ahlinya dan kepada yang tidak bisa dipercaya pendapat
dan agamanya.”
Demikian ringkasan keterangan Ibn Khaldun tentang madzhab-madzhab dan
pertumbuhannya, di mana semua itu tidak digubris dan tidak dijadikan
informasi yang seharusnya dicermati.
Argumen Ketujuh: Cara Bertaklid Orang-Orang Terdahulu
Mari kita simak salah satu statemen atau argumen para pendukung anti madzhab :
“Ditanyakan kepada (kaum) muqallid: sebelum muncul orang- orang yang
kalian taklidi dan kalian sejajarkan pendapat-pendapat mereka dengan
nash, dengan apa orang-orang dulu berpegang ?”
“Apakah orang-orang yang hidup sebelum adanya para imam madzhab itu
berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan ? Kaum muqallid harus
mengakui bahwa mereka berada dalam petunjuk. Kemudian, muqallid itu
ditanya: apakah (nama madzhab orang- orang itu) jika bukan (dinamakan)
mengikuti al-Qur’an, Sunnah, dan atsar, serta mendahulukan firman Allah
Swt, sabda Rasul- Nya, dan atsar para sahabat daripada pendapat yang
menentangnya, lalu menjadikannya sebagai hakim; bukan dengan mengikuti
pendapat seseorang atau pendapat pribadinya? Jika ini adalah petunjuk,
“tidak ada setelah kebenaran itu selain kesesatan, mengapa kalian
berpaling (dari kebenaran) ?”
Untuk memahami argumen aneh ini, kami akan menggantikan (peran) si
muqallid yang ditanyai oleh mereka itu, lalu akan menjawab: sebelum
munculnya orang-orang tertentu (yang menjadi mujtahid), orang-orang dulu
melakukan hal-hal sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibn Khaldun
dalam bab yang dijadikan sandaran oleh Anda. Bukankah Ibn Khaldun
mengatakan dalam bab tersebut bahwa tidak semua sahabat adalah ahli
fatwa, dan tidak semua ajaran agama diambil dari mereka, bahwa berfatwa
hanya dikhususkan untuk para penghafal al- Qur‘an yang mengerti
nasikh-mansukh-nya, mutasyabih- muhkam-nya, dan semua kandungan maknanya
?
Jika para sahabat yang ahli fatwa (ijtihad) jumlahnya terbatas,
memiliki kriteria khusus sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun, lalu sahabat
lain yang tidak mencapai tingkatan itu, dari manakah mereka mengambil
ajaran agama? Tentunya, mereka memperoleh ajaran agama dari sahabat yang
berjumlah terbatas itu, yang memiliki kemampuan berijtihad dan
ber-istinbath. Bukankah ini adalah taklid ? Lalu apa bedanya dengan
taklid di masa sekarang ? Pada masa sahabat, orang-orang awam bertaklid
kepada orang-orang yang dikenal sebagai ahli ijtihad, di masa tabi’in
pun demikian, begitu pula pada masa setelahnya. Asy- Syafi’i, Abu
Hanifah, Ahmad dan Malik, tidak lain adalah bagian dari golongan
mujtahid yang boleh ditaklidi oleh orang awam, sebagaimana para
mujatahid sebelum mereka yang juga ditaklidi para awam, seperti halnya
Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tsabit dan al-Khulafa ar-Rasyidun, yang
juga ditaklidi orang awam dari kalangan sahabat.
Bukankah para pakar sejarah dan tarikh tasyri sepakat bahwa pada masa
tabi’in ada dua madzhab besar, yakni madzhab ahlul-hadits di Hijaz dan
madzhab ahlur-ra‘yi di Irak ? Bukankah para pakar sejarah sepakat bahwa
kebanyakan penduduk Hijaz bertaklid kepada madzhab yang dominan di
wilayah mereka, sebagaimana penduduk Irak yang juga bertaklid kepada
madzhab yang dominan di tengah mereka ? Yang satu memiliki imam- imamnya
sendiri, madzhab yang lain juga memiliki imam-imam tersendiri! Lantas,
apa yang terjadi setelah zaman tabi’in, yakni masa ketika muncul madzhab
empat?
Bukan sesuatu yang baru diketahui, bahwa imam madzhab empat itu
merintis suatu metode istinbath yang diambil dari dalil- dalil al-Qur‘an
dan Sunnah. Mereka meraciknya dengan akal dan analogi yang benar, yang
mereka bedakan dengan pemikiran dan analogi yang salah. Kedua madzhab
itu (ra’yu dan hadits) pun saling merapat, dan secara bertahap semakin
menjauh dari dua titik ekstrim, yang terlalu kaku dan terlalu bebas.
Itulah alasan kenapa madzhab-madzhab pantas diletakkan pada posisi
yang luhur, dan ajaran-ajarannya tetap layak untuk diambil dan diikuti
oleh berbagai kelompok dan generasi. Fenomena ini merupakan hal yang
sudah diketahui dan dipelajari oleh umum, yang, menurut saya, tidak
perlu menghabiskan waktu untuk memaparkan dalil-dalil dan nash-nash-nya.
Dengan demikian, fenomena taklid dan ijtihad pada dasarnya sudah
terjadi dalam pelbagai masa.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)