1. IMAM ABU HANIFAH
Kemunculan Abu Hanifah
Dia
adalah Nu'man bin Tsabit. Dia lahir pada tahun 80 Hijrah, pada masa
kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan. Dia meninggal
dunia pada tahun 150 Hijrah. Abu
Hanifah tumbuh di kota Kufah pada masa kekuasaan Hajjaj. Pada
masa itu Kufah merupakan salah satu kota
besar Irak, yang berkembang di dalamnya berbagai majlis ilmu. Suasana
saling berlawanan dan berbagai pendapat yang saling ber-tentangan di
dalam masalah politik, ilmu dan keyakinan, yang terjadi
pada masa itu, mengundang kebingungan. Pada suasana yang seperti ini Abu
Hanifah cemerlang di dalam bidang ilmu kalam, diskusi dan perdebatan.
Kemudian dia pindah ke majlis fikih,
hingga mengkhusus-kan diri kepadanya.
Dia berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, yang meninggal pada tahun
120 Hijrah. Setelah Hammad bin Abi Sulaiman meninggal dunia, reputasi
dan nama Abu
Hanifah menjadi terkenal. Dia juga berguru kepada guru-guru yang hidup
pada zaman-nya.
Dia menghadiri pelajaran 'Atha bin Rabah di Mekkah, pelajaran Nafi
—bekas budak Ibnu Umar— di Madinah, dan guru-guru yang lainnya. Namun
dia banyak berteman dengan Hammad bin
Sulaiman. Abu Hanifah telah
meriwayatkan dari Ahlul Bait, seperti Imam Muhammad al-Baqir dan anaknya
Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Fikih Abu Hanifah
Abu
Hanifah tidak diketahui mempunyai fikih yang khusus kecuali melalui murid-muridnya. Dia sendiri tidak pernah
menulis sesuatu tentang fikih, dan tidak pernah membukukan
sedikit pun pendapat-pendapatnya. Abu
Hanifah mempunyai murid yang banyak, namun mereka yang mengemban dan
menyebarkan mazhabnya ada empat orang.
Mereka itu adalah Abu Yusuf, Zufar, Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani dan Hasan bin Ziyad al-Lu'lu'i .
Abu
Yusuf—yaitu Ya'qub bin Ibrahim—
telah memainkan peranan yang besar di
dalam menyebar-luaskan mazhab Hanafi. Dia telah memperoleh penerimaan di
kalangan para khalifah Bani Abbas, dan menduduki posisi hakim agung pada masa
kekuasaan al-Mahdi, al-Hadi dan Harun
ar-Rasyid. Pada masa Harun ar-Rasyid dia memperoleh posisi yang amat kuat. Maka Abu Yusuf menggunakan
kedudukannya ini untuk memberlakukan
dan menyebar-luaskan mazhab Hanafi ke seluruh
penjuru negeri, melalui tangan-tangan hakim yang ditunjuknya dari kalangan para sahabatnya. Sehingga dengan begitu
dapat kita katakan bahwa tersebarnya
mazhab Hanafi dikarenakan bantuan pengaruh
kekuasaan. Ibnu Abdul Barr mengatakan tentang itu, "Abu Yusuf adalah hakim pada masa pemerintahan tiga
khalifah. Dia menduduki posisi hakim agung
pada sebagian masa pemerintahan al-Mahdi, kemudian pada masa pemerintahan al-Hadi dan juga pada masa
pemerintahan ar-Rasyid. Harun
ar-Rasyid amat menghormati dan memuliakannya.
Dia mempunyai kedudukan yang kuat di sisi Harun ar-Rasyid. Oleh karena itu, dia
mempunyai tangan yang panjang di dalam menyebarkan nama Abu Hanifah dan meninggikan kedudukannya.[168]
Murid
Abu Hanifah yang bernama Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani, turut serta mempunyai andil di dalam menyebarkan
mazhab Abu Hanifah melalui
kitab-kitab tulisannya, yang kelak menjadi rujukkan pertama bagi fikih Abu Hanifah. Di samping itu, dia juga
berguru kepada ats-Tsauri,
al-Awza'i dan Malik; serta dia memasukkan hadis ke dalam fikih ahli ra'yu.
Adapun
Zufar bin Huzail adalah termasuk sahabat Abu Hanifah yang paling dulu.
Dia turut menyebarkan mazhab Abu Hanifah dengan lidahnya. Dia menjadi
hakim pada zaman Abu
Hanifah di kota Basrah. Dia seorang
yang sangat berpegang kepada qiyas, hingga Ahmad bin Mu'addil al-Maliki
mengejeknya dengan sebuah
syair,
"Jika kamu berbohong dengan apa yang kamu katakan
kepadaku
maka atasmu dosa Abu Hanifah atau Zufar
yang
menggunakan qiyas secara sengaja
dan
berpaling dari berpegang kepada khabar."
Satu
hal yang aneh, bahwa para ulama yang mengukuhkan mazhab Hanafi dan membukukannya bukanlah orang-orang yang bertaklid
kepada Abu Hanifah di dalam
pandangan-pandangannya. Melainkan mereka
adalah ulama-ulama yang bebas, yang dalam beberapa hal sepakat dengan gurunya, Abu Hanifah, namun dalam beberapa
hal lain menentangnya. Oleh karena itu, kita mendapati
kitab-kitab mazhab Hanafi memuat empat
pendapat di dalam satu masalah. Yaitu pendapat Abu Hanifah, pendapat Abu Yusuf, pendapat Muhammad asy-Syaibani dan
pendapat Zufar.
Allamah Khudhari berkata, "Sebagian kalangan Hanafi
telah berusaha menjadikan
pendapat-pendapat mereka yang berbeda menjadi pendapat Abu Hanifah.
Namun ini
merupakan kelalaian yang sangat akan sejarah para imain mereka ini, dan
bahkan
kelalaian akan apa-apa yang tertulis
di dalam kitab-kitab mereka. Karena Abu Yusuf menyebutkan pendapat Abu
Hanifah di dalam kitabnya al-Kharaj, dan kemudian secara tegas
menyebutkan pendapatnya dan
mengatakan bahwa dia berbeda pendapat
dengannya. Terkadang dia mengakui pendapat Abi Laila, setelah
menyebutkan dua
pendapat. Demikian juga Muhammad
asy-Syaibani, dia menceritakan di dalam kitabnya pendapat Imam Abu
Hanifah, pendapat Abu Yusuf, dan
pendapatnya yang dengan jelas
bertentangan dengannya.
Satu hal yang pasti bahwa Abu Yusuf dan Muhammad asy-Syaibani
menarik kembali pendapat Abu Hanifah
manakala mereka tahu pendapat
penduduk Hijaz tentang hadis. Para peneliti sejarah menemukan bahwa para imam mazhab Hanafi, yang telah kita
sebutkan setelah Abu Hanifah, mereka tidak
bertaklid kepada Abu Hanifah."[169]
Singkatnya, sesungguhnya mazhab Hanafi tersebar dikarenakan usaha
para sahabatnya. Di samping itu, para penguasa
yang dekat dengan Abu Yusuf menolong
mereka di dalam menyebarkan mazhab tersebut. Dengan demikian,
maka mazhab Hanafi didirikan oleh sekumpulan
para fukaha yang masing-masing mereka indefenden dengan dirinya, dan
bukan berasal dari satu imam, yaitu Abu Hanifah. Sehingga usaha para
pengikut Hanafi untuk
mengembalikan semua pendapat kepada Abu Hanifah adalah sesuatu yang
tidak
dibolehkan.
Tikaman Pada Abu Hanifah.
Sebagian
ulama yang adil yang hidup semasa dengannya, telah menuduh Abu Hanifah dengan tuduhan zindiq dan telah keluar
dari jalan yang lurus, serta menyebutnya sebagai orang yang telah rusak
akidahnya, telah keluar dari ajaran agama dan menentang Kitab dan sunah. Mereka menikam keberagamaan Abu Hanifah dan
melucutinya dari iman."[170]
Telah sepakat Sufyan ats-Tsauri bersama Syarik, Hasan bin
Shalih dan Ibnu Abi Laila, maka
mereka pun pergi kepada Abu Hanifah. Mereka
berkata, "Apa pendapat Anda tentang seseorang yang telah membunuh ayahnya, lalu menikahi ibunya dan meminum
khamar di atas kepala mayat
ayahnya?"
Abu Hanifah menjawab, "Dia orang Mukmin." Maka
berkata Ibnu Abi Laila, "Saya
tidak akan menerima kesaksian Anda selamanya."[171]
Ibrahim bin Basyar bercerita bahwa Sufyan bin 'Uyainah telah
berkata, "Aku belum pernah
melihat seseorang yang lebih berani terhadap
Allah dibandingkan Abu Hanifah."[172]
Diceritakan,
bahwa Abi Yusuf pernah ditanya, "Apakah Abu Hanifah seorang Murji'ah?"
Abu Yusuf menjawab,
"Benar." Dia ditanya lagi, "Apakah dia seorang Jahmiyyah?" Dia menjawab, "Benar."
Abu Yusuf ditanya lagi, "Bagaimana
kedudukan Anda di sisinya?" Dia menjawab, "Abu Hanifah hanya semata-mata seorang pengajar. Apa saja
perkataannya yang bagus, maka kami terima, dan apa saja perkataannya yang buruk,
maka kami tinggalkan."'[173]
Inilah
pandangan orang yang paling dekat dengannya, yang sekaligus sebagai murid dan penyebar mazhabnya. Apalagi
pandangan orang lain.
Dari
Walid bin Muslim yang berkata, "Malik bin Anas bertanya kepadaku,
'Apakah nama Abu Hanifah disebut-sebut di negerimu?' Aku menjawab, 'Ya.'
Malik bin Anas berkata,
'Negerimu tidak layak untuk
didiami.'"[174]
Al-Awza'i
berkata, "Kita tidak membenci Abu Hanifah karena dia menggunakan qiyas,
karena kita semua pun menggunakan qiyas. Kita membenci Abu Hanifah dikarenakan manakala hadis datang
kepadanya dia
menentangnya."[175]
Ibnu
Abdul Barr berkata, "Salah seorang yang menikam dan mencelanya ialah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Dia berkata di dalam kitabnya adh-Dhu'afa wa
al-Matrukun, 'Berkenaan dengan Abu
Hanifah an-Nu'man bin Tsabit
al-Kufi, Na'im bin Hammad berkata, 'Yahya bin
Sa'id dan Muadz bin Muadz berkata kepada saya, 'Kami mendengar Sufyan
ats-Tsauri berkata,
'Abu Hanifah telah diminta bertobat dari kekufuran sebanyak
dua kali.' Na'im al-Fazari
berkata, 'Saya pernah bersama Sufyan bin 'Uyainah,
lalu dia mengkritik Abu Hanifah. Dia berkata, 'Abu Hanifah telah merobohkan Islam sedikit demi sedikit. Dan
tidak ada anak yang dilahirkan di
dalam Islam yang lebih jahat darinya.' Inilah yang disebutkan oleh Bukhari."[176]
Ibnu Jarud berkata di dalam kitabnya adh-Dhu’afa
wa al-Matrukun, "Sebagian besar
perkataan Nu'man bin Tsabit adalah waham."
Dari Waqi'a al-Jarrah yang berkata, "Saya menemukan Abu
Hanifah menyalahi dua ratus hadis Rasulullah saw."
Ada orang berkata
kepada Ibnu al-Mubarak, "Orang-orang mengatakan bahwa Anda berpegang kepada perkataan Abu
Hanifah." Ibnu al-Mubarak
menjawab, "Tidak semua yang dikatakan oleh orang tentang dia itu benar. Dahulu, selama beberapa waktu kami
suka mendatanginya, ketika kami belum
mengenalnya."[177]
Tampak jelas bahwa
pandangan mereka ini adalah pandangan objektif,
dan bukan merupakan makian dan celaan yang keluar dari batas-batas yang wajar, melainkan merupakan
kritikan-kritikan ilmiah terhadap
Abu Hanifah. Dalam kesempatan ini kita telah memejamkan mata dari
omongan-omongan musuhnya dan omongan-omongan para pengikutnya yang bersikap berlebihan. Kita mencukupkan diri
dengan pandangan para ulama
mengenainya, dan ini sudah cukup mencemar-kan pribadinya. Lalu, bagaimana mungkin dengan mudah dia
bisa menjadi imam, padahal di
tengah-tengah umat ada orang yang lebih layak
darinya, baik dari segi fikih, ilmu dan keadilan?! Namun memang itulah yang dikehendaki politik .
Abu Hanifah Dan Imam Ja'far ash-Shadiq as
Abu
Hanifah adalah seorang yang banyak berdebat dan kuat dalam berdiskusi. Khalifah Manshur bermaksud memanfaatkannya
untuk menghantam Imam Ja'far ash-Shadiq as, yang harum
namanya dan tinggi reputasinya. Khalifah
al-Mansur kesulitan mengawasi majlis-majlis
ilmu yang ada di kota Kufah, Mekkah, Madinah dan Qum, yang menyerupai
cabang dari madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Oleh karena itu, al-Manshur
terpaksa menarik Imam Ja'far ash-Shadiq as dari
kota Madinah ke Kufah, dan meminta kepada Abu Hanifah untuk menyiapkan pertanyaan-pertanyaan yang sulit, yang
akan ditanyakan kepada Imam Ja'far
ash-Shadiq as di majlis terbuka, dengan maksud untuk menjatuhkan Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah
berkata, "Saya belum pernah melihat orang yang lebih fakih dari Ja'far
bin Muhammad ash-Shadiq. Ketika
al-Manshur mendatangkannya, al-Manshur menemui saya dan
berkata, 'Wahai Abu Hanifah, orang-orang
telah terpikat dengan Ja'far bin Muhammad. Oleh karena itu, siapkanlah
pertanyaan-pertanyaan yang sulit baginya.' Maka saya pun menyiapkan
empat puluh pertanyaan
baginya.
Kemudian
Abu Ja'far al-Manshur memanggil saya, dan saya pun datang menemuinya. Saya
masuk ke majlisnya, sementara Ja'far bin Muhammad
sedang duduk di sebelah kanannya. Ketika saya memandang ke arahnya, saya menjadi tertegun dengan wibawa Ja'far
bin Muhammad, namun tidak
tertegun sedikit pun dengan wibawa Abu Ja'far
al-Manshur. Saya mengucapkan salam kepada Abu Ja'far al-Manshur, dan dia pun memberikan isyarat kepada saya, maka
saya pun duduk. Kemudian dia menoleh
ke arah Ja'far bin Muhammad seraya berkata,
'Wahai Aba Abdillah, ini adalah Abu Hanifah.'
Ja'far bin Muhammad
menjawab, 'Ya, dia telah datang kepada kami',
seolah-olah dia tidak suka apa yang dikatakan oleh kaumnya bahwa dia
mengetahui seseorang tatkala
melihatnya. Lalu al-Manshur menoleh
ke arah saya dan berkata, 'Wahai Abu Hanifah, lontarkan
pertanyaan-pertanyaanmu kepada Aba Abdillah.'
Maka saya pun melontarkan
pertanyaan-pertanyaan saya kepadanya, dan dia menjawabnya satu demi
satu. Dia berkata dalam jawabannya,
'Kamu berpendapat demikian, penduduk
Madinah berpendapat demikian, sementara kami berpendapat begini.
Terkadang pendapat kamu sama dengan kami, terkadang sama dengan pendapat
mereka, dan
terkadang pula tidak sama dengan keduanya.' Dia terus menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan,
hingga saya selesai melontarkan empat puluh
pertanyaan." Kemudian Abu Hanifah berkata, "Bukankah kita telah
mengatakan bahwa manusia yang paling pandai
adalah manusia yang tahu akan perbedaan-perbedaan pendapat
manusia."[178]
Imam Ja'far ash-Shadiq as melarang Abu Hanifah menggunakan qiyas, dan
sangat keras mengingkarinya. Imam ja'far ash-Shadiq as berkata kepada
Abu Hanifah, "Telah sampai
berita kepada saya bahwa kamu
melakukan qiyas terhadap agama dengan pikiranmu. Jangan kamu lakukan
itu, karena orang yang pertama kali
menggunakan qiyas adalah
Iblis."[179]
Abu
Na'im berkata kepada kami, "Sesungguhnya Abu Hanifah, Abdullah bin Ubay Syibrimah dan Ibnu Abi Laila
datang menemui Ja'far bin Muhammad
ash-Shadiq. Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Ibnu Abi Laila, "Siapa orang yang bersama kamu ini?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Dia orang yang mempunyai
pandangan dan pengaruh di dalam
agama."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as bertanya kembali, "Sepertinya dia mengqiyaskan urusan agama dengan menggunakan pikirannya?"
Ibnu Abi Laila menjawab, "Benar."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata kepada
Abu Hanifah, "Siapa namamu?"
Abu Hanifah menjawab, "Nu'man."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata lagi, "Saya tidak
melihat kamu sedang membaguskan sesuatu." Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq
as melontarkan beberapa pertanyaan kepada
Abu Hanifah, namun Abu Hanifah tidak bisa menjawabnya.
Maka
Imam Ja'far ash-Shadiq as pun menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
Kemudian
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Ya Nu'man, bapakku
telah berkata kepadaku, 'Dari kakekku yang mengatakan bahwa Rasulullah
saw telah bersabda, 'Orang yang pertama kali mengqiyaskan urusan agama
dengan menggunakan
ra'yu adalah Iblis.'
Allah SWT telah berkata kepadanya, 'Sujudlah
kainu kepada Adam' Iblis menjawab, 'Saya lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api sedangkan
Engkau ciptakan dia dari tanah.' Barangsiapa yang meng'iyaskan agama dengan pikirannya maka pada
hari kiamat Allah SWT akan mengumpulkannya
dengan Iblis. Karena dia termasuk pengikutnya.
Fakhrurrozi berkata, "Sungguh mengherankan, Abu Hanifah
dipercayai sebagai ahli qiyas,
dan para musuhnya mengecamnya dikarenakan banyak
menggunakan qiyas, padahal belum pernah diceritakan oleh para sahabatnya
bahwa Abu Hanifah telah menulis satu lembar kertas saja untuk
membuktikan qiyas, serta tidak
pernah disebutkan bahwa dia
menyebutkan sebuah kritikan di dalam pernyataannya, apalagi menyebutkan
sebuah hujjah. Dia juga tidak pernah menjawab dalil-dalil
lawannya yang mengingkari qiyas. Bahkan, orang yang pertama kali
berbicara dalam masalah ini, dan
mengemukakan ber-bagai argumentasi mengenainya adalah asy-Syafi’i."[180]
Oleh karena itu, kita menemukan Imam Ja'far ash-Shadiq as mengarahkan
umat kepada jalan yang benar di dalam meng-istinbath hukum-hukum
syariat, terutama setelah
merajalelanya penggunaan qiyas sebagai salah
satu sumber penetapan hukum. Maka keluar (lulus)lah beribu-ribu ulama
mujtahid dari madrasah beliau, yang salah seorangnya adalah Abu Hanifah,
yang telah
mencurahkan waktunya untuk belajar kepada Imam Ja'far Shadiq as selama
dua
tahun di Madinah. Berkenaan dengan
waktu dua tahun belajarnya itu Abu Hanifah berkata, "Kalaulah tidak ada
dua tahun itu maka celaka lah
Nu'man."
Orang-orang yang hadir di majlis Imam Ja'far ash-Shadiq as
tidak berkata kepada beliau
kecuali dengan mengawalinya dengan kata-kata, "Aku jadi tebusanmu, wahai Putra Rasulullah."[181]
Abdul
Halim al-Janadi memberikan komentar mengenai bergurunya Abu Hanifah kepada Imam Ja'far ash-Shadiq as,
"Jika
merupakan kemuliaan bagi Malik dia menjadi guru terbesar bagi Syafi’i, atau kemuliaan bagi Syafi’i dia menjadi guru
terbesar bagi Ibnu Hanbal, atau
kemuliaan bagi guru keduanya ini (Abu Hanifah
—penerj.) manakala keduanya belajar kepadanya, maka bergurunya dia (Abu Hanifah) kepada Imam Ja'far
ash-Shadiq telah memberikan kemuliaan kepada
fikih mazhab yang empat. Adapun kemuliaan
Imam Ja'far ash-Shadiq tidak dapat berkurang atau bertambah. Imam (Ja'far ash-Shadiq) adalah penyampai ilmu
kakeknya saw bagi seluruh manusia. Keimamahan adalah kedudukannya, dan bergurunya para Imam Ahlus Sunnah kepadanya adalah
merupakan kemuliaan bagi mereka,
disebabkan mereka mendekati manusia pemilik
kedudukan."[182]
Sungguh,
duduk bersama Imam Ja'far ash-Shadiq as adalah me-rupakan kemuliaan yang
membanggakan bagi Abu Hanifah. Karena
dia alim Ahlul Bait dan tambang
hikmah. Musuh-musuhnya mengakui keutamaannya.
Al-Manshur berkomentar tentang Imam Ja'far ash-Shadiq as, "Cucuk (tulang
kecil) yang mengganggu tenggorokanku ini adalah manusia terpandai di
zamannya, dan dia termasuk
orang yang menginginkan akhirat dan
tidak menginginkan dunia."
Yang menjadi persoalan bukan hanya sekedar pengakuan akan
keutamaannya, atau menganggap mulia
duduk bersama dengannya,
melainkan yang terpenting ialah tunduk
dan patuh kepada perintahnya.
Karena ketaatan kepadanya merupakan
kewajiban yang telah Allah
SWT wajibkan atas setiap Muslim,
sebagaimana tertetapkan di dalam
hadis Tsaqalain, "Kitab Allah dan
'ltrah Ahlul Baitku". Namun yang
sangat disayangkan ialah bahwa Abu
Hanifah tidak menjadi orang
yang tunduk dan taat kepadanya,
melainkan menyendiri dengan diri-
nya sendiri, memberi fatwa berdasarkan
pikirannya dan melakukan
qiyas di dalam agama; dan karena itu
dia menentang hadis-hadis Rasulullah saw dan tidak menerimanya kecuali hanya
tujuh belas hadis saja.
Saya akan akhiri pembicaraan ini dengan perdebatan yang
terjadi antara Imam Ja'far
ash-Shadiq as dengan Abu Hanifah,
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya kepada Abu Hanifah,
"Anda siapa?"
"Abu Hanifah", jawab Abu
Hanifah.
"Anda mufti Irak", Imam
Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
"Dengan apa Anda memberi fatwa kepada mereka?",
tanya Imam Ja'far ash-Shadiq.
Abu Hanifah menjawab, "Dengan Kitab Allah."
"Jadi,
Anda tahu tentang kitab Allah? nasikh mansukhnya! Dan juga muhkam mutasyabihnya”, tanya
Imam Ja'far ash-Shadiq as.
Abu Hanifah menjawab, "Ya."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Kalau begitu,
beritahukan aku tentang firman Allah SWT yang berbunyi, 'Dan
Kami tetapkan antara negeri-negeri itu (jarak-jarak)
perjalanan. Berjalanlah kamu di kota-kota itu pada
malam dan siang hari dengan aman.' Topik
apakah itu?"
Abu Hanifah menjawab, "Jarak antara Mekkah dan
Madinah."
Mendengar itu Imam Ja'far ash-Shadiq as menoleh ke kanan dan
ke kiri seraya berkata, "Demi
Allah, aku memohon dengan sangat kepada
Anda, apakah Anda semua bepergian di antara jarak Mekkah dan Madinah dalam
keadaan mengkhawatirkan diri Anda dari pembunuhan dan harta Anda dari pencurian?"
Dengan serempak mereka menjawab, "Ya."
Kemudian Imam Ja'far ash-Shadiq as kembali menoleh kepada Abu Hanifah, "Celaka engkau, wahai Abu Hanifah.
Sesungguhnya Allah SWT tidak berkata
kecuali kebenaran."
Maka Abu Hanifah pun terdiam untuk beberapa saat, lalu dia
menarik ucapannya sebelumnya dengan
mengatakan, "Saya tidak mempunyai
ilmu tentang Kitab Allah."
Dia mengemukakan alasan baru, "Sesungguhnya saya adalah
seorang ahli qiyas."
Imam Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Lihatlah kepada
qiyas Anda. Jika Anda memang benar-benar
orang yang suka qiyas, mana yang lebih
besar dosanya di sisi Allah, apakah membunuh atau berzina?"
Abu
Hanifah menjawab, "Tentu membunuh lebih besar dosanya di sisi Allah."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as bertanya lebih lanjut, "Kenapa di dalam pembunuhan Allah SWT rida dengan dua saksi, sedangkan
di dalam perzinahan Allah SWT tidak
rida kecuali dengan adanya empat saksi? Apakah
Anda menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah menjawab, "Tidak."
"Bagus", kata Imam Ja'far as-Shadiq as.
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi, "Mana yang
lebih utama, apakah salat atau
puasa?"
Abu Hanifah menjawab, "Salat, tentu lebih utama."
Imam Ja'far as berkata, "Berdasarkan perkataan Anda,
maka orang yang haid harus meng-qadha salat yang ditinggalkannya
selama haid, sedangkan puasa tidak. Padahal Allah SWT telah mewajibkan meng-qadha puasa dan tidak meng-qadha salat." Pertanyaan
ini juga tidak dijawab oleh Abu Hanifah.
Imam Ja'far ash-Shadiq ad berkata lebih lanjut, "Mana
yang lebih najis, apakah air kencing
atau air mani?"
Abu Hanifah menjawab, "Air kencing lebih najis."
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Di sini, qiyas Anda harus mengatakan bahwa seseorang wajib mandi karena air
kencing, dan tidak wajib mandi karena
air mani. Padahal Allah SWT telah mewajibkan seseorang untuk mandi karena air
mani, dan tidak karena air kencing.
Apakah kamu menggunakan qiyas di sini?"
Abu Hanifah terdiam, dan kemudian dia berkata, "Saya
adalah ahli ra'yu."
Imam Ja'far ash-Shadiq as bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana pendapat kamu tentang seorang laki-laki yang
mempunyai seorang budak. Lalu laki-laki
itu menikah dan sekaligus menikahkan
budaknya pada malam yang sama. Kemudian, keduanya menggauli masing-masing istrinya pada malam yang sama.
Selanjutnya, keduanya melakukan
perjalanan dan meninggalkan istri masing-masing
di satu rumah; lalu masing-masing istrinya melahirkan seorang anak. Kemudian rumah itu runtuh menimpa mereka dan
membunuh kedua wanita tersebut,
sementara kedua anak itu selamat. Sekarang, menurut pendapatmu, mana dari kedua anak itu yang
berkedudukan sebagai tuan dan mana yang
berkedudukan sebagai budak? Mana yang sebagai
pewaris dan mana yang diwarisi?"
Untuk ketiga
kalinya Abu Hanifah terdiam tidak dapat menjawab pertanyaan.
2. IMAM MALIK BIN ANAS
Dia adalah Abu
Abdullah, Malik bin Anas bin Malik, dilahirkan pada tahun 93 Hijrah, menurut sebagian pendapat, dan
meninggal dunia pada tahun 179
Hijrah, menurut sebagian pendapat. Masa Malik bersinar dengan cahaya ilmu, dan kota Madinah menjadi kota
yang didatangi oleh para
penuntut ilmu yang berasal dari berbagai pelosok penjuru negeri Islam. Madrasah Madinah mempunyai kelebihan
di dalam berpegang kepada hadis, dan
memerangi madrasah ra'yu yang terletak di kota Kufah, di bawah kepemimpinan Abu
Hanifah. Inilah salah satu yang menjadi penyebab
timbulnya perselisihan dan pertengkaran
di antara keduanya, hingga telah keluar dari batas-batas keilmuan dan objektifitas.
Di samping kedua madrasah ini terdapat juga madrasah lain,
yaitu madrasah Imam Ja'far ash-Shadiq as. Sebuah madrasah yang dipenuhi
oleh para para ulama dan utusan dari berbagai penjuru
dunia Islam, yang menanti-nanti
kesempatan untuk bisa berjumpa dengan para Imam Ahlul Bait as. Imam
Ja'far ash-Shadiq as adalah orang
yang paling sedikit mendapat
tekanan dari pihak penguasa. Malik telah turut bergabung dengan Madrasah
Imam ja'far ash-Shadiq as untuk beberapa waktu, dan Oleh karena itu,
Imam Ja'far
ash-Shadiq as dianggap guru terbesar Malik. Kemudian Malik berguru
kepada
beberapa orang guru, seperti Amir bin
Abdullah bin Zubair bin al-Awwam, Zaid bin Aslam, Sa'id al-Maqbari, Abu
Hazim Shafwan bin Aslam dan
yang lainnya. Namun Malik lebih mengutamakan untuk mengambil dari Wahab
bin Hurmuz, Nafi' (bekas budak Ibnu Umar), Ibnu
Syihab az-Zuhri, Rabi'ah ar-Ra'yu dan Abu Zanad. Malik mengalami
kemajuan, sehingga madrasah ahlul hadis berkembang pesat. Namun,
dengan segera politik ikut campur
untuk membantu madrasah ra'yu dan memusuhi
madrasah ahlul hadis. Oleh karena itu, Malik menghadapi berbagai tekanan
dari pemerintah. Dia dilarang untuk
berbicara, dan bahkan dia pernah dicambuk
dikarenakan fatwa yang dikeluarkannya tidak
sejalan dengan keinginan pemerintah. Itu terjadi pada masa kekuasaan
Ja'far bin
Sulaiman, tahun 146 Hijrah. Dia digunduli, dibentangkan dan dipukul
dengan
cambuk hingga terlepas tulang bahunya.
Ibrahim bin Jamad berkata, "Saya pernah melihat Malik,
apabila dia dibangungkan dari
tempat duduknya dia membawa tangan kanannya
dengan tangan kirinya atau tangan kirinya dengan tangan kanannya."
Namun, sangat mengherankan sekali, hanya dalam jangka waktu yang singkat Malik berubah menjadi orang yang sangat
diutamakan dan dihormati di dalam
pemerintahan, sehingga para gubernur sampai segan dan takut kepadanya. Yang
menjadi pertanyaan ialah, apa yang terjadi
pada diri Malik sehingga pemerintah menyukainya dan meninggikan kedudukannya sampai ke tingkat ini?
Apakah dahulu pemerintah membencinya karena Malik mempunyai pandangan tertentu, dan sekarang Malik menarik diri
dari pandangannya itu?
Atau Malik tetap pada pendapatnya, namun sekarang pemerintah
bersikap toleran terhadapnya?
Atau, apakah ada sesuatu yang lain?
Ini merupakan pertanyaan besar yang mengganggu benak orang-orang yang mempelajari sejarah Imam Malik, di mana
mereka menyaksikan perubahan
hubungan di antara Malik dengan pemerintah. Yaitu dari keadaan tegang dan bermusuhan kepada keadaan di
mana al-Manshur dan Malik saling
memberikan perhatian dan sanjungan kepada
satu sama lain.
Al-Manshur
berkata kepada Malik, "Demi Allah, kamu adalah manusia yang paling berilmu. Jika kamu menghendaki, niscaya
aku akan tulis perkataanmu
tidak ubahnya sebagaimana mushaf-mushaf kitab suci ditulis, dan aku akan
kirimkan ke seluruh pelosok negeri, serta
aku akan paksa mereka untuk menerimanya."
Dari
sini tampak jelas, bahwa kemajuan mazhab Imam Malik terjadi manakala mendapat
rida dari sultan. Oleh karena itu, sesungguhnya yang menjadi masalah bukanlah masalah paling berilmu dan
bukan paling berilmu, melainkan
masalah Malik, Sultan dan propaganda. Rakyat digiring untuk bertaklid kepada
mazhab Malik, baik dengan suka rela
maupun terpaksa. Inilah yang dikatakan oleh Rabi'ah ar-Ra'yu —guru
Malik dan orang yang lebih berilmu darinya— tatkala dia mengatakan, "Tidakkah kamu tahu, bahwa bantuan
sedikit saja dari pemerintah merupakan
sebaik-baiknya pembawa ilmu."[183]
Ketika Malik memperoleh keridaan ini dari Sultan Malik
berka-ta, "Saya mendapati al-Manshur sebagai orang yang paling mengetahui Kitab Allah, Rasul-Nya dan
peninggalan-peninggalannya yang telah lalu."
Subhanallah\\ Ilmu apa yang dimiliki oleh al-Manshur, sehingga dia menjadi orang yang paling tahu tentang Kitab Allah
SWT dan sunah Rasul-Nya saw?!
Perkataannya
itu tidak lebih dari perbuatan menjilat, dan untuk mendekatkan diri kepada raja dan sultan.
Adapun yang menjadi alasan kenapa sebelumnya Malik
dikucilkan, sejarah tidak pernah
menceritakan kepada kita bahwa itu dikarenakan Malik berani menentang al-Manshur atau mengkritik
kebijaksanaannya. Sebagaimana yang
telah dilakukan oleh Abdullah bin Marzuq, tatakala dia berjumpa dengan Abu Ja'far al-Manshur dalam
ibadah thawaf. Ketika itu manusia
menyingkir darinya, namun Abdullah bin Marzuq berkata kepadanya, "Siapa
yang menjadikanmu lebih berhak atas Baitullah ini
dibandingkan manusia yang lain, sehingga kamu menghalangi
dan menyingkirkan mereka dari-Nya.?"
Abu
Ja'far al-Manshur melihat ke arah orang yang berkata demikian, dan dia pun mengenalnya. Kemudian Abu Ja'far berkata,
"Wahai Abdullah bin Marzuq, siapa yang menjadikanmu berani berkata demikian, dan siapa yang mendatangkanmu ke sini?"
Abdullah bin Marzuq berkata, "Apa yan hendak kamu
perbuat? Apakah di tanganmu ada
bahaya dan manfaat? Demi Allah, saya tidak takut akan bahayamu dan tidak mengharapkan manfaatmu,
sehingga Allah SWT mengizinkan yang
demikian itu terjadi padaku."
Abu Ja'far al-Manshur berkata, "Kamu telah menghalalkan
nyawamu sendiri dan telah
mencelakakannya."
Abdullah bin Marzuq berkata, "Ya Allah, jika di tangan
Abu Ja'far terdapat bahaya, maka
janganlah Engkau tahan bahaya itu sedikit pun kecuali Engkau timpakan kepadaku; dan jika di tangannya
terdapat manfaatku, maka putuslah
seluruh manfaatnya dariku. Di tangan-Mulah ya Allah, segala sesuatu; dan Engkau adalah pemilik segala
sesuatu."
Maka Abu Ja'far memerintahkan supaya Abdullah bin Marzuq ditangkap, lalu dia di bawa ke Baghdad, dipenjarakan,
dan kemudian dilepaskan.[184]
Oleh karena itu, kita mendapati Malik menjauh dari Imam
Ja'far ash-Shadiq as, dikarenakan
Imam Ja'far ash-Shadiq as tidak setuju dengan
pandangan-pandangannya yang berusaha mendekati sultan.
Dalam pandangan
saya sendiri, bahwa yang menjadi penyebab utama marahnya penguasa terhadap Malik pada masa-masa
permulaan adalah karena penguasa
melihat Malik bersahabat dengan Imam Ja'far ash-Shadiq as, dan issu yang beredar pada waktu itu bahwa
orang-orang Arab hendak menuntut
balas bagi Ahlul Bait, maka Oleh karena itu, kita mendapati pemerintah lebih mendekati mawali (bekas-bekas budak yang
telah dibebaskan) dan membantu Abu Hanifah yang ada di Kufah. Ketika masalah ini telah sirna, maka penguasa
tidak melihat jalan lain kecuali meninggikan
nama Malik dan memunculkannya sebagai
pemegang otoritas agama bagi negara, sehingga Malik mem-benarkan penamaan negara pada saat itu dengan nama
"negara Islam". Oleh
karena itu, kita mendapati kebijaksanaan para raja dengan tegas menyatakan kemampuan dan kompetensi Malik, yang mana
hal itu belum pernah dialamatkan kepada alim-alim sebelumnya. Abu Ja'far al-Manshur berkata kepada Malik, "Jika Anda ragu
terhadap petugas Madinah, petugas Mekkah,
atau salah seorang dari para petugas Hijaz, yang berkenaan dengan diri Anda atau yang lain, atau yang
berkaitan dengan buruknya perlakuan
mereka terhadap rakyat, maka laporkanlah hal
itu kepadaku, supaya aku berikan kepada mereka apa yang seharusnya mereka
terima."
Dengan begitu maka kedudukan Malik menjadi sedemikian
tinggi, dan para gubernur takut kepadanya dikarenakan
takut kepada al-Manshur. Hal ini sebagaimana yang diceritakan oleh
asy-Syafi’i tatkala dia datang ke Mekkah dengan membawa surat
dari gubernur Mekkah untuk gubernur
Madinah, supaya disampaikan kepada Malik. Maka gubernur Madinah berkata,
"Hai pemuda, berjalan kaki dari kota Mekkah ke kota Madinah dengan
bertelanjang kaki, itu lebih ringan bagiku dibandingkan aku harus
berdiri di depan
pintu rumah Malik. Saya tidak melihat
kehinaan sehingga saya berdiri di depan pintu Rumah Malik."[185]
Ketika datang era al-Mahdi, setelah era al-Manshur,
kedudukan Malik semakin bertambah tinggi dan dia semakin dekat dengan penguasa. Al-Mahdi amat meninggikan dan menghormatinya
serta mengirimkan berbagai hadiah
kepadanya. Kedudukan Malik semakin bertambah cemerlang di mata masyarakat
tatkala datang era Harun al-Rasyid. Harus ar-Rasyid tetap mempertahankan
kedudukan Malik dan amat
mengagungkannya, sehingga dengan begitu kewibawaan Malik terpatri pada diri masyarakat.
Demikianlah
politik. Dia meninggikan siapa yang ingin ditinggikannya, dan melupakan orang yang ingin dilupakannya. Setelah
semua ini, apa lagi yang akan menghalangi mazhab Malik untuk bisa tersebar, sementara dia telah mendapat keridaan dari penguasa?
Allah bagimu, wahai tuanku, Imam Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as.
Mereka mengetahui bahwa kebenaran milikmu dan ada padamu, serta tidak ada yang berhak atas keimamahan selainmu.
Bukankah Malik telah berkata, "Belum pernah mata
terlihat oleh melihat, terdengar oleh
telinga dan terlintas di dalam hati, ada orang yang lebih utama dari Ja'far ash-Shadiq, baik dari segi
keutamaan, keilmuan, ibadah dan
kewarakan."[186]
Sedemikian jelasnya keutamaan beliau, namun beliau dan para Syiahnya tidak pernah menerima apa-apa kecuali
tekanan, ancaman, pembunuhan dan pengusiran, sebagaimana
yang disaksikan oleh sejarah Syi'ah, mulai
dari wafatnya Rasulullah saw hingga terus se-panjang sejarahnya.
Namun
saya bertanya-tanya sebagaimana yang ditanyakan oleh penulis kitab al-Imam ash-Shadiq Mu
'allim al-Insan manakala dia berkata, "Saya tidak bertanya kenapa kaum
Muslimin terpecah menjadi Sunah dan
Syi'ah. Tidak, saya tidak bertanya tentang hal itu. Namun saya bertanya dengan penuh keheranan, bagaimana Syi'ah
dapat tetap kokoh hingga sekarang,
meski pun begitu kerasnya sikap ta'assub
(fanatik) yang ditujukan kepadanya, yang berwujud dalam bentuk ancaman pemikiran dan fisik, meski pun dengan segala
usaha yang dikerahkan pihak lawan
untuk menghapus ajaran-ajaran kebenaran
dan mencabik-cabik Islam?!"[187]
Bukankah merupakan sebuah kezaliman mendahulukan mazhab-mazhab lain
atas mazhab Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as?! Bukan hanya itu, bahkan
Syi'ah tidak dikenal
hingga sekarang, meski pun di
kalangan lapisan masyarakat yang terpelajar.
Saya ingat, suatu hari dosen kami di kampus mengajarkan
fikih Maliki. Sekelompok
mahasiswa memprotesnya, "Kenapa Anda tidak mengajarkan kami fikih empat mazhab?" Dosen kami itu
menjawab, "Saya seorang
bermazhab Maliki, dan seluruh penduduk Sudan bermazhab Maliki, maka barangsiapa
di antara kamu yang bukan bermazhab
Maliki, saya siap mengajarkan mazhabnya secara khusus." Saya berkata kepadanya, "Saya bukan Maliki,
apakah Anda akan mengajarkan mazahab
saya?" Dosen kami itu menjawab, "Tentu. Apa mazhab kamu? Apakah kamu bermazhab Syafi’i?"
Saya jawab,
"Bukan."
"Apakah
Hanafi?", tanya dia.
Saya jawab,
"Bukan."
Dia bertanya lagi,
"Oh, kalau begitu Hanbali?"
Saya jawab,
"Bukan."
Tampak keheranan
tergambar di wajahnya. Dia berkata, "Jadi,
siapa yang kamu ikuti?"
Saya menjawab,
"Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq as."
Dia bertanya,
"Siapa Ja'far itu?"
Saya
jawab, "Guru Malik dan Abu Hanifah, dan termasuk dari keturunan Ahlul Bait. Mazhabnya terkenal dengan nama
mazhab Ja'fari."
Dosen kami itu berkata, "Saya belum pernah mendengar
nama ini sebelumnya."
Saya katakan, "Kami ini Syi'ah."
Dia berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari
Syi'ah", dan kemudian dia keluar.
Barangsiapa yang memiliki kemudahan dan propaganda sultan,
maka dia akan sampai kepada bintang kartika. Malik sendiri tidak tamak kepada
kedudukan ini, karena dia tahu masih banyak orang yang lebih layak darinya untuk menduduki kedudukan ini. Akan
tetapi, penguasa menginginkannya
menjadi marji' umum (pemegang otoritas
tunggal) di dalam fatwa. Al-Mansur telah memerintahkannya untuk menulis sebuah kitab yang akan dipaksakan kepada
masyarakat secara paksa. Malik tidak bersedia, namun al-Mansur berkata kepadanya, "Tulis kitab itu, sejak saat ini tidak ada
seorang pun yang lebih pandai dari
kamu."[188]
Maka Malik pun menulis kitab al-Muwaththa, dan kemudian para propagandis sultan mengumumkan pada
hari ibadah haji, "Sejak
sekarang tidak boleh ada yang memberi fatwa selain Malik."
Tersebarnya Mazhab Maliki
Mazhab Maliki
tersebar dengan perantaraan para hakim dan para raja. Di Andalus, raja memaksa rakyatnya untuk mengikuti
mazhab Maliki, manakala sampai
berita kepadanya bahwa Malik memujinya tatkala
ditanya tentang perilaku raja Andalus. Malik mengatakan sesuatu yang menyenangkan raja Andalus, "Kita memohon
kepada Allah supaya Dia menghiasi negeri
kita dengan rajamu." Ketika ucapan Malik
itu sampai kepada raja, maka raja pun memaksa rakyatnya untuk mengikuti mazhabnya. Raja meninggalkan mazhab
al-Awza'i, dan kemudian masyarakat pun berbondong-bondong
mengikuti rajanya.
Demikian
juga mazhab Maliki tersebar di Afrika dengan perantaraan hakim Sahnun.
Al-Muqrizi berkata, "Manakala al-Mu'iz bin Badis memerintah, dia memaksa
seluruh rakyat Afrika untuk berpegang kepada mazhab Malik dan
meninggalkan mazhab
yang lainnya. Maka seluruh penduduk
Afrika dan Andalus merujuk kepada mazhabnya, karena mengharapkan apa
yang ada pada sultan dan gemar terhadap dunia. Oleh karena jabatan
kehakiman dan
jabatan mufti yang ada diseluruh kota tidak dapat diduduki kecuali oleh
orang
yang bermazhab Maliki, maka masyarakat
umum mau tidak mau harus merujuk kepada
hukum-hukum dan fatwa-fatwa mereka. Sehingga dengan begitu mazhab ini
pun menjadi tersebar dan
mendapat penerimaan. Namun ini bukan
karena kualifikasi yang dimilikinya, melainkan semata-mata karena
kehendak penguasa yang memaksa masyarakat untuk menerimanya."[189]
Demikian juga mazhab Maliki tersebar di Maroko pada saat Ali
bin Yusuf bin Tasyifin memerintah di
kerajaan Bani Tasyifin. Ali bin Yusuf
bin Tasyifin memuliakan para fukaha dan mendekati mereka. Namun dia tidak mendekati kecuali orang yang bermazhab
Maliki. Maka orang-orang pun
berlomba-lomba di dalam mempelajari mazhab Maliki. Ketika itu buku-buku mazhab Maliki menjadi laris,
mereka mengamalkannya, dan meninggalkan yang lainnya. Bahkan, sedikit sekali perhatian orang kepada Kitab Allah dan sunah
Nabi-Nya pada saat itu.
Demikianlah politik mempermainkan agama kaum Muslimin, sehingga dialah sesungguhnya yang berkuasa atas
keyakinan dan ibadah mereka. Masyarakat
saling mewariskan mazhab-mazhab yang dipaksakan
di antara mereka, dan mereka menerimanya dengan tanpa perdebatan atau pembahasan. Padahal yang layak ialah
masing-masing generasi bersikap merdeka
di dalam mengenal suatu mazhab, dan tidak mengikutinya secara
membuta.
Ibnu Hazm berkata, "Ada dua mazhab yang pada awal
mulanya tersebar dengan perantaraan
raja dan sultan:
Yang
pertama, mazhab Abu Hanifah. Karena, pada saat Abu Yusuf menduduki
posisi kehakiman dia tidak mengangkat seorang hakim kecuali dari kalangan
sahabatnya yang semazhab dengannya.
Yang kedua, mazhab Malik yang ada di negeri kita Andalus.
Yahya bin Yahya adalah seorang
yang mempunyai kedudukan yang kuat di sisi raja, dan mendapat pengakuan di
dalam jabatan kehakiman. Raja tidak
akan mengangkat seorang hakim diseluruh pelosok negeri Andalus kecuali berdasarkan musyawarah dan pilihannya, dan
jabatan kehakiman tidak akan
diserahkan kecuali kepada para sahabatnya."[190]
Tikaman Terhadap Malik.
Dalam hal ini kita akan mengabaikan perkataan orang-orang
yang fanatik kepadanya, dan
begitu juga kita akan meninggalkan keutamaan-keutamaan yang diberikan sultan kepadanya. Karena yang
demikian ini tidak bisa menjadi
ukuran yang nyata untuk mengenal pribadi Malik. Berikut ini saya kemukakan satu contoh darinya,
"Sesungguhnya Qais melihat
Rasulullah saw berjalan di sebuah jalan, sementara Abu Bakar berada di belakangnya, lalu Umar di belakang Abu
Bakar, dan Malik di belakang Umar, serta
Sahnun[191]
di belakang Malik."[192]
Dan
beberapa ratus contoh lainnya, yang kesemuanya merupakan hal-hal yang sepele dan keutamaan-keutamaan buatan yang
tidak layak untuk didiskusikan.
Di sini, saya mencukupkan diri dengan ucapan-ucapan para
ulama dan sebagian orang yang
hidup sezaman dengan Malik, yang merupakan pandangan yang indefenden yang tidak melewati batas-batas
kritik ilmiah.
Syafi’i berkata, "Singa lebih fakih dari Malik, hanya
saja para sahabatnya tidak menguasainya." Sa'id bin
Ayub berkata, "Jika seandainya Singa dan Malik berkumpul, maka Malik akan
lebih bisu dari singa, dan singa akan
menjual Malik kepada siapa saja yang diinginkannya."[193]
Ali
bin al-Madini bertanya kepada Yahya bin Sa'id, "Pendapat siapakah yang lebih kamu sukai, pendapat Malik atau
pendapat Sufyan?"
Yahya
bin Sa'id menjawab, "Tentu tidak diragukan pendapat Sufyan yang lebih aku sukai." Yahya melanjutkan,
"Sufyan berada di atas Malik dalam
segala hal."
Yahya
bin Mu'in berkata, "Saya mendengar Yahya bin Sa'id berkata, "Sufyan lebih aku sukai dibandingkan Malik
dalam segala hal."[194]
Sufyan ats-Tsauri berkata, "Dia —yakni Malik— tidak mempunyai hapalan."
Ibnu Abdul Barr berkata, "Ibnu Dzubaib telah mengatakan
sesuatu yang kasar dan keras
tentang Malik, yang saya enggan untuk menyebutkannya."[195]
Ibrahim bin Sa'ad telah berkata tentang Malik sambil
mengutuknya. Demikian juga Abdurrahman bin Zaid bin
Aslam, Ibnu Ubay Yahya, Muhammad bin Ishaq al-Waqidi dan Ibnu Abi Zanad telah menjelek-jelekkan beberapa hal dari mazhabnya.
Salmah
bin Sulaiman berkata kepada Ibnu Mubaraak, "Kamu pernah menulis sesuatu tentang pendapat Abu Hanifah, namun
kamu belum pernah menulis
sesuatu tentang pendapat Malik?"
Ibnu
Mubarak menjawab, "Saya tidak melihatnya sebagai seorang yang berilmu."[196]
Ibnu Abdul Barr berkata tentang Malik, "Mereka
menjelek-jelekkan beberapa hal dari mazhabnya." Abdullah bin Idris
berkata, "Muhammad bin
Ishaq datang kepada kami, lalu kami menyebutkan sesuatu tentang Malik, maka kemudian dia berkata, 'Kemarikan
ilmunya.'" Yahya bin Salih
berkata, "Ibnu Aktsam telah berkata kepada saya, 'Kamu telah melihat Malik dan mendengar darinya, dan kamu juga
telah menyertai Muhammad bin Hasan. Lalu,
mana yang lebih fakih dari keduanya?' Saya jawab, 'Muhammad bin Hasan, pada apa
yang dia ambil untuk dirinya, lebih
fakih dari Malik.'"[197]
Demikian juga Muhammad bin Abi Hatim berkata, "Dari
Zar'ah, dari Yahya bin Bakir yang
berkata, 'Singa lebih fakih dari Malik, hanya
saja Malik mempunyai langkah."[198]
Ahmad bin Hanbal
berkata, "Abu Dzu'aib serupa dengan Sa'id bin Musib. Dia lebih utama dari Malik. Hanya saja Malik amat
dibersihkan dan dipuji-puji oleh
orang-orangnya."[199]
Dari semua
perkataan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak ada kelebih-utamaan Malik atas ulama yang lain, dan
dia tidak memiliki kelebihan yang
menjadikannya layak untuk menduduki posisi
marji'iyyah (tempat
rujukan) di dalam fikih. Namun, politik tidak memandang kepada keahlian, dia
mempunyai cara penilaian khusus
yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politis dan
kepentingan. Seorang fakih yang tidak bertentangan dengan kebijakan-kebijaksannya maka dialah yang wajib
diikuti oleh kaum Muslimin, dan di
tangannyalah hak otoritas pemberian fatwa.
3. IMAM SYAFI’I
Dia
adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi'. Dia dilahirkan pada tahun 150 Hijrah, dan
ada yang mengatakan dia dilahirkan
pada hari wafatnya Abu Hanifah. Orang-orang berbeda pendapat mengenai tempat kelahirannya, antara
Ghazzah, 'Asqalan dan Yaman, dan
pendapat lemah mengatakan bahwa dia dilahirkan
di Mekkah. Dia meninggal dunia di Mesir pada tahun 204 Hijrah.
Ketika
kecil dia hijrah bersama ibunya ke kota Mekkah. Di Mekkah dia belajar
Al-Qur'an, sehingga hafal Al-Qur'an. Kemudian
dia belajar menulis, dan setelah itu
pergi ke pedalaman padang pasir, dan menetap dengan suku Hudzail selama
20 tahun, sebagaimana yang
diceritakan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab al-Bidayah
wa an-Nihayah, atau tujuh belas tahun sebagaimana yang diceritakannya
sendiri
di dalam kitab Mu'jam al-Buldan. Maka dia pun memperoleh kefasihan suku
Hudzail. Sepanjang waktu tersebut Syafi’i tidak mempunyai
perhatian kepada bidang keilmuan dan fikih. Dia baru mempunyai perhatian
kepada
bidang keilmuan dan fikih pada dekade
ketiga dari umurnya. Jika dia tinggal
selama 20 tahun di pedalaman padang pasir, maka dia baru mulai belajar
fikih
pada dekade keempat dari umurnya. Artinya, setelah melewati umur tiga
puluh tahun.
Syafi’i berguru kepada guru-guru yang ada di Mekkah,
Madinah, Yaman dan Baghdad, dan orang yang pertama menjadi gurunya ialah Muslim bin Khalid al-Makhzumi, yang dikenal dengan
sebutan az-Zanji. Dia termasuk orang
yang tidak bisa dipercaya ucapannya. Banyak
dari kalangan para huffazh yang mendhaifkan dan mengecamnya, seperti Abu dawud,
Abi Hatim dan an-Nasa'i.[200]
Kemudian
Syafi’i belajar kepada Sa'id bin Salim al-Qaddah. Sa'id bin Salim al-Qaddah telah dituduh sebagai orang murji'ah. Syafi’i
juga belajar kepada Sufyan bin
Uyaynah, salah seorang murid Imam Ja'far ash-Shadiq
as. Dia adalah salah seorang pemilik mazhab yang musnah. Syafi’i juga belajar kepada Malik bin Anas di Madinah, dan
juga guru-guru lainnya. Ibnu Hajar
menyebutkan Syafi’i telah belajar dari delapan
puluh orang guru. Sebuah angka yang berlebihan. Ar-Razi menolak perkataan Ibnu Hajar tersebut. Syafi’i juga telah
mengambil ilmu dari Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani, seorang qadhi yang merupakan
salah seorang murid dari Abu Hanifah. Tidak ada tempat bagi kefanatikan di
sini, karena Syafi’i sendiri telah mengakui bahwa dirinya telah mengambil ilmu darinya.
Adapun murid-murid Syafi’i sebagiannya orang-orang Irak dan sebagiannya lagi orang-orang Mesir. Mereka menjadi
faktor penting di dalam penyebaran mazhabnya. Adapun murid-murid Syafi’i yang berasal dari Irak ialah Khalid al-Yamani al-Kalbi,
Abu Tsaur al-Baghdadi, yang terhitung
sebagai pemilik mazhab tersendiri dan mempunyai muqallid (pengikut) hingga abad kedua hijrah, dan dia wafat
pada tahun 240 Hijrah. Kemudian,
Hasan bin Muhammad bin ash-Shabbah az-Za'farani,
Hasan bin Ali al-Karabisi, Ahmad bin Abdul Aziz al-Baghdadi, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari.
Ahmad bin Muhammad al-Asy'ari
diidentikkan dengan Syafi’i, karena dia
memperkuat mazhabnya dan membela para pengikutnya, disebabkan kedudukan tinggi
yang dimilikinya di mata sultan. Juga teimasuk salah seorang dari murid Syafi’i
adalah Ahmad bin Hanbal, meskipun orang-orang
Hanbali mengatakan bahwa Syafi’i pernah mengambil hadis dari Ahmad dan belajar kepadanya, sebagaimana yang
disebutkan di dalam kitab Thabaqat al-Hanabilah.
Adapun murid-muridnya di Mesir, mereka amat berperan di
dalam penyebaran mazhabnya dan
penulisan buku-buku. Yang paling terkenal
dari mereka ialah Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi, yang merupakan pengganti Syafi’i di dalam memberikan pelajaran,
dan termasuk penyeru terbesar kepada
mazhabnya.
Dia mendekati orang-orang asing dan memperkenalkan kepada
mereka keutamaan Syafi’i, hingga banyak pengikutnya dan tersebar mazhabnya. Ibnu Abi Laits al-Hanafi merasa hasud
kepadanya dan kemudian mengeluarkannya
dari Mesir, sehingga akhirnya Yusuf bin Ya'qub
al-Buwaithi meninggal dunia di dalam penjara di kota Baghdad.
Di
antara murid-murid Yusuf bin Ya'qub al-Buwaithi ialah Ismail bin Yahya al-Mazni dan Abu Ibrahim al-Mishri, yang
memiliki ber-bagai tulisan di dalam
mazhab Syafi’i yang membantu penyebaran mazhab
tersebut, seperti kitab al-Jami' al-Kabir,
al-Jami' ash-Shaghir, al-Mantsur, dan yang lainnya.
Seseorang yang mempelajari sejarah mazhab Syafi’i akan menemukan bahwa murid-murid dan sahabat-sahabatnyalah
yang telah membantunya dan
menyebarkan mazhabnya.
Terdapat
perbedaan antara madrasah Syafi’i di Irak dengan madrasah Syafi’i di Mesir. Suatu hal yang perlu kita cermati.
Sebagaimana diketahui bahwa Syafi’i
telah berpaling dari fatwa-fatwa yang dikeluarkannya
ketika berada di Irak, yang kemudian dikenal dengan mazhab qadim, yang dipegang oleh murid-muridnya di Irak. Di
antara kitab-kitab yang berasal
dari mazhab qadim ialah kitab al-Amali dan kitab Majma' al-Kafi. Ketika
pindah ke Mesir dia mengharamkan berpegang
kepada mazhab qadim, setelah mazhab itu tersebar dan dipraktekkan oleh masyarakat umum. Apakah Syafi’i menarik diri
darinya karena mazhab qadim itu
batil?! Atau, apakah ijtihadnya ketika di
Baghdad tidak sempurna, dan kemudian menjadi sempuma di Mesir?!
Kemudian, apa yang menjadi jaminan kebenaran mazhabnya yang baru di Mesir?!
Apakah kalau sekiranya umurnya panjang dia pun akan
berpaling dari mazhab barunya itu?! Oleh
karena itu, Anda menemukan dua pendapat
dalam satu masalah di dalam mazhab Syafi’i. Sebagaimana yang terdapat di dalam kitab al-Umm.
Ada orang yang menganggap bahwa perbedaan ini sebagai akibat tidak adanya
ketetapan hati dari Syafi’i, dan ini
merupakan sebuah kekurangan di dalam ijtihad dan ilmu.
Al-Bazzaz menyokong makna ini dengan mengatakan,
"Ketika di Irak Syafi’i menulis
beberapa kitab, namun para sahabat Muhammad asy-Syaibani mendhaifkan perkataannya dan mempersulitnya,
sementara para ahlul hadis tidak
memperhatikan perkataannya, dan bahkan menuduhnya
sebagai mu'tazilah. Ketika di Irak pasar sudah tertutup baginya, maka Oleh
karena itu, dia pun pindah ke Mesir, yang ketika itu belum ada seorang fakih yang dikenal di sana, dan pasar
pun berpihak kepadanya."[201]
Keadaan berubah
ketika dia pindah ke Mesir. Karena Syafi’i dikenal
sebagai murid Malik dan sekaligus penolong dan pembela mazhabnya. Inilah
faktor yang membentangkan jalan kesuksesan Syafi’i di Mesir. Karena
watak umum masyarakat
Mesir bermazhab Maliki. Di samping
itu, kedatangan Syafi’i ke Mesir berdasarkan rekomendasi khalifah saat
itu kepada gubernur Mesir, maka Oleh karena itu, Syafi’i memperoleh
perhatian yang cukup di
Mesir, terutama dari kalangan para
pengikut Malik.
Namun
itu tidak berlangsung lama sehingga akhirnya Syafi’i menulis
kitab-kitab yang menolak Malik dan menentang perkataan-perkataannya. Ar-Rabi' berkata, "Saya mendengar Syafi’i
mengatakan,
'Saya datang ke Mesir dalam keadaan tidak tahu bahwa Malik berlawanan dengan ucapan-ucapannya kecuali hanya enam
belas ucapan. Saya perhatikan,
dan kemudian saya mendapati dia mengatakan
yang pokok dan meninggalkan cabang atau mengatakan cabang dan meninggalkan
pokok.' Abu Umar berkata, 'Abdul Aziz bin Abi Salma dan Abdurrahman bin Zaid
juga telah berkata tentang Malik, sebagaimana
yang disebutkan oleh as-Saji di dalam kitab al-'llal,
mereka menjelek-jelekkan beberapa hal tentang mazhab Malik.'
Hingga Abu Umar berkata, 'Syafi’i telah
berbuat zalim kepada Malik, dan
begitu juga sebagian pengikut Abu Hanifah, berkenaan dengan sesuatu dari
pendapatnya, karena merasa hasud akan kedudukan keimamahannya.'"[202]
Orang-orang Maliki telah habis kesabarannya terhadap Syafi’i,
dan mereka menunggu saat yang
tepat hingga akhirnya mereka membunuhnya.
Ibnu Hajar mengatakan, mereka memukul Syafi’i dengan kunci besi hingga meninggal dunia.[203] Abi
Hayyan menyebutkan peristiwa ini di
dalam kasidah pujiannya terhadap Syafi’i,
"Tatkala datang ke Mesir dia menentang berbagai hal
menyakitkan yang ditujukan kepadanya.
Sementara orang-orang menyembunyikan kebencian kepadanya.
Dia datang mengkritik
apa yang telah mereka peroleh
dan menghancurkan
apa yang telah mereka tegakkan karena memang bangunan
mereka lemah.
Maka
mereka pun memperdayanya tatkala mereka berduaan
dengannya di tempat
yang sepi.
Kecelakaan bagi
mereka yang Allah telah lumpuhkan
kedua
tangan mereka terhadapnya.
Mereka merobek keningnya dengan kunci besi
hingga pergilah dia tanpa dibentahukan kematiannya."
Maka Syafi’i pun meninggal dunia sebagai korban dari kefanatikan mazhab pengikut Malik.
Meski pun demikian, Mesir merupakan benih pertama, yang darinya tersebar luas mazhab Syafi’i, sebagai hasil dari
upaya dan jerih payah para sahabat dan murid-muridnya. Apabila tidak ada
mereka, mungkin nasib yang dialami
mazhab Syafi’i tidak berbeda dengan nasib mazhab-mazab lain yang
musnah.
Mazhab
Syafi’i berhasil menyebar luas di Syam dan mampu mengalahkan mazhab
mazhab al-Awza'i, setelah jabatan kehakiman
dipegang oleh Muhammad bin Usman
ad-Dimasyqi asy-Syafi’i. Dengan gigih
dia berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i di Syam, dan Oleh karena itu,lah
mazhab al-Awza'i menjadi musnah. Kemenangan
mazhab Syafi’i menjadi sempurna
pada masa Dinasti Ayubiyyah, yang mana para rajanya merupakan para
pemeluk
mazhab Syafi’i yang setia. Hal ini
merupakan faktor yang amat membantu sekali di dalam memperkokoh
mazhab Syafi’i. Ketika datang Dinasti Mamalik di Mesir, langkah mereka
tidak bergeser dari mazhab Syafi’i. Seluruh raja-raja mereka bermazhab
Syafi’i kecuali Saifuddin yang
bermazhab Hanafi, namun dia tidak mampu memberikan pengaruh terhadap
penyebaran
mazhab Syafi’i.
Dengan demikian, nama Syafi’i menjadi harum dan terkenal karena perantaraan raja dan sultan. Jika tidak, maka
tentu mazhabnya akan menjadi mazhab yang terlupakan.
Tikaman Terhadap Syafi’i
Setiap imam diikuti dua kelompok manusia yang saling
berlawanan. Kelompok yang fanatik
kepadanya dan kelompok yang membencinya. Sebagaimana yang
telah disebutkan.
Demikian juga halnya dengan Syafi’i. Orang-orang yang
fanatik kepadanya mensifatinya
dengan sifat-sifat kesempurnaan sedemikian rupa, sehingga tidak ada seorang makhluk pun yang mampu
menggapainya. Sebaliknya,
orang-orang yang membencinya membuat hadis-hadis
yang menurunkan derajatnya hingga tingkatan Iblis.
Ahmad
bin Abdullah al-Juwaibari meriwayatkan dari Abdu bin Ma'dan, dari Anas, dari Rasulullah saw yang bersabda,
"Akan datang pada umatku seorang
laki-laki yang dipanggil dengan nama Muhammad bin Idris, dia lebih berbahaya bagi umatku dibandingkan
Iblis. Juga akan datang pada umatku
seorang laki-laki yang dipanggil dengan sebutan
Abu Hanifah, dia adalah pelita bagi umatku."[204]
Tidak ada seorang pun yang meragukan bahwa hadis ini palsu.
Sebaliknya,
Ibnu Abdul Barr meriwayatkan dengan bersanad kepada Suwaid bin Sa'id yang berkata, "Kami pernah
bersama Sufyan bin 'Uyaynah di Mekkah. Lalu datang seorang
laki-laki memberitahukan bahwa Syafi’i telah meninggal dunia. Kemudian Sufyan
berkata, 'Jika Muhammad bin Idris meninggal
dunia maka sungguh telah meninggal seutama-utamanya manusia pada zamannya."'[205]
Ini
juga merupakan kabar bohong, karena Sufyan bin 'Uyaynah meninggal dunia pada
tahun 198 Hijrah, yaitu enam tahun sebelum Syafi’i meninggal dunia.
Tuduhan
yang dilontarkan kepada Syafi’i terkadang tuduhan bahwa dia itu Syi'ah, dia itu Mu'tazilah, dia itu
meriwayatkan dari orang-orang yang
suka dusta, dan dia itu orang yang sedikit bersandar kepada hadis.
Yahya bin Mu'in ditanya, "Apakah Syafi’i pernah
berdusta?"
Yahya bin Mu'in menjawab, "Saya tidak ingin
membicarakannya dan tidak ingin menyebut
namanya."
Al-Khatib meriwayatkan dari Yahya bin Mu'in yang berkata, "Syafi’i bukan orang yang dapat dipercaya."
Di
sana terdapat tuduhan-tuduhan yang tidak ada nilainya, yang tidak perlu kita kaji di sini. Namun yang menarik
perhatian saya ialah tuduhan yang
mengatakan bahwa Syafi’i itu Syi'ah. Tuduhan ini terhitung sebagai tuduhan
yang amat berbahaya pada saat itu, di mana
pada saat itu kalangan Alawi dan Syi'ah dikejar-kejar dan
dibunuh
dengan cara yang paling keji. Sehingga
sikap menampakkan permusuhan kepada
Ali, anak-anaknya dan para pengikutnya menjadi suatu fenomena yang lumrah. Untuk lebih mengetahui hal
ini secara mendalam silahkan Anda
merujuk kepada kitab-kitab sejarah, seperti kitab Magatil
ath-Thalibin, karya Abu Faraj
al-Isfahani, sehingga Anda dapat
mengetahui sedikit tentang berbagai macam siksaan yang ditimpakan kepada Ahlul
Bait dan para pengikutnya. Oleh karena itu, masyarakat
terbelah menjadi dua kelompok: Kelompok yang sabar dan berkorban untuk tetap
berpegang kepada kepemimpinan Ahlul Bait,
jumlah mereka sedikit sekali, sedangkan kelompok kedua yang merupakan kelompok mayoritas, mereka tunduk dan
menukar agamanya dengan dunia para sultan. Sungguh benar apa yang telah
dikatakan oleh Imam Husain,
"Manusia itu hambanya dunia, dan agama hanya sebatas di lidah mereka. Mereka akan mengelilingi
agama selama kehidupan masih
mengalir kepada mereka, namun jika mereka diuji dengan bala maka sedikit sekali
dari mereka yang benar-benar berpegang
kepada agama."
Pada
situasi yang dipenuhi dengan kegelapan ini Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait. Dan karena
semata-mata kecintaannya kepada Ahlul
Bait inilah Syafi’i dituduh Syi'ah. Padahal sesungguhnya Syafi’i bukanlah
seorang Syi'ah. Yaitu orang yang berpegang kepada kepemimpinan para Imam Ahlul
Bait dan mengikuti jalan mereka.
Melainkan itu hanya semata-mata kecintaan yang melekat pada fitrah setiap manusia. Oleh karena itu, Syafi’i
berkata di dalam syairnya,
"Wahai Ahlul
Bait Rasulullah, kecintaan kepadamu
merupakan kewajiban
dari Allah di dalam
Al-Qur'an yang telah diturunkan-Nya.
Cukup
menjadi bukti bagi keagungan kedudukanmu
bahwa barangsiapa yang tidak membaca
salawat kepadamu
maka tidak ada salat baginya."
Dengan
bersandar kepada firman Allah SWT yang berbunyi, "Katakanlah.
'Aku tidak meminta kepadamu suatu upah apa pun atas risalah
yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. asy-Syura: 23)
Yaitu sebuah ayat yang dengan jelas mengatakan wajibnya mencintai
Ahlul Bait as. Saya pernah heran, kenapa Allah SWT menjadikan upah penyampaian risalah-Nya terletak di dalam kecintaan
kepada Ahlul Bait?! Masalah ini
tetap belum jelas bagi saya kecuali setelah saya mengetahui betapa besarnya nilai cobaan yang terkandung
di dalam kecintaan kepada Ahlul Bait dan berpegang kepada mereka. Inilah Syafi’i
sebagai contoh yang ada di hadapan Anda, tatkala dia menampakkan kecintaannya kepada Ahlul Bait, maka dengan
serta mereka menuduhnya sebagai rafidhi. Syafi’i berkata di dalam
syairnya,
"Mereka berkata, 'Engkau telah menjadi rafidhi.'
Aku jawab, 'Sekali-kali tidak.
Aku bukan rafldhi, baik
secara agama maupun keyakinan.
Namun tidak
diragukan —memang— aku mencintai
sebaik-baiknya Imam dan sebaik-baiknya penunjuk.
Jika
kecintaan kepada al-washi dikatakan sebagai rafidhi,
maka
ketahuilah sesungguhnya aku ini hamba yang paling rafidhi.'"
Tatkala
Syafi’i menampakkan kecintaannya kepada Ali as, beberapa orang para penyair mengejeknya dengan mengatakan,
"Syafi’i mati dalam keadaan tidak
tahu
apakah Ali Tuhannya atau Allah
Tuhannya."
Pada situasi yang dipenuhi dengan kebencian dan penentangan terhadap Ahlul Bait dan para pengikutnya ini, Syafi’i
tidak kendur di dalam menampakkan
kecintaannya kepada Ahlul Bait. Bahkan dengan lantang
dia mengatakan,
"Jika karena
kecintaan kepada keluarga Muhammad seseorang dikatakan rafidhi,
maka biarlah jin dan manusia bersaksi bahwa aku ini seorang rafidhi."
Syafi’i
juga menamakan orang yang memberontak dan memerangi Ali
as sebagai orang pembuat makar. Tuduhan Syi'ah kepada Syafi’i adalah
sesuatu
yang memang ada. Namun setelah kami melakukan pengkajian,
tampak jelas bagi kami bahwa Kesyi'ahan Syafi’i adalah semata-mata
Kesyi'ahan apabila dibandingkan
dengan masyarakatnya yang tenggelam di dalam kebencian kepada Ahlul
Bait,
karena mengikuti raja-raja mereka. Oleh
karena itu, Syafi’i dituduh Syi'ah. Jika kita membebaskan masyarakat
tersebut
dari kepatuhan kepada penguasa dan
politiknya, maka kita tidak akan mendapati seorang pun yang membenci
Ahlul Bait, kecuali orang-orang
Khawarij dan orang-orang yang
mengikuti jejaknya. Hati seorang Muslim tidak akan kosong dari kecintaan
kepada Ahlul Bait. Maka
dengan begitu, Syafi’i hanyalah
seorang pecinta Ahlul Bait, dan bukan seorang Syi'ah. Terdapat perbedaan
yang
besar di antara keduanya. Karena setiap orang yang mencintai nilai-nilai
kebajikan maka dia pasti akan mencintai Ahlul
Bait, yang merupakan perwujudan dari nilai-nilai kebajikan tersebut,
meski pun dia bukan seorang Muslim.
Bukti-bukti yang menunjukkan kepada hal itu banyak sekali. Beberapa di
antaranya ialah: Seorang penulis
Kristen yang bernama George Jordaq. Dia menulis sebuah ensiklopedia
tentang Imam Ali as yang terdiri dari lima jilid. Dia menggambarkan Imam
Ali dengan sifat-sifat
yang amat agung. Dia juga menulis
sebuah buku tentang Sayyidah Fatimah az-Zahra as, yang diberi judul
Fatimah
Witrfi Ghamad. Berikutnya adalah Salma Kattani, penulis buku al-lmam
Ali Nibras wa Mitras. Demikian juga, qashidah terpanjang di dunia yang
terdiri dari lima
ribu bait, ditulis oleh seorang
Kristen berkenaan dengan hak Imam Ali bin Abi Thalib as. Berikutnya,
qashidah terpanjang kedua yang terdiri dari
tiga ribu bait, yang juga ditulis oleh seorang Kristiani, juga berbicara
tentang keutamaan Imam Ali as. Adapun qashidah terpanjang ketiga adalah
qashidah yang terdiri dari seribu bait, yang juga ditulis oleh seorang
Kristiani berkenaan dengan Imam Ali as. Namun ini semua
tidak cukup untuk menunjukkan Kesyi'ahan mereka.
Semata-mata hanya kecintaan tidaklah cukup.
Karena kecintaan yang hakiki adalah berarti tunduk dan patuh kepada
mereka, dan
mengambil ajaran agama hanya dari
mereka. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair,
"Jika cintamu memang benar maka tentu kamu mentaatinya
karena sesungguhnya orang yang mencintai akan mentaati orang
yang dicintainya."
4. IMAM AHMAD BIN HANBAL
Dia
adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Dilahirkan pada tahun 164 Hijrah,
di kota Baghdad, menurut pendapat yang
lebih masyhur, atau di kota Marwa, menurut pendapat
yang lebih lemah. Ahmad tumbuh sebagai yatim di bawah asuhan ibunya. Dia
sudah mempunyai perhatian kepada ilmu ketika dia berumur
lima belas tahun, yaitu pada tahun 179 Hijrah. Dia belajar ilmu hadis,
setelah belajar membaca Al-Qur'an dan bahasa.
Guru pertama tempat dia menimba ilmu
ialah Hisyam bin Basyir as-Silmi, yang wafat pada tahun 183 Hijrah.
Ahmad bin Hanbal menyertainya
selama tiga tahun atau lebih. Dia
telah melakukan perjalanan ke Mekkah, Kufah, Basrah, Madinah, Yaman,
Syam dan Irak untuk mencari hadis.
Di kota-kota tersebut dia berguru
kepada sekumpulan para ulama, yang tidak perlu kita sebutkan di sini,
namun yang terpenting dari mereka adalah Syafi’i;
sehingga aneh sekali apabila
orang-orang Hanbali mengatakan Syafi’i sebagai murid Ahmad bin Hanbal.
Ahmad bin Hanbal mempunyai murid yang banyak sekali, namun yang paling terkenal dari mereka ialah Ahmad bin
Muhammad bin Hani, yang terkenal
dengan panggilan al-Atsram, yang wafat pada tahun 261 Hijrah, kemudian Shalih bin Ahmad bin Hanbal, putra tertua
Ahmad bin Hanbal, dan kemudian
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, yang wafat
pada tahun 290 Hijrah, dia meriwayatkan hadis dari ayahnya.
Kitab-Kitab Peninggalan Ahmad
Ahmad tidak pernah menulis sebuah kitab di dalam bidang
fikih yang terhitung sebagai kitab induk, yang menjadi tempat
pengambilan mazhab fikihnya. Dia hanya mempunyai kitab-kitab
yang terhitung sebagai kitab-kitab fikih tematik, seperti kitab
al-Manasik al-Kabirah, al-Manasik ash-Shaghirah, dan Risalah Shaghirah
fi ash-Shalah. Namun,
kitab-kitab tersebut tidak lebih hanya merupakan kitab-kitab hadis,
meski pun terhadap beberapa temanya
dilakukan penjelasan dan pembahasan.[206]
Dia terkenal tidak mau menulis kitab yang memuat tafri' (pencabangan) dan ra'yu. Pada suatu hari dia pernah berkata
kepada Usman bin Sa'id, "Janganlah
kamu melihat kepada isi kitab Abi 'Ubaid, juga kepada kitab yang ditulis oleh Ishaq, Sufyan, Syafi’i dan
Malik. Kamu harus berpegang kepada
pokok."
Yang
paling termasyhur dari karyanya di dalam bidang hadis adalah kitab musnadnya, yang mencakup empat puluh ribu
hadis, di mana sepuluh ribu hadis
darinya disebut berulang. Ahmad bin Hanbal amat percaya dengan kitab musnadnya. Ketika dia ditanya
tentang sebuah hadis, dia berkata, "Lihatlah, jika
terdapat di dalam musnad maka itu hujjah,
namun jika maka itu bukan hujjah." Banyak dari para huffazh yang
meragukannya, dan mereka tidak mempercayai semua yang ada di dalamnya; bahkan dengan lantang mereka mengatakan akan
adanya riwayat-riwayat palsu. Namun di sini bukan tempatnya kita membahas masalah ini.
Malapetaka Yang Menimpa Ahmad bin Hanbal
Sesungguhnya tikungan yang paling tampak dalam sejarah
kehidupan Ahmad bin Hanbal ialah malapetaka yang
menimpanya disebabkan perkataannya bahwa
Al-Qur'an itu bukan makhluk. Malapetaka yang menimpa dia dimulai pada
zaman Makmun yang memerintahkan manusia dengan kekerasan untuk
mengatakan bahwa
Al-Qur'an itu makhluk. Makmun adalah
seorang mutakallim yang alim. Dia mengirimkan surat edaran kepada
seluruh
gubernurnya, dan memerintahkan kepada
mereka untuk menguji manusia akan keyakinan bahwa Al-Qur'an itu makhluk.
Di
dalam surat edarannya itu dia mengatakan, "Sesungguhnya wajib atas
khalifah kaum Muslimin untuk menjaga dan menegakkan agama, serta
melaksanakan kebenaran pada rakyat. Amirul
Mukminin telah mengetahui bahwa sebagian besar dari kalangan masyarakat
umum, yang tidak mempunyai pandangan dan perenungan,
tidak mempunyai argumentasi yang berdasarkan petunjuk dan hidayah Allah,
dan tidak diterangi oleh cahaya
ilmu dan argumentasi, mereka itu
orang-orang yang bodoh akan Allah SWT, buta terhadap-Nya, tersesat dari
hakikat
agama-Nya, tauhid-Nya dan iman kepada-Nya,
menyimpang dari tanda-tanda-Nya yang amat jelas, tidak mampu menghargai
Allah sesuai dengan kadar-Nya,
dan tidak mampu mengetahui hakikat
pengenalan-Nya; disebabkan karena lemahnya pandangan-pandangan mereka,
kurangnya akal mereka, dan kelalaian mereka dari bertafakkur dan
mengambil pelajaran. Oleh
karena itu, mereka menyamakan antara
Allah dengan apa yang telah diturunkan-Nya,
yaitu Al-Qur'an. Lalu mereka sepakat menerapkan bahwa Al-Qur'an itu
qadim dan azali, serta tidak diciptakan
oleh Allah SWT.."[207]
Dari
sinilah dimulai malapetaka "makhluknya Al-Qur'an". Ibnu Hanbal tidak masuk ke dalam perangkap ujian kecuali
pada masa Mu'tashim, disebabkan
Makmun meninggal dunia sebelum sempat mengujinya.
Mu'tashim sangat keras di dalam menguji orang. Ketika datang giliran Ahmad bin Hanbal, Mu'tashim bersumpah tidak
akan membunuhnya dengan pedang,
melainkan dia akan memukulinya dengan
pukulan demi pukulan, dan kemudian melemparkannya ke dalam ruangan yang gelap gulita yang tidak ada cahaya sama
sekali. Ahmad bin Hanbal menjalani
ujian selama tiga hari. Setiap hari dia didatangi
untuk diajak dialog. Hampir saja dia tunduk kepada pandangan penguasa, namun
dengan segera dia berpegang kepada keyakinannya
dan menolak pandangan penguasa. Ketika Mu'tashim telah merasa putus asa darinya, maka dia pun memerintahkan
supaya Ahmad bin Hanbal dipukul
dengan cambuk. Ahmad bin Hanbal dipukul
sebanyak 38 cambukkan. Namun, siksaan yang ditimpakan kepada Ahmad bin Hanbal
tidak terus berlanjut, bahkan Mu'tashim melepaskannya.
Hal ini menimbulkan keheranan. Apakah kejadian ini cukup untuk menjadikan Ahmad sebagai pahlawan sejarah,
padahal sejarah telah menyaksikan orang-orang yang mengalami penyiksaan yang lebih kejam dari Ahmad dan mereka sabar?!
Kemudian, kenapa siksaan yang ditimpakan
kepadanya tidak berlanjut?! Apakah dia telah tunduk kepada perkataan sultan?!
Sebagian
dari mereka menyebutkan, bahwa masyarakat umum telah berkumpul mengepung
rumah sultan, dan mereka telah
bertekad untuk menyerangnya, maka akhirnya Mu'atshim
memerintahkan untuk melepaskannya.
Perkataan ini tidak sesuai dengan kenyataan. Karena sejarah mencatat
Mu'tashim sebagai orang yang kuat dan memiliki kemauan yang keras, di
samping besarnya
daerah kekuasaan yang dimilikinya,
sehingga penolakan masyarakat umum tidak akan berpengaruh kepadanya.
Lantas, masyarakat umum yang mana? Apakah mereka itu pengikut Ahmad?!
Padahal Ahmad
belum dikenal sebelum peristiwa
malapetaka itu, sehingga dia mempunyai masyarakat umum. Jika memang
mereka itu pengikut Ahmad, Ahmad
telah melarang mereka untuk memberontak kepada sultan..! Sehingga dengan
demikian, alasan yang dikemukakan di atas tidak
memuaskan.
Tampak jelas bahwa yang menjadi sebab kenapa Ahmad dibebaskan adalah karena Ahmad memenuhi keinginan khalifah
dan mengatakan apa yang dikatakannya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh al-Jahidz di dalam suratnya yang ditujukan kepada
Ahlul Hadis, setelah dia menyebutkan
malapetaka dan ujian,
"Sahabat kalian ini —yaitu Ahmad bin Hanbal— mengatakan bahwa tidak
ada taqiyyah kecuali di negara syirik. Jika pengakuannya yang
mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk hanyalah merupakan upaya tagiyyah
darinya, maka berarti dia
telah melakukan taqiyyah di negeri Islam, dan
ini berarti dia telah membohongi dirinya. Dan jika pengakuannya itu
disertai dengan keyakinan akan kebenaran
apa yang diakuinya itu, maka berarti
dia bukan lagi dari kamu dan kamu juga bukan lagi dari dia. Padahal dia
tidak
melihat pedang yang terhunus, dan
tidak mendapat pukulan yang banyak. Dia hanya dipukul sebanyak tiga
puluh cambukan, sehingga dengan lancar dia
mengatakan apa yang diminta oleh sultan. Padahal dia tidak ditempatkan
di
ruang-an yang sempit, dan tidak
diberati dengan besi."[208]
Juga
turut memperkuat apa yang dikatakan oleh al-Jahidz tentang pengakuan Ahmad bin Hanbal bahwa Al-Qur'an itu
makhluk, apa yang disebutkan oleh
Ya'qubi di dalam kitab tarikhnya. Ya'qubi berkata, "Mu'tashim menguji Ahmad bin Hanbal di dalam
masalah kemakhlukan Al-Qur'an. Ahmad
berkata, 'Saya adalah seorang laki-laki yang
mengetahui suatu ilmu, namun tidak mengatakan demikian dalam masalah ini.' Maka Mu'tashim pun menghadirkan beberapa
orang fukaha untuknya, maka
Abdurrahman bin Ishaq dan yang lainnya
pun berdialog dengannya. Ahmad bin Hanbal tetap tidak mau mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, sehingga akhirnya
dia dipukul dengan beberapa
kali cambukan. Ibnu Ishaq berkata, 'Biar saya,
ya Amirul Mukminin, yang berdialog dengannya.' Mu'tashim berkata, 'Aku serahkan urusan dia kepadamu.' Maka Ibnu Ishaq
berkata, 'llmu yang kamu ketahui ini,
apakah diturunkan oleh malaikat kepadamu atau kamu mengetahuinya dari beberapa
orang?!'
Ahmad menjawab, 'Tentu, saya mengetahuinya dari beberapa
orang.'
Ibnu Ishaq bertanya lagi, 'Apakah kamu ketahui sedikit demi sedikit atau secara sekaligus?'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Saya mengetahuinya sedikit demi sedikit.'
Ibnu
Ishaq bertanya, 'Maka berarti masih ada sesuatu yang tidak kamu ketahui.'
Ahmad bin Hanbal menjawab, 'Masih ada sesuatu yang saya
tidak ketahui.'"
Ibnu
Ishaq berkata, "Dan ini termasuk salah satu perkara yang tidak kamu
ketahui; yang Amirul Mukminin ajarkan kepadamu."
Ahmad
bin Hanbal menjawab, "Saya akan mengatakan apa yang dikatakan
oleh Amirul Mukminin."
Ibnu Ishaq berkata, "Berkenaan dengan kemakhlukan
Al-Qur'an?"
Ahmad
menjawab, "Ya, berkenaan dengan kemakhlukan Al-Qur'an."
Lalu
Ahmad bin Hanbal pun memberikan kesaksian tentang kemakhlukan Al-Qur'an, dan Oleh karena itu, mereka
membebaskannya kembali ke rumahnya.[209]
Pahlawan-Pahlawan Yang Tidak Tunduk Pada Keadaan
1. Ahmad bin Nashr al-Khaza'i, yang terbunuh pada
tahun 231 Hijrah. Dia adalah salah
seorang murid Malik bin Anas. Ibnu Mu'in dan Muhammad bin Yusuf
menceritakan bahwa dia termasuk salah seorang ahli ilmu. Al-Watsiq telah
mengujinya dengan
pertanyaan, apa pendapatmu tentang
Al-Qur'an?
Ahmad bin Nashr al-Khaza'i berkata, "Kalam Allah, dan
bukan makhluk."
Maka al-Watsiq pun memaksanya untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk, namun Ahmad bin Nashr al-Khaza'i
tetap menolaknya. Kemudian
al-Watsiq bertanya lagi kepadanya tentang melihat Allah pada hari kiamat. Ahmad bin Nashr menjawab,
"Ya, Allah SWT dapat dilihat
pada hari kiamat." Lalu dia mengutip hadis-hadis
yang berbicara tentang hal itu.
Al-Watsiq
berkata, "Celaka kamu. Apakah Dia dapat dilihat sebagaimana dapat
dilihatnya jisim yang terbatas dan menempati ruang. Sungguh, Anda telah
kafir dengan mengatakan
Tuhan yang memiliki sifat-sifat
ini."
Manakala Ahmad bin Nashr al-Khaza'I tetap bersikeras dengan
pandangannya, maka Khalifah pun mendatangkan sebilah
pedang yang dijuluki shamshamah (pedang sekali
tebas, karena sangat tajamnya). Khalifah
berkata, "Saya akan membuat perhitungan dengan orang kafir ini, yang
tidak menyembah Tuhan yang kita
sembah, dan mensifati-Nya dengan sifat
yang tidak kita akui. Kemudian Khalifah
berjalan menghampirinya, dan lalu memenggal lehernya.
Selanjutnya Khalifah memerintahkan supaya kepala Ahmad bin Nashr dibawa
ke kota Baghdad. Di sana, kepala Ahmad bin Nashr ditancapkan di sebelah
timur kota
selama berhari-hari, dan kemudian di sebelah barat kota beberapa hari.
Ketika
tubuh Ahmad bin Nashr disalib,
al-Watsiq menulis di atas secarik kertas, dan kemudian menggantungnya
pada kepala Ahmad bin Nashr. Bunyi tulisan
itu sebagai berikut, "Ini adalah kepala Ahmad bin Nashr bin Malik.
Abdullah al-Imam Harun —yaitu
al-Watsiq— telah menyerunya kepada keyakinan kemakhlukan Al-Qur'an dan
penafian tasybih, namun dia bersikeras menolaknya, maka Allah SWT pun
mensegerakan dia ke dalam neraka."[210]
2. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi. Sebagaimana telah
dijelaskan bahwa dia adalah salah seorang murid Imam Syafi’i, dan merupakan
penggantinya yang meneruskan
majlis pelajarannya. Yusuf bin Yahya al-Buwaithi
dibawa dari Mesir ke Baghdad dalam keadaan tubuhnya diberati dengan empat puluh potongan besi. Dia diminta untuk
mengatakan bahwa Al-Qur'an itu
makhluk, namun dia menolaknya.
Dia tetap bersikeras menolak bahwa Al-Qur'an itu makhluk sehingga dia meninggal
dunia di dalam penjara pada tahun 232 Hijrah.
Dan banyak lagi pahlwan-pahlawan lain, yang tidak mungkin dapat disebutkan di sini secara satu persatu, yang
mana mereka lebih teguh dan lebih
keras di dalam memegang keyakinannya dibandingkan Ahmad bin Hanbal. Sungguh
merupakan kezaliman manakala disebutkan
bahwa hanya Ahmad bin Hanbal saja yang mendapat ujian, dan itu dihitung sebagai kepahlawanannya yang terbesar.
Padahal -sebagaimana Anda ketahui- Ahmad
bin Hanbal sama sekali tidak demikian.
Dia justru tunduk dan mau menerima apa yang dikatakan oleh Mu'tashim.
Ahmad Pada Masa Mutawakkil
Ketika
Mutawakkil menduduki puncak kekuasaan, dia mendekati kelompok Ahlul Hadis dan mengintimidasi kelompok Mu'tazilah.
Persis kebalikan pada masa Ma'mun,
Mu'tashim dan al-Watsiq. Mutawakkil
menguji masyarakat tentang kemakhlukan Al-Qur'an. Siapa saja yang mengatakan Al-Qur'an itu makhluk, maka dia
akan disiksa dan dibunuh. Maka
kelompok Ahlul Hadis pun menemukan sasaran
mereka, dan gaung mereka pun menjadi besar. Mereka menempati kedudukan yang tinggi, dan menuntut balas dendam
dari kalangan Mu'tazilah dengan
sekejam-kejamnya.
Ahmad
Amin berkata, "Khalifah Mutawakkil ingin merangkul pendapat umum dan mendapatkan dukungan mereka. Oleh karena
itu, dia pun membatalkan
perkataannya tentang kemakhlukan Al-Qur'an,
membatalkan ujian dan pengadilan, dan menolong para ahli hadis."[211]
Merupakan
keuntungan terbesar bagi Ahmad bin Hanbal manakala dia dekat dengan
Mutawakkil. Karena dia adalah orang yang
masih tersisa dari malapetka "kemakhlukan Al-Qur'an", setelah
pahlawan-pahlawannya dibunuh.
Mutawakkil berpesan kepada para gubernurnya untuk menghormati dan
menghargai Ahmad bin Hanbal. Dia juga bersimpati kepadanya dan
memberikan empat ribu dirham
kepadanya setiap bulan.[212]
Maka bersinarlah bintang Ahmad, dan masyarakatpun berbondong-bondong mendatangi pintu rumahnya, begitu juga
dengan para pejabat pemerintah.
Sebagai gantinya Ahmad mengakui keabsahan
kekhilafahan dan kepemimpinan Mutawakkil serta mewajibkan ketaatan kepadanya. Pemerintah sangat mendukung Ahmad
dan menguatkan posisinya. Ini
tidaklah heran karena Ahmad berpendapat seseorang
wajib taat kepada pemimpin, baik itu pemimpin yang baik maupun pemimpin yang jahat.
Ahmad
berkata di dalam salah satu risalahnya, "Wajib hukumnya mendengar dan
taat kepada para pemimpin dan Amirul
Mukminin, baik yang baik maupun yang
jahat. Baik yang menduduki kekhilafahan
karena kesepakatan manusia dan keridaan mereka kepadanya maupun orang
yang mendudukinya melalui ketazaman pedang dan kemudian disebut sebagai
Amirul Mukminin. Tidak boleh
seorang pun menjelek-jelekan mereka
atau menentangnya. Begitu juga sah hukum-nya membayar zakat kepada
mereka, baik
pemimpin yang baik maupun pemimpin yang
jahat. Demikian juga sah hukumnya salat di belakang mereka. Barangsiapa
yang mengulangi salatnya maka
dia itu pembuat bid'ah dan
penentang sunah.
Barangsiapa
yang memberontak kepada seoarang pemimpin dari para pemimpin kaum
Muslimin, sementara manusia telah sepakat
atasnya dan telah mengakui
kekhilafahannya, baik karena rida maupun karena
terpaksa, maka orang yang memberontak kepadanya berarti telah mematahkan
tongkat kaum Muslimin dan telah menentang peninggalan Rasulullah saw.
Jika orang yang
memberontak itu mati maka dia mati sebagai matinya orang jahiliyyah."[213]
Abu Zuhrah
mengatakan di dalam kitab yang sama, halaman 321, "Ahmad mempunyai pandangan yang sama dengan seluruh
para fukaha tentang sahnya
kepemimpinan orang yang menguasai kepemimpinan
dan kemudian manusia meridainya serta memberlakukan hukum yang sesuai di antara
mereka. Bahkan, Ahmad berpendapat lebih
jauh dari itu. Dia mengatakan bahwa barangsiapa yang menguasai kepemimpinan, meskipun dia seorang yang suka berbuat
maksiat, maka wajib taat kepadanya,
supaya tidak timbul fitnah."
Oleh karena itu, kita mendapati para pengikutnya dari
kalangan salafi dan Wahabi, mereka
menetapkan Husain bin Ali as sebagai seorang
yang durhaka dan wajib dibunuh oleh Yazid, dikarenakan dia telah memberontak kepada pemimpin zamannya. Saya
telah mende-ngar sendiri dengan telinga
saya bagaimana salah seorang dari mereka mendebat
saya dan membela Yazid dengan keras. Dia berkata, "Husain telah memberontak kepada pemimpin zamannya, maka Oleh
karena itu, dia wajib dibunuh."
Lihatlah, betapa orang ini telah bertaklid secara buta kepada orang-orang sebelumnya. Apa nilai Ahmad bin
Hanbal dihadapan Husain bin Ali
as, sehingga saya harus mengatakan apa yang
dikatakannya, melakukan apa yang difatwakannya, dan menuduh Husain bin Ali telah berbuat zalim dan durhaka?!
Jika kita melepaskan diri kita dari taklid buta yang semacam
ini, lalu kemudian kita
merenungi ayat-ayat Al-Qur'an, niscaya yang demikian akan lebih baik dan
lebih dekat kepada kebenaran.
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang
yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka." (QS. Hud: 113)
"Dan janganlah
kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari
mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah
keadaannya itu melewati batas." (QS.
al-Kahfi: 28)
Allah
SWT juga berfirman, "Makajanganlah kamu mengikuti orang-orang yang
mendustakan (ayat-ayat Allah)." (QS. al-Qalam: 8)
Pada ayat yang lain
Allah SWT juga berfirman, "Dan janganlah kamu mentaati perintah orang-orang yang melewati batas." (QS. asy-Syu'ara:
151)
Namun
mereka telah meninggalkan Al-Qur'an, dan berhujjah dengan riwayat-riwayat yang dibuat oleh para penguasa Bani
Umayyah, supaya manusia tunduk
kepada kekuasaan mereka. Ahlul Bait telah menolak hadis-hadis ini dengan hadis-hadis yang benar dan
sejalan dengan Al-Qur'an serta
selaras dengan ruh Islam.
Imam
Ja'far ash-Shadiq as berkata, "Barangsiapa yang suka kelangsungan hidup orang-orang yang zalim maka berarti
dia suka Allah didurhakai." Di
samping perkataan ini merupakan hadis, dia juga merupakan dalil akal yang kokoh. Karena hadis ini melihat
bahwa barangsiapa yang tunduk dan
taat kepada orang yang zalim serta tidak melakukan
penentangan terhadapnya maka berarti dia suka tetap berlangsungnya kedurhakaan kepada Allah. Allah SWT berfirman,
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (QS.
al-Maidah: 44)
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."
(QS. al-Maidah: 45)
"Barangsiapa
yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasih.
" (QS. al-Maidah: 47)
Di
samping ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat-riwayat yang memerintahkan kepada amar makruf dan nahi munkar. Oleh karena
itu, tatkala Husain bin Ali as
hendak melakukan perlawanan terhadap thagut
pada zamannya dia berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya Rasulullah saw
telah bersabda, 'Barangsiapa yang melihat seorang penguasa zalim yang menghalalkan apa yang telah diharamkan
Allah, melanggar perjanjian Allah, menentang sunah Rasulullah, dan berbuat dosa dan permusuhan terhadap hamba-hamba Allah, lalu
dia tidak berusaha untuk merubahnya
dengan perkataan dan perbuatan, maka Allah
berhak untuk memasukkannya ke dalam tempat masuk penguasa zalim tersebut. Ingatlah, sesungguhnya mereka itu telah
mendawamkan ketaatan kepada setan,
meninggalkan ketaatan kepada Tuhan, menimbulkan
kerusakan, membekukan hukum, memonopoli pampasan perang, serta menghalalkan apa yang telah Allah haramkan
dan mengharamkan apa yang telah
Allah halalkan, padahal aku lebih berhak
dari selainku."[214]
Namun,
apa yang harus kita katakan kepada orang yang telah meninggalkan para Imam Ahlul Bait dan menggantinya dengan para
imam buatan yang tidak Allah SWT
perintahkan kepada kita untuk mentaatinya.
Allah SWt berfirman,
"Dan mereka
berkata, 'Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah
mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu
mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar. Ya Tuhan kami,
berilah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan
yang besar.'" (al-Ahzab: 67 - 68)
Sungguh besar kejahatan terhadap umat Islam yang telah
dilakukan oleh para penguasa
Bani Umayyah, dengan membuat hadis-hadis palsu
ini. Begitu juga, betapa besar dosa dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal ini. Betapa fatwa ini
telah mengecewakan generasi revolusioner Islam yang menolak kezaliman dan kediktatoran pada abad yang digambarkan sebagai abad
kebangkitan dan pencerahan ini. Jika di
sana terdapat kejahatan yang telah dilakukan
oleh sekelompok pemuda yang bergabung di bawah bendera ajaran komunis, maka kejahatan terbesar justru dilakukan
oleh para ulama jahat.
Fikih Ahmad bin Hanbal
Sudah dikenal bahwa Ahmad bin Hanbal adalah seorang ahli
hadis dan bukan seorang fakih.
Para pengikutnya telah mengumpulkan sebagian
pendapatnya yang beraneka ragam, yang dinisbahkan kepadanya, dan kemudian menjadikannya sebagai sebuah mazhab fikih.
Oleh karena itu, kita mendapati kumpulan
hukum fikih yang dinisbahkan kepada
Ahmad bin Hanbal bermacam-macam dan saling bertentangan. Di samping perbedaan mereka di dalam menafsirkan maksud dari
beberapa ungkapan, yang darinya tidak
dapat dipahami hukum agama dalam suatu masalah. Seperti ungkapan "la yanbaghi" (tidak
selayaknya), apakah ungkapan ini
dimaksudkan untuk menunjukkan hukum haram
atau hukum makruh. Demikian juga ungkapan "yu'jibuni"
(membuat saya kagum) dan ungkapan "la yu 'jibuni" (tidak
membuat saya kagum), serta
ungkapan "akrohuhu" (saya membencinya) dan ungkapan "uhibbuhu" (saya menyukainya).
Di
samping itu, Ahmad juga tidak mengaku dirinya termasuk ahli fikih. Bahkan, dia menghindarkan diri dari
mengeluarkan fatwa. Khatib berkata
dengan disertai sanadnya, "Saya pernah berada di samping Ahmad. Lalu seorang laki-laki bertanya kepadanya
tentang halal dan haram. Ahmad
berkata kepadanya, 'Tanyalah kepada orang lain selain kami.' Orang itu berkata,
'Kami hanya menginginkan jawaban darimu, wahai
Aba Abdillah.' Ahmad tetap berkata, 'Tanyalah kepada selain kami. Tanyalah para fukaha, dan tanyalah Abu
Tsaur.'"[215]
Dia tidak menganggap dirinya termasuk
ke dalam kelompok para fukaha.
Al-Marwazi
berkata, "Saya mendengar Ahmad berkata, 'Adapun tentang hadis, kami telah beristirahat darinya; sedangkan
mengenai masalah-masalah fikih, saya
telah bertekad, jika saya ditanya tentang sesuatu maka saya tidak akan menjawab.'"[216]
Khatib
menyebutkan sekaligus dengan sanadnya, bahwa dia mendatangi Ahmad bin Harb (seorang zuhud dari Naisabur) yang
datang dari Mekkah. Lalu Ahmad
bin Hanbal berkata kepada saya, "Siapa orang Khurasan yang datang ini?"
Saya jawab, "Dia adalah orang zuhud yang begini begini."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Tidak layak bagi seseorang
yang mengklaim sifat zuhud
memasukkan dirinya ke dalam urusan pemberian
fatwa.'"[217]
Inilah kebiasaannya. Dia tidak masuk ke dalam urusan
pemberian fatwa. Bahkan dia memandang urusan pemberian fatwa tidak sejalan dengan sifat zuhud. Bagaimana mungkin dari orang yang
seperti ini memiliki fikih atau mazhab
yang diikuti di dalam urusan-urusan ibadah?!
Abu
Bakar al-Asyram —murid Ahmad bin Hanbal—
berkata, "Dahulu saya hafal
fikih dan perbedaan-perbedaannya, namun sejak saya menyertai Ahmad saya meninggalkan semuanya itu."
Ahmad bin Hanbal berkata, "Janganlah kamu berkata
tentang suatu masalah yang kamu
tidak mempunyai imam di dalamnya."[218]
Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, "Janganlah kamu
memberikan fatwa meski pun di tanganmu
ada hadis, kecuali jika kamu mempunyai
imam tempat kamu bersandar di dalam fatwa ini."
Ahmad
bin Hanbal juga tidak melihat perlunya dilakukan tarjih
(menguatkan yang satu atas yang lain)
di antara perkataan-perkataan para
sahabat, jika mereka berselisih di dalam suatu masalah. Dia malah berpendapat silahkan Anda mengikuti mana yang Anda
suka. Inilah jawaban yang diberikannya
kepada Abdurrahman ash-Shair tatkala Abdurrahman ash-Shair
bertanya kepadanya, "Apakah mungkin dilakukan
tarjih di antara perkataan-perkataan para sahabat?"
Orang yang melarang dilakukannya tarjih
dan mengambil perkataan yang paling maslahat adalah orang yang paling jauh
dari ijtihad. Salah satu bukti yang
menunjukkan akan tidak adanya mazhab fikih Ahmad bin Hanbal ialah, banyak dari kalangan para sahabatnya
yang fanatik kepadanya berselisih berkenaan dengan mazhab fikih mereka.
Apakah
mereka itu orang-orang Hanafi atau orang-orang Syafi’i? Seperti Abul
Hasan al-Asy'ari, manakala dia meninggalkan
paham Mu'tazilah dan menjadi
seorang Hanbali, dia tidak dikenal sebagai orang yang memeluk agama
Allah dengan fikih Hanbali.
Demikian juga halnya dengan Qadhi al-Baqalani, yang tadinya seorang
Maliki. Begitu juga dengan Abdullah al-Anshari al-Harawi, yang
wafat pada tahun 481 Hijrah, yang
mengatakan,
"Aku
adalah Hanbali
selama aku hidup dan sesudah aku mati
Pesanku
kepada manusia,
hendaknya
mereka menjadi orang-orang Hanbali."
Meski pun dia begitu fanatik kepada Ahmad bin Hanbal, namun di dalam fikih dia mengikuti jalan Ibnu Mubarak.
Inilah yang banyak dikenal dari
orang-orang sezaman dengannya dan dari orang-orang yang dekat dengan masanya. Orang-orang yang menisbahkan
dirinya kepadanya adalah
orang-orang yang menisbahkan dirinya dalam bidang keyakinan, bukan dalam bidang fikih.
Di samping itu, di
dalam risalahnya Ahmad bin Hanbal melarang penggunaan ra'yu, qiyas dan istihsan,
dan meletakkan orang-orang yang meyakini qiyas ke dalam deretan orang-orang
Jahmiyyah, Qadhariyyah
dan rafidhah (Syi'ah). Dia juga menyerang pribadi Abu Hanifah. Meski pun demikian, penggunaan qiyas telah
dimasukkan ke dalam fikih Hanbali. Inilah
yang menjadikan kita curiga bahwa Ahmad bin
Muhammad bin Harun (Abu Bakar al-Khalal), yang wafat pada tahun 311 Hijrah,
yang merupakan perawi dan penukil fikih Hanbali, tidak amanah di dalam melakukan penukilan. Dia melakukan
pencampuran di dalam penukilannya. Terlebih lagi bahwa Ahmad bin Muhammad bin Harun tidak hidup sezaman dengan Ahmad
bin Hanbal. Ahmad bin Muhammad bin
Harun telah mengumpulkan berbagai macam
masalah fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad bin Hanbal. Kecurigaan ini pun
dikuatkan oleh adanya perselisihan riwayat yang hebat di dalam
perkataan-perkataan Ahmad, sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya kepada Ahmad bin Hanbal.
Abu Zuhrah berkata, "Sesungguhnya fikih yang ternukil
dari Ahmad bin Hanbal, saling
berlawanan sedemikian rupa perkataan-perkataannya sehingga sulit bagi akal untuk menisbahkan seluruhnya
kepadanya. Bukalah kitab mana saja dari
kitab-kitab Hanbali, dan bab mana saja dari bab-babnya, niscaya Anda akan
mendapati dia tidak terbebas dari beberapa masalah yang riwayat-riwayatnya
saling berlawanan, antara 'tidak' dan
'ya'."[219]
Mazhab fikih Hanbali tidaklah jelas bagi bagi orang-orang
yang hidup sezaman dengannya,
dan memang tidak ada; dia tidak lebih hanya
semata-mata mazhab buatan yang disebarkan dengan kekerasan dan pemaksaan
oleh para pengikut Hanbali. Seperti yang
terjadi di kota Baghdad, yang
sebelumnya dikuasai oleh mazhab Syi'ah. Sedangkan di luar kota Baghdad
mazhab ini tidak dikenal. Pada abad
ketujuh, hanya beberapa orang saja
yang memeluk mazhab ini di Mesir. Namun, tatkala
Muwaffaquddin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Malik al-Hijazi menduduki
posisi jabatan kehakiman, yang wafat pada
tahun 769 Hijrah, maka mazhab Hanbali
pun tersebar dengan perantaraannya.
Dia mendekati para fukaha mazhab Hanbali dan meninggikan kedudukan
mereka. Sedangkan di daerah-daerah lain nama
mazhab Hanbali tidak banyak
disebut. Ibnu Khaldun memberikan analisa tentang
hal itu, "Adapun Ahmad, jumlah mukallidnya sedikit, dikarenakan
mazhabnya jauh dari ijtihad." Sebagaimana
yang dia sebutkan di dalam kitabnya al-Muqaddimah. Orang-orang Hanbali
tidak menemukan jalan untuk menyebarluaskan mazhab
mereka kecuali dengan kekacauan dan
melakukan pemukulan terhadap orang di jalan-jalan, sehingga menggoyahkan
stabilitas yang ada di kota Baghdad. Maka keluarlah maklumat dari
Khalifah ar-Radhi
yang menyalahkan tindakan mereka dan
mengecam mereka karena keyakinan mereka tentang tasybih (penyerupaan
Allah dengan makhluk). Beberapa peng-galan dari maklumatnya berbunyi
sebagai berikut,
"Kalian mengira wajah kalian yang
buruk serupa dengan Tuhan semesta alam, dan bentuk kalian yang jelek
serupa dengan bentuk-Nya. Kalian
juga menyebutkan telapak tangan,
jari jemari, dua kaki naik
ke langit dan turun ke dunia.
Mahatinggi Allah dari segala sesuatu yang dikatakan oleh orang-orang
yang zalim
dan kufur."[220]
Maka demikianlah
keadaan mazhab Hanbali. Mereka tidak mempunyai
banyak pengikut. Orang-orang lari dari mereka disebabkan keyakinan-keyakinan yang mereka miliki tentang Allah dan
penyerupaan yang mereka lakukan
terhadap Allah dengan makhluk-Nya. Mereka mensifati Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya. Mazhab ini tidak menemukan
kesempatan yang cukup untuk menyebarkan ajarannya,
hingga datanglah mazhab Wahabi di bawah pimpinan Muhammad bin Abdul Wahab, yang dibangun di atas garis mazhab
Hanbali. Penguasa Keluarga Su'ud
membantu Muhammmad bin Abdul Wahab
menyebarkan mazhabnya dengan ketazaman pedang, pada awalnya, dan melalui aliran
uang rial, pada akhirnya. Sungguh sangat disayangkan, banyak sekali manusia
yang berpegang kepada fikih Hanbali
dengan tanpa mempunyai alasan kecuali hanya bersandar kepada kata-kata "Sesungguhnya
kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama
dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak
mereka."
Jika tidak demikian, maka mau tidak mau mereka harus membuktikan
argumentasi-argumentasi mereka di dalam tiga
hal: Pertama, tentang kedudukan Ahmad bin
Hanbal sebagai fakih. Kedua, bahwa fikih yang dinisbahkan kepada Ahmad
bin
Hanbal tidak dipalsukan. Dan
yang ketiga, mereka harus membuktikan dalil yang kuat yang menunjukkan
wajibnya mengikuti Ahmad bin Hanbal.
Karena jika tidak, maka itu tidak lain hanya mengikuti
sesuatu berdasarkan sangkaan. Padahal
sesungguhnya sangkaan itu tiada memberikan faidah sedikit pun terhadap
kebenaran. Di samping itu, orang-orang yang fanatik kepada Ahmad bin
Hanbal pun, seperti
Ibnu Qutaibah, tidak menyebut Ahmad
ke dalam kelompok para fukaha. Jika memang dia seorang fakih dan
mujtahid maka tentu Ibnu Qutaibah tidak akan mengurangi haknya. Demikian
juga Ibnu Abdul Barr
tidak menyebut namanya manakala dia
menyebut nama-nama para fukaha di dalam kitabnya al-Intiqa.
Begitu juga Ibnu Jarir ath-Thabari,
penulis kitab tafsir dan tarikh, dia
tidak menyebut nama Ahmad bin Hanbal di dalam
kitabnya Ikhtilaf al-Fuqaha. Ibnu Jarir ath-Thabari ditanya tentang hal
itu. Dia menjawab, "Ahmad bukan seorang
fakih melainkan seorang muhaddis, dan
saya tidak melihat dia mempunyai para sahabat tempat dia bergantung."
Para
pengikut Hanbali merasa tersinggung
dengan ucapan Ibnu Jarir ath-Thabari lalu mengatakan, "Dia itu (Ibnu
Jarir) seorang rafidhi.
Tanyalah kepadanya tentang hadis 'duduk di atas 'arasy', niscaya dia
akan mengatakan,
'Sesungguhnya itu mustahil.'"
Kemudian ath-Thabari membacakan syair,
"Mahasuci Zat yang tidak
mempunyai teman
dan tidak duduk di atas 'arasy."
Maka
mereka pun melarang orang-orang untuk duduk dan datang menemui ath-Thabari. Mereka melontarkan tuduhan terhadapnya
di mihrab-mihrab mereka. Ketika
ath-Thabari sedang berada di rumahnya,
mereka melemparinya dengan batu sehingga batu itu bertumpuk.[221]
Ini menunjukkan kefanatikan dan penyimpangan para pengikut
Hanbali di dalam menyebarkan mazhab mereka, yang tidak diakui oleh para ulama. Syeikh Abu Zharah berkata,
"Banyak dari kalangan orang-orang terkemuka tidak menghitung Ahmad
termasuk ke dalam kelompok fukaha,
seperti Ibnu Qutaibah, yang sangat dekat sekali dengan masa Ahmad, Ibnu Jarir ath-Thabari dan yang lainnya.
▪▪▪▪
PENUTUP
Setelah
kita menjelaskan madrasah-madrasah fikih di kalangan Ahlus Sunnah, tampak jelas bagi kita bahwa tidak ada
kelebihan yang dimiliki mazhab-mazhab ini
atas mazhab-mazhab yang lainnya, sehingga
bisa tersebar ke seluruh dunia Islam, sekiranya para penguasa tidak menetapkan para Imam mazhab yang empat sebagai
satu-satunya sumber rujukkan fikih.
Karena penguasa yang sedang berkuasa tidak mungkin memerangi agama, bahkan sebaliknya mereka menolong
dan mendekati para ulama, namun
dengan syarat bahwa ajaran-ajaran mereka
tidak mengganggu kepentingan-kepentingan kekuasaan. Sehingga
dengan demikian, kedudukan seorang penguasa berada di atas yang lainnya.
Oleh karena itu, kita mendapati mazhab yang empat telah
dipilih oleh para penguasa dari
sekian ratus mazhab yang ada, dan mereka mendapat
pengampunan dan keridaan sultan. Para penguasa mendudukkan para murid
mazhab-mazhab tersebut pada jabatan kehakiman dan menjadikan urusan agama
berada di tangan mereka. Kemudian mereka
menyebarkan mazhab-mazhab pendahulu mereka yang sesuai dengan keinginan penguasa. Sebagaimana yang telah dijelaskan
di atas.
Kebijaksanaan pada masa kekuasaan al-Muntashir al-Abbasi menetapkan keharusan berpegang kepada perkataan
tokoh-tokoh terdahulu, dan tidak boleh
sebuah perkataan disebutkan bersama perkataan mereka. Sementara para ulama di seluruh negeri memberi fatwa
akan wajibnya mengikuti mazhab yang empat dan mengharamkan mazhab yang lainnya, serta menutup pintu ijtihad.
Ahmad Amin berkata,
"Penguasa mempunyai peranan yang besar di dalam memenangkan
mazhab-mazhab Ahlus Sunnah. Biasanya, jika sebuah pemerintahan yang kuat
mendukung sebuah
mazhab maka orang-orang akan mengikuti
mazhab tersebut. Mazhab tersebut akan terus
berkuasa sampai lenyapnya pemerintahan yang mendukungnya."[222]
Setelah semua penjelasan ini, apakah masih ada orang yang
berargumentasi tentang wajibnya mengikuti
mazhab yang empat?!
Apakah memang ada dalil yang mengatakan bahwa mazhab hanya terbatas pada mazhab yang empat?!
Jika di sana tidak ada dalil yang menunjukkan tentang
wajibnya berpegang kepada mereka, apakah itu berarti
Allah dan Rasul-Nya telah lalai akan masalah ini, dan tidak menjelaskan kepada
mereka tentang dari mana seharusnya mereka
mengambil agama mereka dan syariat hukum mereka?!
Mahasuci Allah dari membiarkan makhluk-Nya dengan tanpa menjelaskan
kepada mereka hukum-hukum mereka dan jalan yang akan menyelamatkan
mereka. Allah SWT telah
menjelaskan melalui lidah Rasulullah
saw dan telah menegakkan hujjah akan wajibnya mengikuti 'itrah
Rasulullah saw. Akan tetapi, manakala 'itrah Rasulullah
saw yang suci menentang para penguasa
zalim yang sezaman dengan mereka dan juga orang-orang yang merampas
hak-hak
mereka, maka para penguasa berusaha
memalingkan manusia dari mereka dan melarangnya untuk berpegang kepada
mereka. Karena, manusia kebanyakan hanya
mengikuti orang yang keras suaranya. Mereka akan bergerak ke arah mana
pun angin bergerak. Mereka tidak mencari sinar
dengan cahaya ilmu dan tidak berlindung kepada pilar yang kokoh.
Sebaliknya, Anda
dapat melihat kepada madrasah Ahlul Bait —Syi'ah— yang
tidak memerlukan para penguasa untuk mencemerlangkan para fukahanya. Bahkan mereka berpegang teguh kepada
apa yang telah dikatakan oleh
Rasulullah saw, "Sesungguhnya aku tinggalkan
padamu dua benda yang sangat berharga, yaitu Kitab Allah dan 'itrah Ahlul Baitku. Sesungguhnya Zat yang
Mahatahu telah memberitahukan aku
bahwa keduanya tidak akan pernah berpisah hingga keduanya menemuiku di telaga."
Mereka
berpegang kepada 'itrah Rasulullah saw dan mengambil agama dan pemikiran mereka darinya. Mereka tidak menyalahi
Ahlul Bait Rasulullah dan tidak mendahuluinya, serta
mereka tidak membutuhkan kepada yang lain
untuk memberikan fatwa. Mereka hanya mengambil
dari orang-orang yang perkataannya berasal dari perkataan datuknya, dan perkataan datuknya adalah perkataan
Rasulullah saw, serta perkataan
Rasulullah saw adalah perkataan Jibril, dan perkataan Jibril adalah
perkataan Allah SWT.
Seorang
penyair berkata,
"Jika engkau ingin mencari mazhab
untuk dirimu
yang akan membebaskan kamu pada hari
kebangkitan
dari nyala api neraka
maka
tinggalkanlah olehmu perkataan Syafi’i, Malik dan
Ahmad, yang
diriwayatkan dari Ka'ab al-Ahbar
dan berpeganglah
kepada orang-orang yang perkataan
dan ucapannya, 'Datuk kami telah meriwayatkan dari
Jibril, dari al-Bari (Pencipta).'"
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)