Wednesday, October 22, 2014

Aqidah Syi'ah Soal Penting/Tidaknya Imamah


Berikut ini dijelaskan secara ringkas aqidah khas madzhab Syiah, yakni Imamah. Di sini madzhab Syiah berkeyakinan jika Nabi saw ma’shum maka para Imam wajib memiliki bersifat ma’shum. Jika ke-ma’shum-an Nabi saw adalah anugrah Allah maka ke-ma’shum-an para Imam adalah upaya para Imam untuk selalu bisa memelihara diri dari perbuatan dosa dan penganut madzhab Syiah percaya bahwa para Imam mampu memelihara diri dari dosa sebagai syarat wajib bersifat ma’shum. Selanjutnya dijelaskan secara ringkas konsep imamah sampai mengenai ucapan para Imam yang diyakini sanadnya selalu bersambung pada Nabi saw.

I.      Keniscayaan Imamah

Syi’ah meyakini bahwa kebijaksanaan Tuhan (al-hikmah al-ilahiah) menuntut perlunya pengutusan para rasul untuk membimbing umat manusia. Demikian pula mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Tuhan juga menuntut perlunya kehadiran seorang imam sesudah meninggalnya seorang rasul guna terus dapat membimbing umat manusia dan memelihara kemurnian ajaran para nabi dan agama Ilahi dari penyimpangan dan perubahan. Selain itu, untuk menerangkan kebutuhan-kebutuhan zaman dan menyeru umat manusia ke jalan serta pelaksanaan ajaran para nabi. Tanpa itu, tujuan penciptaan, yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan, al-takamul wa al-sa’adah, sulit dicapai, karena tidak ada yang membimbing, sehingga umat manusia tidak tentu arah dan ajaran para nabi menjadi sia-sia.
Oleh karena itu kami meyakini bahwa sesudah Nabi Muhammad saw, ada seorang imam untuk setiap masa.
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah:119)
Ayat ini tidak berlaku untuk satu masa saja, tapi untuk seluruh zaman. Seruan agar orang- orang beriman bergabung dalain barisan orang-orang benar, al-shadiqin, pertanda adanya imam maksum yang harus diikuti pada setiap zaman, sebagaimana disebutkan oleh banyak mufassir Sunni dan Syi’ah terhadap makna ayat ini.

II.    Hakikat Imamah

Syi’ah meyakini bahwa imamah bukan sekedar jabatan politik atau kekuasaan formal, tetapi sekaligus sebagai jabatan spiritual yang sangat tinggi. Selain menyelenggarakan pemerintahan Islam, Imam bertanggung jawab membimbing umat manusia dalain urusan agama dan dunia mereka. Imam juga membimbing pikiran dan rohani masyarakat. Memelihara syariat Nabi Muhammad saw agar tidak menyimpang atau berubah serta memperjuangkan tercapainya tujuan pengutusan Nabi Muhammad saw.
Jabatan tinggi ini diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as setelah Ibrahim melewati fase kenabian dan nsalah, dan setelah lulus dan sejumlah ujian berat. Ibrahim as. meminta kepada Allah agar jabatan ini diberikan juga kepada sebagian keturunannya, tetapi Allah menegaskan kepada Ibrahim bahwa orang-orang zalim dan para pendosa tidak akan mencapai posisi mi.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji  Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:124)
Jelas sekali bahwa kedudukan yang demikian tinggi ini tidak dapat diterjemahkan sebagai jabatan pemerintahan formal. Dengan demikian, jika imamah tidak diterjemahkan sebagaimana yang telah kami gambarkan di atas, maka ayat di atas tidak mempunyai pengertian yang jelas.
Syi’ah meyakini bahwa para nabi utama, ulul-azmi, terutama Nabi Muhammad saw, adalah sekaligus sebagai imam-imam yang memiliki otoritas kepemimpinan spiritual ruhaniah dan kepemimpinan formal material. Dengan demikian, Nabi Muhammad saw tidak sekedar menyampaikan ajaran Allah, tapi sekaligus memimpin umat manusia, dan jabatan imamah ini diberikan kepada Nabi saw sejak awal kenabiannya.
Syi’ah juga meyakini bahwa garis imamah sesudah Rasulullah saw dilanjutkan oleh orang-orang suci dan dzuriyatnya, keturunannya.
Dan batasan di atas mengenai imamah tampak bahwa untuk mencapai kedudukan ini dituntut syarat-syarat yang sangat berat, baik dari sisi taqwa, yaitu telah mencapai tingkat ishmah, terpelihara (mampu memelihara diri, peny)  dari perbuatan-perbuatan dosa, maupun dari sisi ilmu dan pengetahuan yang mencakup seluruh bidang pengetahuan dan aturan agarna serta pengetahuan tentang manusia dan kebutuhannya untuk setiap zaman.

III.  Keterpeliharaan Imam dari Dosa dan Kesalahan

Syi’ah meyakini bahwa seorang imam wajib bersifat ma’shum, terpelihara dari perbuatan dosa dan kesalahan, karena, disamping makna ayat di atas, seorang yang tidak maksum tidak dapat dipercaya sepenuhnya untuk diambil darinya prinsip-prinsip agama maupun cabang-cabangnya. Oleh karena itu Syi’ah meyakini bahwa ucapan seorang imam maksum, perbuatan, dan persetujuannya, adalah hujjah syar’iyyah, kebenaran agama, yang mesti dipatuhi.
Yang Syi’ah maksud dengan persetujuan imam maksum atau taqrir al-Ma’shum ialah sang imam tidak menegur suatu perbuatan yang berlangsung di hadapannya, bahkan membiarkannya saja.

IV.  Imam Pemelihara Agama

Syi’ah meyakini bahwa seorang imam tidak membawa syariat baru. Kewajibannya hanyalah menjaga agama Islam, memperkenalkan, mengajarkan, menyampaikannya, dan membimbing manusia kepada ajaran-ajaran yang luhur.
Syi’ah meyakini bahwa seorang imam harus menguasai dan memiliki pengetahuan yang utuh terhadap semua pokok agama Islam, cabang-cabangnya, hukum, peraturan, dan tafsir al-Quran. Pengetahuan ini bersifat rabbani, suci dan di dapat dan Nabi saw, supaya sang imam mendapat kepercayaan penuh dan umat dan dapat diandalkan dalain memahami hakikat Islam.

V.    Nash atas Imam

Syi’ah rneyakini bahwa seorang imam, penerus Rasulullah saw, harus ditetapkan melalui nash atau pengangkatan yang jelas oleh Rasulullah saw atau oleh imam sebelumnya. Dengan kata lain, seorang imam, seperti halnya Nabi saw, ditetapkan oleh Allah Swt, tetapi melalui Nabi saw, sebagaimana keterangan al-Quran dalain pengangkatan Ibrahim as sebagai imam:
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji  Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah:124)
Dalain pada itu, penentuan tingkat taqwa, seseorang telah mencapai tingkat ishmah dan telah mencapai tingkat pengetahuan seluruh hukum dan ajaran Allah Swt tanpa ada kesalahan sedikitpun tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karena itu, penentuan bahwa seseorang telah mernenuhi sifat ishmah datangnya dan Rasulullah saw.
Dengan demikian, Syi’ah meyakini bahwa keimaman para imam maksum tidak diperoleh melalui pemilihan masyarakat.

VI.  Penetapan para Imam oleh Nabi saw

Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammmad saw-lah yang telah menetapkan para imam sesudahnya, sebagaimana yang telah dilakukannya dalain hadits populer al-tsaqalain. Diriwayatkan dalain Shahih Muslim bahwa suatu hari Nabi berpidato di sebuah oase yang bemama Khum, terletak antara Mekkah dan Madinah. Nabi saw bersabda:
“. .. Aku hanyalah seorang manusia, yang jika utusan Tuhanku datang kepadaku akan kupenuhi. Aku tinggalkan pada kalian dua pusaka yang berat. Pertama, kitab Allah. Di dalainnya terdapat petunjuk dan cahaya… (Kedua) Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada Allah tentang Ahlubaitku. Aku ingatkan kamu pada A.llah tentang Ahlubaitku.”  (Shahih Muslim, 4: 1873)
Hadis yang sama juga diriwayatkan dalain Shahih Turmuzi. Bahkan pada Shahih Turmuzi terdapat pernyataan tegas Nabi saw yang mengangkat imam sesudahnya dan lingkungan keluarganya. Demikian pula hadis-hadis yang diriwayatkan dalain Sunan al-Darimi, Khasaish al-Nasai, Musnad Ahmad, dan sumber-sumber utama Islam terkenal lainnya.
Hadits Tsaqalain atau hadis Dua Pusaka ini sedikitpun tidak dapat diragukan kebenarannya, oleh siapa saja, karena la terrnasuk hadits mutawatir yang tidak dapat diingkan atau dipersoalkan kebenarannya oleh seorang muslim. Oleh karena itu, dan beberapa riwayat dapat dilihat betapa Nabi saw telah mengulangi hadis ini berkali-kali dan di berbagai tempat yang berbeda.
Tentu saja tidak semua kerabat Nabi memangku jabatan tinggi ini, sebagai pendamping al-Quran. Dengan demikian, maka yang dimaksud hanyalah para imam maksum dari dzuriyat Rasul saw.
Perlu disebutkan di sini bahwa dalam beberapa riwayat terdapat redaksi “Sunnati” atau Sunnahku sebagai ganti dari redaksi “Ahlubaiti”, Ahlubaitku. Akan tetapi riwayat ini dhaif, diragukan kebenarannya, dan tidak dapat diandalkan.
Pada sisi lain, terdapat hadis lain yang populer dan sahih, yang diriwayatkan oleh banyak kitab hadis utama seperti: Sahih Bukhari, Muslim, Turmuzi, Abu Daud, Musnad Ibn Hanbal, bahwa Nabi saw bersabda:
“Agama ini akan terus tegak hingga datangnya hari kiamat atau datang kepada kamu dua belas orang khalifah, (imam) semuanya berasal dan suku Quraisy.”  (Muslim, III, h. 1453, Bukhari, m, h. 101, Turmuzi, IV, h. 501 dan Abu Daud, IV, bab al-Mahdi)
Syi’ah meyakini bahwa tidak ada tafsiran yang paling tepat mengenai dua belas Imam yang dimaksud Nabi pada hadis di atas kecuali apa yang diyakini oleh kaum Syi’ah Imamiyyah. Ya, apakah ada tafsiran lain yang lebih tepat? Tidak ada. Renungkan!

VII.    Pengangkatan Ali oleh Nabi saw

Syi’ah meyaikini bahwa Nabi Muhainmad saw, atas perintah Allah, telah menunjuk dan mengangkat ‘Ali as sebagai khalifah sesudahnya. Ia lakukan itu berkali-kali dan dalain berbagai kesempatan yang berbeda. Di Ghadir Khum, dekat dengan Juhfah, misalnya, Nabi saw membacakan khutbahnya yang sangat populer di depan para sahabatnya, sepulangnya dari menunaikan Haji Wada’. Nabi bersabda:
Wahai manusia! Bukankah aku lebih utama atas dirimu daripada kamu sendiri? Mereka berkata: “Betul”. Nabi melanjutkan:  “Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maulahu, maka ‘Ali adalah pemimpinnya. “
Karena kami tidak bermaksud menguraikan masalah ini panjang lebar atau melakukan argumentasi terhadap keyakinan ini, kiranya cukup dengan mengatakan bahwa adalah mustahil kita lewati hadis di atas begitu saja atau menafsirkannya sebatas pada cinta kepada ‘Ali, padahal Nabi saw begitu memperhatikan masalah ini.
Bukankah hadis di atas sesuai dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Atsir dalain kitabnya al-Kamil bahwa di awal kenabiannya, atas penntah Allah:
“Dan berilah peringatan kepada keluarga dekatmu.” (QS. Asy-Syu’araa’: 214)
Nabi Muhammad saw mengumpulkan segenap keluarganya dan menawarkan kepada mereka agama Islarn. Pada kesempatan itu Nabi bersabda:
Siapakah di antara kamuyang bersedia membantuku dalain urusan ini sehingga ia menjadi saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu. Tidak seorang pun yang menyambutnya kecuali ‘Ali yang berkata kepada Nabi saw: Aku wahai Nabi Allah yarig akan membantumu
Kemudian Nabi bersabda: “Inilah (‘Ali) saudaraku, washiku, dan khalifahku pada kamu.”
Bukankah ini pula yang diinginkan Rasulullah saw pada saat-saat terakhir kehidupannya, sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari bahwa Rasulullah saw berkata:
“Bawakan aku kertas supaya aku tuliskan buat kamu wasiat yang dengannya kamu tidak akan sesat sesudahku nanti”  (Sahih Bukhari, V, hal. 11, Muslim, III, hal. 1259)
Sekali lagi, tujuan penulisan buku ini hanya sekedar menguraikan aqidah dengan sedikit dalil; kalau tidak, tentu berbeda penguraiannya.

VIII.  Penegasan Tiap Imam atas Imam Sesudahnya

Syi’ah meyakini bahwa setiap imam dari dua belas imam telah diangkat dengan tegas, nash, oleh imam sebelumnya. Imam pertama adalah ‘Ali Ibn Abi Thalib, kemudian secara berturut-turut, (2) Hasan Ibn ‘Ali al-Mujtaba, (3) Husain Ibn ‘Ali Sayyidus- syuhada, penghulu para syuhada, (4) ‘Ali Ibn Husain, (5) Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir, (6) Ja’far Ibn Muhammad al-Shadiq, (7) Musa Ibn Ja’far, (8) ‘Ali Ibn Musa al-Ridha, (9) Muhammad Ibn ‘Ali al-Taqi, (10) ‘Ali Ibn Muhammad al-Naqi (11) Hasan Ibn ‘Ali al- Askari, dan terakhir, (12) Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi. Syi’ah meyakini bahwa Imam Muhammad Ibn Hasan al-Mahdi masih hidup.
Keyakinan kepada Imam Mahdi yang akan memenuhi dunia dengan keadilan setelah dipenuhi dengan kezaliman dan kekejaman tidak terbatas pada kaum Syi’ah saja, tetapi seluruh kaum Muslirnin. Untuk itu banyak ulama Ahlussunnah yang menulis buku tentang kemutawatiran hadis-hadis tentang Imam Mahdi ini. Bahkan Rabithah Alain Islarni pemah mengeluarkan nsalah yang menyatakan bahwa kedatangan Imam Mahdi merupakan urusan musallainmat dalain agama atau sesuatu yang tidak dapat ditolak kebenarannya.[5] Rabitah mengutip banyak hadis Nabi tentang al-Mahdi dan kitab-kitab utama. Hanya saja, sebagian ulama Ahlussunnah percaya bahwa al-Mahdi yang dimaksud baru akan lahir di akhir zaman, sementara Syi’ah meyakini bahwa al-Mahdi yang dimaksud adalah imam kedua belas, masih hidup dan akan muncul dengan izin Allah untuk menegakkan keadilan dan mengadili para tiran.
Syi’ah meyakini bahwa ‘Ali adalah sahabat Nabi paling utama. Kedudukannya dalain Islam langsung di bawah Nabi saw. Pada saat yang sama Syi’ah menganggap bahwa sikap ghuluw, berlebih-lebihan kepada ‘Ali haram hukumnya. Dalain pada itu Syi’ah meyakini bahwa menganggap ‘Ali sebagai Tuhan atau serupa dengan itu kafir hukumnya dan keluar dari barisan Muslimin. Syi’ah berlepas diri dari orang dan aqidah semacam itu. Tapi sayang, sebagian pihak terjebak dalain kekeliruan, sehingga menyamaratakan Syi’ah dengan kelompok-kelompok menyimpang ini, padahal ulama-ulama Syi’ah justeru menganggap kelompok ini keluar dan Islam.

IX.  Sahabat di Hadapan Hukum Akal dan Sejarah

Syi’ah meyakini bahwa di antara sahabat Nabi terdapat pnbadi-pribadi agung yang telah disebutkan keutamaannya oleh al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi tidak berarti bahwa semua sahabat tidak ada yang salah atau perbuatan-perbuatan mereka benar semuanya tanpa kecuali. Pada banyak ayat al-Quran, terutama pada surat al-Baraah, al-Nur, dan al- Munafiqin, al-Quran bercerita tentang kaum munafik yang notabene adalah sebagian sahabat itu sendiri, dan mengecam mereka dengan keras, meskipun mereka adalah sahabat Nabi saw. Selain itu, terdapat pula di antara sahabat Nabi, orang yang telah menyulut api fitnah sehingga pecah perang sesama kaum Muslimin sesudah wafat Nabi saw, melanggar baiat yang telah diberikan kepada khalifah, dan menumpahkan darah ribuan kaum Muslimin. Apakah pantas orang-orang seperti itu kita anggap bersih dan suci ?
Dengan kata lain, bagaimana mungkin kita dapat memutuskan kedua belah pihak yang terlibat percekcokan, misalnya pihak-pihak yang terlibat dalain perang Jamal dan Siffin, bahwa semuanya benar? Sungguh keputusan yang kontradiktif dan tidak dapat diterima. Adapun alasan pihak yang dapat menerima sikap kontradiktif ini, yang merujuk kepada persoalan ijtihad, bahwa memang ada yang benar dan ada yang salah, akan tetapi karena kedua-duanya telah mengamalkan ijtihad, maka yang keliru sekalipun, tetap mendapat pahala, karena ia telah melakukan ijtihad. Sedangkan kekeliruannya, dimaafkan. Cara berpikir seperti ini tidak dapat diterima.
Bagaimana mungkin kita dapat membenarkan seseorang yang melanggar baiatnya kepada khalifah Rasulullah dengan alasan ijtihad, tapi kemudian sengaja menyulut api peperangan dan menumpahkan darah orang-orang saleh? Jika dosa penumpahan darah dapat dimaafkan karena alasan ijtihad, itu berarti semua perbuatan dosa dapat dimaafkan karena alasan ijtihad. Nauzubillah.
Dengan terus terang kami katakan bahwa Syi’ah meyakini bahwa seorang manusia, meskipun sahabat Nabi, tergantung pada amalnya, sesuai prinsip al-Quran yang menyatakan:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”  (QS. Al-Hujurat:13)
Berdasarkan hal ini, maka untuk menentukan kualitas sahabat, kita juga harus mengukurnya dari amal perbuatan mereka, supaya keputusan yang kita ambil logis dan dapat diterapkan pada semuanya.
Maka siapa saja di antara sahabat Nabi yang selama bersama Nabi ikhlas dan terus dalam garis ini dalam menjaga Islam dan kesetiaan kepada al-Quran sesudah wafatnya, Syi’ah akui dia dan mengkategorikannya sebagai orang saleh. Tetapi Sahabat yang munafiq di zaman Rasul dan selalu mengganggu Rasul atau berubah sesudah Nabi meninggal dunia, dan yang telah merugikan Islam dan kaum Muslimin, tentu Syi’ah tidak akan mencintainya sedikitpun. Allah berfirman:
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung. “ (QS. Al-Mujaadilah:22)
Ya, orang-orang yang menentang atau mengganggu Rasul, baik pada masa hidupnya atau sesudah wafatnya, menurut keyakinan Syi’ah, sedikitpun tidak pantas mendapat pujian atau penghormatan.
Tetapi kita tidak boleh lupa bahwa sejumlah sahabat Nabi telah berjuang habis-habisan untuk menyebarkan agama Islam sehingga Allah memuji mereka dan memuji para penerus mereka, tabiin, yang mengikuti jalan para Sahabat yang saleh; pujian yang juga diberikan kepada siapa saja berjalan di jalan yang lurus hingga hari akhir.
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.”  (QS.At-Taubah:100)
Demikianlah keyakinan Syi’ah tentang Sahabat secara ringkas.

X.    Ilmu Imam-imam Ahlubait Berasal dari Nabi

Syi’ah meyakini bahwa ucapan para imam, perbuatan, dan taqrir, persetujuan mereka, yang dapat dilihat dari tidak adanya teguran mereka terhadap suatu perbuatan yang berlangsung di hadapan mereka, adalah hujjah, kebenaran yang harus diikuti, dan merupakan sanad, pegangan bagi Syi’ah. Karena Nabi saw, sebagaimana hadis mutawatir, telah memerintahkan agar kita berpegang teguh kepada kitab Allah dan keluarganya. Di samping itu, mereka adalah orang-orang suci, ma’shum, yang telah diselainatkan Allah dari perbuatan dosa dan kesalahan. Karena itu, maka salah satu sumber fiqh Syi’ah, setelah al-Quran dan Sunnah Nabi, ialah ucapan para imam dari Ahlulbait, perbuatan, dan taqrir mereka.
Jika kita perhatikan bahwa para irnam as itu hanya menukil hadisnya dari nenek moyang mereka hingga ke Rasulullah saw, maka hadis-hadis mereka sesungguhnya adalah hadis- hadis Rasulullah saw juga. Dan kita tahu bahwa periwayatan oleh seorang tsiqah, yang dapat dipercaya, diterima oleh seluruh ulama Islam.
Imam Muhammad Ibn ‘Ali al-Baqir berkata kepada Jabir:
“Jabir, jika yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah pandangan kami sendiri dan dilandasi hawa nafsu, maka kami akan celaka. Tapi ketahuilah, yang kami ucapkan kepada kalian itu adalah hadis-hadis Rasulullah saw. (Jami’ Ahadits Syi’ah: I, hal. 18)
“Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Seseorang bertanya kepada Imam Ja’far Shadiq tentang suatu masalah dan Imam memberikan jawabannya, namun orang itu kemudian bertanya lagi: “Bagaimana jika masalah ini begini dan begitu, apa pendapatmu?’ Imam berkata: “Ketahuilah Tidak satu jawaban pun yang kuberikan kepadamu kecuali dari Rasulullah saw. Kami sama sekali bukan termasuk dalam kelompok orang yang dapat ditanya “Apa pendapatmu”. (UshulKafi, 1, hal. 58)
Dalam pada itu, perlu kami sebutkan di sini bahwa Syi’ah juga memiliki kitab-kitab hadis utama yang kami percayai validitasnya, sepera al-Kafi, al-Tahzib, al-Istibshar, dan Man la Yahduruhul-faqih. Akan tetapi tidak berarti bahwa Syi’ah menerima begitu saja seluruh riwayat yang disebutkan dalam kitah-kitab tersebut, karena, selain kitab-kitab hadis, Syi’ah juga mempunyai kitab-kitab rijal yang berfungsi mengungkap keadaan para perawi pada semua level sanad. Jika para perawinya, pada semua level sanad, dapat dipercaya, tsiqat, Syi’ah terima hadis tersebut. Tapi jika tidak, Syi’ah akan menolaknya. Dengan demikian, Syi’ah baru dapat menerima riwayat-riwayat yang terdapat dalain kitab-kitab utama tersebut, jika ia memenuhi kriteria di atas.
Selain itu, boleh jadi ada riwayat yang dari segi sanad dapat dikategorikan sebagai riwayat mu’tabarah, dapat diterima, tetapi karena ada cacat-cacat lain pada riwayat tersebut, para ulama dan fuqaha Syi’ah, dari dahulu hingga sekarang, mengabaikannya. Riwayat semacam ini Syi’ah namakan riwayat mu’radh anha atau riwayat yang diabaikan, dan sudah barang tentu tidak mendapat tempat di kalangan Syi’ah.
Dari sini tampak bahwa jika seseorang ingin mendapat keterangan tentang aqidah Syi’ah, maka sangat keliru sekali jika hanya bersandarkan pada sebuah atau beberapa riwayat yang terdapat pada buku-buku tersebut tanpa melakukan penelitian sanadnya.
Dengan kata lain, pada sebagian mazhab Islam, terdapat kitab-kitab hadis yang disebut al-sihah. Para penyusunnya tidak ragu sedikitpun mengkategorikan seluruh riwayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut sahih, demikian pula anggapan lainnya. Namun tidak demikian sikap Syiah terhadap kitab-kitab muktabarahnya. Kitab-kitab itu memang betul disusun oleh orang-orang tsiqat, dapat dipercaya, akan tetapi untuk menentukan kesahihan hadits-haditsnya hanis dikembalikan ke llm al-rijal untuk dilakukan penelitian terhadap para perawinya.
Jika poin ini diperhatikan, ia dapat menjelaskan banyak permasalahan dan keraguan yang diarahkan ke aqidah Syi’ah. Tetapi jika diabaikan, berakibat pada banyak kekeliruan dan kesalahpaharnan terhadap aqidah Syi’ah.
Ringkasnya, hadis-hadis para Imam Dua Belas menempati posisi yang sangat tinggi di mata ajaran Syi’ah, yaitu setelah al-Quran dan sunnah Nabi, tetapi dengan catatan, bahwa hadis-hadis tersebut pasti datangnya dari para imam dengan jalan diakui.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)