
Berdasar Buku yang berjudul “Inilah Aqidah Syiah” yang ditulis oleh Nasir Makarim Shirazi. Topik
yang kemudian diringkas antara lain mengenai ma’rifatullah dan tauhid,
kenabian, al-Quran, hari akhir, dan imamah. Topik lain jika ada
kesempatan akan saya truskan juga untuk di tampilkan di blog ini.
Sekilas mengenai Ayatullah Nasir Makarim Shirazi, beliau adalah salah
seorang faqih terkenal kota Qom dan mengajar di jenjang tertinggi fiqih
(bahtsul kharij), memiliki karya tulis yang cukup banyak dan yang
tersohor dengan karyanya, “Tafsir-e Nemuneh”. Beliau lahir pada tahun
1345 H. di kota Syiraz. Ayah beliau bernama Ali Muhammad Makarim.
Pendidikan dasar dan menengah beliau selesaikan di kota Syiraz dan pada
umur 14 tahun, beliau memulai pelajaran agama di madrasah Aqa Babakhan.
Pada umur 18 tahun beliau memasuki hauzah ilmiyah Qom dan berguru pada
Ayatullah Al-Uzhma Burujerdi dan ulama-ulama besar lainnya. Pada tahun
1349 H, beliau belajar di hauzah Najaf Al-Asyraf di bawah bimbingan
Ayatullah Al- Uzhma Hakim, Ayatullah Al-Uzhma Khu’i, Ayatullah Sayid
Abdul Hadi Syirazi. Pada bulan Sya’ban tahun 1370 H, beliau kembali ke
Iran dan mulai mengajar ilmu ushul fiqih dan fiqh tingkat lanjutan /
advance (bahtsul kharij). Beliau adalah pendiri beberapa pusat
pendidikan dan pengkajian ilmiah, seperti Madrasah Amirul Mu’minin a.s.,
Madrasah Imam Hasan Mujtaba a.s., dan Madrasah Imam Husein a.s.
Siapakah Syi’ah
Syi’ah meyakini bahwa tasyayyu atau ke-syi’ah-an sudah dimulai sejak
zaman Rasulullah saw dan melalui ungkapan-ungkapan beliau sendiri. Ada
buktinya tentang hal itu. Antara lain disebutkan oleh mufassir terkenal
al-Suyuthi dalam kitabnya al-Dur ul-Mantsur meriwayatkan sebuah hadits
yang dikutipnya dari Ibn Asakir yang meriwayatkan dari Sahabat Jabir Ibn
‘Abdillah bahwa:
Suatu hari kami bersama-sama Rasulullah saw. Tiba-tiba ‘Ali datang.
Rasulullah menunjuk ‘Ali dan berkata:
“Demi yang diriku berada di
tangan-Nya! Sesungguhnya ini (‘Ali, pen) dan para pengikutnya, sungguh
merupakan orang-orang yang beruntung di hari kiamat”. (al-Dur
al-Mantsur, VI/379)
Lalu turunlah ayat:
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (QS. 98:7)
Maka sejak itu, jika ‘Ali datang, para Sahabat menyambutnya dengan mengucapkan, “Makhluk paling baik datang”.
Makna yang sama, dengan sedikit perbedaan, juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Barzah, Ibn Mardawaih, dan Atiyyah al-‘Ufi.
Dengan Demikian kita lihat bahwa pemberian nama Syi’ah pada
orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan ‘Ali telah terjadi pada
masa Rasulullah saw, bahkan Nabi sendiri yang memberikan nama itu
kepada mereka; bukan pada zaman khulafa, Safawi, atau lain sebagainya.
Syi’ah sangat menaruh hormat kepada mazhab-mazhab lain, ikut shalat
berjamaah bersama-sama mereka dalam satu shaf, mengerjakan ibadah haji
pada waktu dan tempat yang sama, serta bahu membahu mewujudkan cita-cita
mulia Islam.
Namun Demikian, sekelompok penentang Syi’ah terus memaksakan
pendapatnya seakan Syi’ah memiliki hubungan dengan ‘Abdullah Ibn Saba,
seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, dan mengikuti
ajaran-ajarannya. Sungguh pandangan yang aneh. Sebab Syi’ah sama sekali
tidak pernah berhubungan dengan orang ini. Bahkan di kitab-kitab rijal
mereka disebutkan bahwa orang bemama ‘Abdullah Ibn Saba adalah sesat dan
menyimpang. Malah ada beberapa riwayat Syi’ah yang menyatakan bahwa
Imam ‘Ali telah memerintahkan hukuman mati terhadap ‘Abdullah Ibn Saba
karena ia telah murtad dan keluar dari agama Islam.
Penting untuk disinggung di sini bahwa pusat Syi’ah tidak selalu di
Iran. Di abad-abad pertama Islam, justeru Syi’ah sangat kuat di
negeri-negeri seperti Kufah, Yaman, dan Madinah. Bahkan di Syam sendiri,
yang nota bene merupakan basis utama Bani Umayyah yang senantiasa
menjelek-jelekkan Syi’ah terdapat beberapa pusat Syi’ah, meskipun tidak
seluas di Irak. Di Mesir selalu ada komunitas Syi’ah, dan bahkan Mesir
pernah diperintah oleh penguasa-penguasa Syi’ah, yaitu pada masa
kekhalifahan Fatimiyah.
Dewasa ini Syi’ah tersebar di seantero dunia, termasuk Saudi Arabia,
khususnya di wilayah timur. Di sana hidup ratusan ribu, bahkan mungkin
jutaan kaum Syi’ah. Selain itu, orang-orang Syi’ah hidup rukun dan damai
dengan saudara-saudaranya dan mazhab- mazhab lain, betapapun
musuh-musuh Islam senantiasa menabur benih permusuhan, syakwasangka,
saling curiga, menyulut api perselisihan dan peperangan antara penganut
Syi’ah dengan golongan Islam lainnya. Tujuannya supaya kedua kelompok
sama-sama lemah. Lebih-lebih dewasa ini, dimana Islam telah menjelma
sebagai kekuatan besar dunia yang berani berhadap-hadapan dengan Barat
dan Timur. Bahkan mampu menarik masyarakat dunia yang telah jenuh dan
putus asa dengan peradaban materialistik ke dalam dirinya.
Maka salah satu harapan besar musuh-musuh Islam agar mereka dapat
memporakporandakan kekuatan Islam dan menjegal laju Islam ke seluruh
dunia ialah dengan cara menyulut api perpecahan antara mazhab-mazhab
Islam sehingga umat Islam sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi jika
umat Islam menyadari hal ini dan tidak terpancing provokasi musuh-musuh
Islam, sudah pasti konspirasi jahat ini tidak akan berhasil.
MA’RIFATULLAH DAN TAUHID
I. Adanya Yang Mahakuasa Dan Mahatinggi
Syi’ah meyakini bahwa Allan SWT adalah pencipta alam semesta.
Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh jagad
raya, dalam diri manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di
langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.
Syi’ah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam semesta,
maka kita akan semakin rnenyadari kebesaran, keluasan ilmu dan
kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengetahuan manusia berkembang, maka
pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga
pikiran kita semakin luas. Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita
kepada-Nya semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalal
dan jamal-Nya.
Allah berfirman: “Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi
orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak
melihat ”. (QS. Adz-Dzariyat 20-21)
Allah berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan
pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi
orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat
berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan
langit dan bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan
ini sia-sia”. (QS. 3:190-191)
II. Sifat Jamal dan Jalal-Nya
Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela dan
kekurangan. Ia bersifat dengan segala sifat kesempumaan. Bahkan Ia
adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wa
kamal al-mutlaq. Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan
yang ada di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci.
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci,
Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara,
Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha
Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang
Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan
Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr :23-24)
III. Dzat Yang Tak Terbatas
Syi’ah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala
sisi : ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia
tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya terbatas. Tetapi
pada waktu yang sama, meliputi (menguasai,peny) ruang dan waktu karena Dia berada (menguasai,peny) di atas keduanya.
“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang
disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf:84)
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian
Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadiid:4)
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui
apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya
daripada urat lehernya”. (QS. Qaaf:16)
“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Hadiid:3)
Adapun ayat-ayat semacam : “(Ia) yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia” (QS. Al-Buruuj:15), ataupun ayat “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.Thaahaa:5),
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu,
karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan
dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam
fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa
Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan
memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal
Dia adalah “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. Al-Ikhlash:4)
IV. Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat
mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah
jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu
adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala
sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat
dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan.
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha
Mengetahui.” (QS. Al-An’aam:103)
Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa as agar mereka dapat
melihat Allah SWT sebagai syarat keimanan mereka dengan mengatakan; “Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman
kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu
disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya” (QS. Al-Baqarah:55),
Nabi Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan
mereka kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah: “Dan
tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah
Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat
melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan
aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS.Al-A’raaf:143)
Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.
Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menenggarai adanya
kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara
kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab
al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling rnenafsirkan.
Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-buru
Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat
dilihat oleh mata. Dia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang
penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)
Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah
seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang
tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan
Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.
V. Tauhid Adalah Jiwa Ajaran Islam
Syi’ah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan paling penting
dalam kaitannya dengan ma’rifatullah atau mengenal Allah ialah
pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan
salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh dan jiwa seluruh ajaran
Islam, baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang- cabangnya
(furu’) mengkristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan
keesaan. Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan
perbuatan-Nya, bahkan keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama
Ilahi, kiblat, kitab, hukurn, dan peraturan hukum bagi seluruh umat
manusia. Demikian pula persatuan Muslimin dan satunya hari kebangkitan.
Oleh karena itulah, maka setiap penyimpangan dari tauhid dan
kecondongan ke syirik dianggap oleh al-Quran sebagai dosa yang tak
terampuni. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan
Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS.An-Nisaa’:48) Dan “Dan
sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang
sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65)
VI. Sub-Tauhid
Syi’ah meyakini bahwa tauhid memiliki bagian-bagian, antara lain 4 (empat) hal berikut:
- Tauhid Dzat. Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-Nya.
- Tauhid Sifat. Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.
- Tauhid Af’al atau Perbuatan. Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak-Nya.
“Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”. (QS. Az-Zumar:62) Dan ayat “Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi…” (QS. Asy-Syuura:12)
Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini,
kecuali Allah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam
perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru
bebas memilih dan memngambil keputusan.
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insaan:3) Juga ayat, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakanny.” (QS. An-Najm:39)
Kedua ayat di atas dengan tegas rnenjelaskan bahwa manusia bebas
dalam kehendaknya (free will). Akan tetapi, karena kebebasan dan
kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka
perbuatan-perbuatan kita disandarkan kepada Allah, namun tanpa
sedikitpun mengurangi tanggungjawab kita terhadapnya.
Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam
perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan membawa kita ke
jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan
kecuali dengan kebebasan berkehendak free will) dan mengikuti jalan
kebenaran melalui pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang
dipaksakan dan di luar kemauan seseorang tidak menggambarkan apakah ia
baik atau buruk.
Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada
artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama,
pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya
pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa
tidak jabr (mutlak terpaksa) dan tidak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi
di antara keduanya.
“Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya.” (Ushul al-Kafi, I,hal.160)
4. Tauhid Ibadah. Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada
Allah SWT semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT.
Sub Tauhid Ibadah ini adalah sub tauhid yang paling utama dan yang
paling rnendapat perhatian para Nabi.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah:5)
Dan tauhid seseorang akan semakin dalam jika ia menempuh
tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan irfan sehingga ia
akan mencapai suatu kedudukan atau maqam di mana hatinya hanya terpaut
pada Allah swt semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak
memikirkan apa-apa keduali Dia, dan selalu sibuk dengan-Nya.
“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia adalah berhalamu”.
Syi’ah meyakini bahwa sub-sub tauhid tidak hanya terbatas pada empat
sub yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada sub-sub lainnya, seperti
tauhid kepemilikan (tauhid milkiyyah). “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (QS. Al-Baqarah: 284) dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah, “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maa-idah:44)
VII. Mukjizat Para Nabi Seizin Allah
Syi’ah meyakini bahwa melalui tauhid af’al, tauhid perbuatan, akan
semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan
peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah Swt,
sebagaimana dilansir al-Quran dalam kisah Isa as:
“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam,
ingatlah ni’mat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan
kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu
masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku
mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula)
diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung
dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi
burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu
menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang
berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu
mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan
(ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka
membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka
berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (QS. Al-Maa-idah:110)
Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman,
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala
Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata:
“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia.” (QS. An-Naml:40)
Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang tidak dapat
disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa as, dengan izin
Allah, tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan itulah tauhid itu
sendiri.
VIII. Malaikat
Syi’ah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-masing menerima
tugas khusus. Ada yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi,
mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang
beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan
perang, menghukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan
dengan alam semesta ini.
Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip
tauhid karena semuanya dengan izin Allah, kekuatan-Nya, dan atas
perintah-Nya.
Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat para nabi, imam, dan
malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan adalah
tauhid itu sendiri, sebab terjadi seizin¬Nya.
“…Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada
izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran ?.” (QS. Yunus: 3)
Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah tawassul akan kami uraikan pada pembahasan kenabian.
IX. Ibadah Hanya untuk Allah SWT
Syi’ah meyakini bahwa ibadah hanya untuk Allah SWT semata,
sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan Tauhid Ibadah. Oleh
karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.
Inilah pula misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip al-Quran dari lisan para nabi.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia
berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu
selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut
kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud.
Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan
bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya ?”
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka
Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata
kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka
biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya
dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang
pedih.”
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka,
Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada
Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang
nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah
Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.
(QS. Al-A’raaf:59, 65, 73, 85)
Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca surah al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi perinsip ini melalui ayat:
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. (QS. 1:5)
Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan
para malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran,
bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama
sekali tidak. Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali
tidak dapat digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali
tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan atau tauhid ibadah, sebab
yang dilakukan hanyalah meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah
supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Pembahasan mengenai ini
akan diuraikan pada kajian Nubuwah.
X. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau
Syi’ah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Tuhan begitu
banyaknya di alam semesta ini, namun tidak seorang pun yang mengetahui
hakikat Allah sebenarnya atau dapat menjangkau-Nya, sebab dzat Tuhan tak
terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas dan berujung.
Oleh karena itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau
segala sesuatu.
“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang
pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha
Meliputi segala sesuatu.” (QS. Fushshilat:54)
Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan,
“Kami tidak (maksudnya : tidak mampu,peny) menyembah-Mu dengan
sebenar-benarnya penyembahan dan tidak pula mengetahui-Mu dengan
sebenar-benarnya pengetahuan.” (Bihar al-Anwar, 68:23)
Namun ini tidak berarti bahwa ketika kita tidak dapat mengetahui
hakikat Allah secara detail, berarti kita juga tidak dapat mengetahui
hakikat-Nya secara umum, sehingga kita harus meninggalkan upaya kita
untuk rnengenal-Nya dan cukup puas dengan melafalkan lafal-lafal yang
kita sendiri tidak memahaminya. Sama sekali tidak demikian, karena hal
ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah. Hal tersebut tidak dapat
diterima oleh Syi’ah dan tidak pula diyakini, karena al-Quran dan
kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk memperkenalkan Allah,
sehingga kita dapat mengenal-Nya secara umum.
Dalam hal ini, banyak hal vang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh.
Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita mengetahui
secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.
Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya mengatakan:
“Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling
dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk (hasil imajinasi) dan
(menjadi ciptaan imajiner,peny) seperti kamu, yang dikembalikan kepadamu
(dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah,peny) .” (Bihar al-Anwar, 66:293)
Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam ‘Ali as telah menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:
“Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau
sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk
mengetahui-Nya (secara umum).” (Nahjul-balaghah: khutbah 49)
XI. Tidak Ta’thil dan Tidak Pula Tasybih
Syi’ah meyakini bahwa ta’til ma’rifatullah atau anggapan tidak ada
jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang
keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik.
Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama
sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup.
Demikian pula kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah mempunyai
keserupaan dengan mahkluk-Nya. Kedua jalan pikiran ini berlebih-lebihan,
ifrath dan tafrith.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)