Wednesday, October 22, 2014

Aqidah Syi'ah Tentang Tauhid

Berdasar Buku yang berjudul “Inilah Aqidah Syiah” yang ditulis oleh Nasir Makarim Shirazi. Topik yang kemudian diringkas antara lain mengenai ma’rifatullah dan tauhid, kenabian, al-Quran, hari akhir, dan imamah. Topik lain jika ada kesempatan akan saya truskan juga untuk di tampilkan di blog ini.

Sekilas mengenai Ayatullah Nasir Makarim Shirazi, beliau adalah salah seorang faqih terkenal kota Qom dan mengajar di jenjang tertinggi fiqih (bahtsul kharij), memiliki karya tulis yang cukup banyak dan yang tersohor dengan karyanya, “Tafsir-e Nemuneh”. Beliau lahir pada tahun 1345 H. di kota Syiraz. Ayah beliau bernama Ali Muhammad Makarim. Pendidikan dasar dan menengah beliau selesaikan di kota Syiraz dan pada umur 14 tahun, beliau memulai pelajaran agama di madrasah Aqa Babakhan. Pada umur 18 tahun beliau memasuki hauzah ilmiyah Qom dan berguru pada Ayatullah Al-Uzhma Burujerdi dan ulama-ulama besar lainnya. Pada tahun 1349 H, beliau belajar di hauzah Najaf Al-Asyraf di bawah bimbingan Ayatullah Al- Uzhma Hakim, Ayatullah Al-Uzhma Khu’i, Ayatullah Sayid Abdul Hadi Syirazi. Pada bulan Sya’ban tahun 1370 H, beliau kembali ke Iran dan mulai mengajar ilmu ushul fiqih dan fiqh tingkat lanjutan / advance (bahtsul kharij). Beliau adalah pendiri beberapa pusat pendidikan dan pengkajian ilmiah, seperti Madrasah Amirul Mu’minin a.s., Madrasah Imam Hasan Mujtaba a.s., dan Madrasah Imam Husein a.s.

Siapakah Syi’ah

Syi’ah meyakini bahwa tasyayyu atau ke-syi’ah-an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah saw dan melalui ungkapan-ungkapan beliau sendiri. Ada buktinya  tentang hal itu. Antara lain disebutkan oleh mufassir terkenal al-Suyuthi dalam kitabnya al-Dur ul-Mantsur meriwayatkan sebuah hadits yang dikutipnya dari Ibn Asakir yang meriwayatkan dari Sahabat Jabir Ibn ‘Abdillah bahwa:

Suatu hari kami bersama-sama Rasulullah saw. Tiba-tiba ‘Ali datang. Rasulullah menunjuk ‘Ali dan berkata: 
“Demi yang diriku berada di tangan-Nya! Sesungguhnya ini (‘Ali, pen) dan para pengikutnya, sungguh merupakan orang-orang yang beruntung di hari kiamat”. (al-Dur al-Mantsur, VI/379)
Lalu turunlah ayat:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk (QS. 98:7)
Maka sejak itu, jika ‘Ali datang, para Sahabat menyambutnya dengan mengucapkan, “Makhluk paling baik datang”.
Makna yang sama, dengan sedikit perbedaan, juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, Abu Barzah, Ibn Mardawaih, dan Atiyyah al-‘Ufi.

Dengan Demikian kita lihat bahwa pemberian nama Syi’ah pada orang-orang yang memiliki hubungan khusus dengan ‘Ali telah terjadi pada masa Rasulullah saw, bahkan Nabi sendiri yang memberikan nama itu kepada mereka; bukan pada zaman khulafa, Safawi, atau lain sebagainya.
Syi’ah sangat menaruh hormat kepada mazhab-mazhab lain, ikut shalat berjamaah bersama-sama mereka dalam satu shaf, mengerjakan ibadah haji pada waktu dan tempat yang sama, serta bahu membahu mewujudkan cita-cita mulia Islam.

Namun Demikian, sekelompok penentang Syi’ah terus memaksakan pendapatnya seakan Syi’ah memiliki hubungan dengan ‘Abdullah Ibn Saba, seorang Yahudi yang kemudian masuk Islam, dan mengikuti ajaran-ajarannya. Sungguh pandangan yang aneh. Sebab Syi’ah sama sekali tidak pernah berhubungan dengan orang ini. Bahkan di kitab-kitab rijal mereka disebutkan bahwa orang bemama ‘Abdullah Ibn Saba adalah sesat dan menyimpang. Malah ada beberapa riwayat Syi’ah yang menyatakan bahwa Imam ‘Ali telah memerintahkan hukuman mati terhadap ‘Abdullah Ibn Saba karena ia telah murtad dan keluar dari agama Islam.

Penting untuk disinggung di sini bahwa pusat Syi’ah tidak selalu di Iran. Di abad-abad pertama Islam, justeru Syi’ah sangat kuat di negeri-negeri seperti Kufah, Yaman, dan Madinah. Bahkan di Syam sendiri, yang nota bene merupakan basis utama Bani Umayyah yang senantiasa menjelek-jelekkan Syi’ah terdapat beberapa pusat Syi’ah, meskipun tidak seluas di Irak. Di Mesir selalu ada komunitas Syi’ah, dan bahkan Mesir pernah diperintah oleh penguasa-penguasa Syi’ah, yaitu pada masa kekhalifahan Fatimiyah.

Dewasa ini Syi’ah tersebar di seantero dunia, termasuk Saudi Arabia, khususnya di wilayah timur. Di sana hidup ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan kaum Syi’ah. Selain itu, orang-orang Syi’ah hidup rukun dan damai dengan saudara-saudaranya dan mazhab- mazhab lain, betapapun musuh-musuh Islam senantiasa menabur benih permusuhan, syakwasangka, saling curiga, menyulut api perselisihan dan peperangan antara penganut Syi’ah dengan golongan Islam lainnya. Tujuannya supaya kedua kelompok sama-sama lemah. Lebih-lebih dewasa ini, dimana Islam telah menjelma sebagai kekuatan besar dunia yang berani berhadap-hadapan dengan Barat dan Timur. Bahkan mampu menarik masyarakat dunia yang telah jenuh dan putus asa dengan peradaban materialistik ke dalam dirinya.

Maka salah satu harapan besar musuh-musuh Islam agar mereka dapat memporakporandakan kekuatan Islam dan menjegal laju Islam ke seluruh dunia ialah dengan cara menyulut api perpecahan antara mazhab-mazhab Islam sehingga umat Islam sibuk dengan diri mereka sendiri. Tapi jika umat Islam menyadari hal ini dan tidak terpancing provokasi musuh-musuh Islam, sudah pasti konspirasi jahat ini tidak akan berhasil.

MA’RIFATULLAH DAN TAUHID

I.  Adanya Yang Mahakuasa Dan Mahatinggi

Syi’ah meyakini bahwa Allan SWT adalah pencipta alam semesta. Keagungan ilmu dan kekuasaan-Nya tampak dengan jelas pada seluruh jagad raya, dalam diri manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bintang-bintang di langit, alam metafisik nan mahatinggi, dan di mana saja.
Syi’ah meyakini bahwa semakin kita mengamati rahasia alam semesta, maka kita akan semakin rnenyadari kebesaran, keluasan ilmu dan kekuasaan-Nya. Dan, semakin ilmu pengetahuan manusia berkembang, maka pintu-pintu baru ilmu dan hikmah-Nya semakin terbuka bagi kita sehingga pikiran kita semakin luas. Dengan demikian, kecintaan dan kedekatan kita kepada-Nya semakin bertambah, dan kita akan diliputi oleh cahaya jalal dan jamal-Nya.

Allah berfirman: “Dan di bumi ada tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang yakin. Juga di diri kamu sendiri. Apakah kamu tidak melihat ”. (QS. Adz-Dzariyat 20-21)
Allah berfirman: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pada pergantian siang dan malam ada tanda-tanda kebesaran Tuhan bagi orang-orang yang berpikir, yaitu orang-orang yang mengingat Allah saat berdiri, duduk, atau berbaring, dan bertafakkur tentang penciptaan langit dan bumi. (Mereka berkata:) “Tuhan kami! Engkau tidak ciptakan ini sia-sia”. (QS. 3:190-191)

II. Sifat Jamal dan Jalal-Nya

Syi’ah meyakini bahwa Allah SWT bersih dari segala cela dan kekurangan. Ia bersifat dengan segala sifat kesempumaan. Bahkan Ia adalah kesempurnaan itu sendiri dan mutlak sempurna, mutlaq al-kamal wa kamal al-mutlaq. Dengan kata lain, seluruh kesempurnaan dan keindahan yang ada di alam semesta ini berasal dari diri-Nya Yang Mahasuci.

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.  Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepadaNya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr :23-24)

III. Dzat Yang Tak Terbatas

Syi’ah meyakini bahwa Allah adalah Dzat Yang Tak Terbatas dari segala sisi : ilmu, kekuasaan, keabadian, dan sebagainya. Oleh karena itu, Dia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, karena keduanya terbatas. Tetapi pada waktu yang sama, meliputi (menguasai,peny) ruang dan waktu karena Dia berada (menguasai,peny) di atas keduanya.

“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi dan Dia-lah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Az-Zukhruf:84)

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadiid:4)

 “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (QS. Qaaf:16)

“Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Hadiid:3)

Adapun ayat-ayat semacam : “(Ia) yang mempunyai ‘Arsy, lagi Maha Mulia” (QS. Al-Buruuj:15), ataupun ayat “(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS.Thaahaa:5),
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak menunjukkan bahwa Allah menempati ruangan tertentu, karena maksud dari kata ‘arsy atau singgasana dalam ayat ini bukan dalam pengertian fisik, melainkan bahwa kekuasaan-Nya mencakup alam fisik dan meta-fisik sekaligus. Dalam pada itu, jika kita katakan bahwa Allah menempati ruang, maka sesungguhnya kita telah membatasi-Nya dan memberi-Nya sifat makhluk sehingga tak ubahnya seperti makhluk, padahal Dia adalah “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS. Asy-Syuura:11), dan “Tidak satu pun yang menyamai-Nya” (QS. Al-Ikhlash:4)

IV. Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat

Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt tidak dapat dilihat dengan kasat mata, sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Oleh karena itu, meyakini bahwa Allah dapat dilihat dapat membawa kepada kemusyrikan.

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’aam:103)

Dan ketika Bani Israil menuntut Nabi Musa as agar mereka dapat melihat Allah SWT sebagai syarat keimanan mereka dengan mengatakan; “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya” (QS. Al-Baqarah:55),

Nabi Musa membawa mereka ke bukit Tur dan menyampaikan permintaan mereka kepada Allah. Tapi malah mendapat jawaban dari Allah: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan berfirman: “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.” (QS.Al-A’raaf:143)

Ini menunjukkan bahwa Allah mutlak tidak dapat dilihat.
Adapun adanya beberapa ayat atau pun riwayat yang menenggarai adanya kemungkinan melihat Allah, maka yang dimaksud bukan rnelihat-Nya secara kasat mata, tapi melalui penglihatan batin atau mata hati, sebab al-Quran tidak saling bertentangan, tapi justeru saling rnenafsirkan.

Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Amirul Mukminin Ali Ibn Abi Thalib: “Apakah engkau pernah melihat Tuhanmu?” Amirul Mukminin menjawab, “Bagaimana aku bisa menyembah Tuhan yang tidak kulihat?” Tapi buru-buru Amirul Mukminin menyempurnakan kalimatnya, “Tapi Dia tidak dapat dilihat oleh mata. Dia hanya dapat dijangkau oleh kekuatan hati yang penuh dengan iman”. (Nahjul Balaghah, Khutbah 179)

Syi’ah meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah, fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan dapat rnembawa kepada kemusyrikan
Mahasuci Allah dari sifat-sifat makhluk. Sesungguhnya Ia tidak serupa dengan apa pun.

V. Tauhid Adalah Jiwa Ajaran Islam

Syi’ah meyakini bahwa di antara persoalan-persoalan paling penting dalam kaitannya dengan ma’rifatullah atau mengenal Allah ialah pengetahuan akan tauhid dan keesaaan Tuhan. Tauhid tidak hanya merupakan salah satu prinsip agama, tapi ia adalah ruh dan jiwa seluruh ajaran Islam, baik pokok-pokok ajarannya (ushuluddin) maupun cabang- cabangnya (furu’) mengkristal dalam tauhid. Seluruhnya dikaitkan dengan tauhid dan keesaan. Keesaan Dzat Yang Mahasuci, keesaan sifat-sifat dan perbuatan-Nya, bahkan keesaam (baca: kesatuan) misi para nabi, agama Ilahi, kiblat, kitab, hukurn, dan peraturan hukum bagi seluruh umat manusia. Demikian pula persatuan Muslimin dan satunya hari kebangkitan.

Oleh karena itulah, maka setiap penyimpangan dari tauhid dan kecondongan ke syirik dianggap oleh al-Quran sebagai dosa yang tak terampuni. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS.An-Nisaa’:48) Dan “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar:65)

VI. Sub-Tauhid

Syi’ah meyakini bahwa tauhid memiliki bagian-bagian, antara lain 4 (empat) hal berikut:
  1. Tauhid Dzat. Yaitu bahwa Dzat Allah itu esa. Tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tidak ada tandingan dan tidak ada yang menyamai-Nya.
  2. Tauhid Sifat. Yaitu bahwa sifat-sifat seperti ilmu, kuasa, keabadian dan sebagainya rnenyatu dalam Dzat-Nya, bahkan adalah Dzat-Nya sendiri. Sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat-sifat makhluk, yang masing-masing berdiri sendiri dan terpisah dari yang lainnya.
  3. Tauhid Af’al atau Perbuatan. Yaitu bahwa segala perbuatan, gerak, dan wujud apapun pada alam semesta ini bersumber dari keinginan dan kehendak-Nya.
“Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia adalah Pemelihara segala sesuatu”. (QS. Az-Zumar:62) Dan ayat “Kepunyaan-Nya-lah perbendaharaan langit dan bumi…” (QS. Asy-Syuura:12)

Memang tidak ada yang menentukan dalam wujud, alam semesta ini, kecuali Allah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita (determinis). Sama sekali tidak. Kita justru bebas memilih dan memngambil keputusan.

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS. Al-Insaan:3) Juga ayat, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakanny.” (QS. An-Najm:39)

Kedua ayat di atas dengan tegas rnenjelaskan bahwa manusia bebas dalam kehendaknya (free will).  Akan tetapi, karena kebebasan dan kemampuan kita untuk mengerjakan sesuatu datangnya dari Allah, maka perbuatan-perbuatan kita disandarkan kepada Allah, namun tanpa sedikitpun mengurangi tanggungjawab kita terhadapnya.

Tuhan memang yang telah menghendaki kita bebas dalam perbuatan-perbuatan kita, karena Dia ingin menguji dan membawa kita ke jalan kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali dengan kebebasan berkehendak free will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan seseorang tidak menggambarkan apakah ia baik atau buruk.

Jika kita terpaksa dalam perbuatan-perbuatan kita, maka tidak ada artinya pengutusan para nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan. Inilah yang diajarkan madrasah Ahlubait bahwa tidak jabr (mutlak terpaksa) dan tidak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya.

“Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya.” (Ushul al-Kafi, I,hal.160)

4.  Tauhid Ibadah. Yaitu bahwa ibadah hanya ditujukan kepada Allah SWT semata dan tidak ada yang patut disembah kecuali Allah SWT. Sub Tauhid Ibadah ini adalah sub tauhid yang paling utama dan yang paling rnendapat perhatian para Nabi.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. Al-Bayyinah:5)

Dan tauhid seseorang akan semakin dalam jika ia menempuh tahapan-tahapan perjalanan kesempurnaan akhlak dan irfan sehingga ia akan mencapai suatu kedudukan atau maqam di mana hatinya hanya terpaut pada Allah swt semata, selalu mencari-Nya kapan dan di manapun, tidak memikirkan apa-apa keduali Dia, dan selalu sibuk dengan-Nya.

“Segala sesuatu yang membuatmu lupa kepada Allah ia adalah berhalamu”.
Syi’ah meyakini bahwa sub-sub tauhid tidak hanya terbatas pada empat sub yang kami sebutkan di atas, tapi masih ada sub-sub lainnya, seperti tauhid kepemilikan (tauhid milkiyyah). “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi…” (QS. Al-Baqarah: 284) dan tauhid keputusan, tauhid hakimiyyah, “…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maa-idah:44)

VII.  Mukjizat Para Nabi Seizin Allah

Syi’ah meyakini bahwa melalui tauhid af’al, tauhid perbuatan, akan semakin menegaskan kebenaran bahwa mukjizat para nabi dan peristiwa-peristiwa luara biasa di alam terjadi karena izin Allah Swt, sebagaimana dilansir al-Quran dalam kisah Isa as:

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan: “Hai ‘Isa putra Maryam, ingatlah ni’mat-Ku kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan (ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah pula) diwaktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan ijin-Ku, kemudian kamu meniup kepadanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah) di waktu kamu menyembuhkan orang yang buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, lalu orang-orang kafir diantara mereka berkata: “Ini tidak lain melainkan sihir yang nyata.” (QS. Al-Maa-idah:110)

Atau kisah salah seorang menteri Nabi Sulaiman,

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan ni’mat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml:40)

Dengan demikian, menisbahkan penyembuhan penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau menghidupkan orang mati kepada Nabi Isa as, dengan izin Allah, tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan itulah tauhid itu sendiri.

VIII. Malaikat

Syi’ah meyakini bahwa malaikat itu ada dan masing-masing menerima tugas khusus. Ada yang bertugas menyampaikan wahyu kepada para nabi, mencatat amal perbuatan manusia, mencabut nyawa, membantu orang-orang beriman yang istiqamah, membantu kaum mukminin yang berada di medan perang, menghukum para pembangkang, dan sebagainya yang berhubungan dengan alam semesta ini.
Adanya tugas-tugas malaikat itu sama sekali tidak menyalahi prinsip tauhid karena semuanya dengan izin Allah, kekuatan-Nya, dan atas perintah-Nya.

Dari sini dapat kita lihat bahwa adanya syafaat para nabi, imam, dan malaikat sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid, bahkan adalah tauhid itu sendiri, sebab terjadi seizin¬Nya.
“…Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran ?.” (QS. Yunus: 3)
Penjelasan lebih luas tentang masalah ini dan masalah tawassul akan kami uraikan pada pembahasan kenabian.

IX. Ibadah Hanya untuk Allah SWT

Syi’ah meyakini bahwa ibadah hanya untuk Allah SWT semata, sebagaimana telah kami singgung dalam pembahasan Tauhid Ibadah. Oleh karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah, dia adalah musyrik.
Inilah pula misi para nabi, sebagaimana banyak dikutip al-Quran dari lisan para nabi.
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).”
“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya ?”

“Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.”
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman”.
(QS. Al-A’raaf:59, 65, 73, 85)

Menarik bahwa dalam shalat-shalat kita, ketika membaca surah al-Fatihah, kita selalu mengulang-ulangi perinsip ini melalui ayat:

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu pula kami memohon pertolongan. (QS. 1:5)
Dengan demikian, jelas bahwa meyakini adanya syafaat para nabi dan para malaikat atas izin Allah, sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, bukan merupakan perbuatan menyembah atau beribadah kepada mereka. Sama sekali tidak. Demikian pula bertawassul kepada para nabi, sama sekali tidak dapat digolongkan sebagai ibadah kepada mereka, dan sama sekali tidak bertentangan dengan tauhid perbuatan atau tauhid ibadah, sebab yang dilakukan hanyalah meminta kepada mereka agar memohon kepada Allah supaya mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Pembahasan mengenai ini akan diuraikan pada kajian Nubuwah.

X. Dzat Tuhan Tidak Dapat Dijangkau

Syi’ah meyakini bahwa betapapun jejak-jejak wujud Tuhan begitu banyaknya di alam semesta ini, namun tidak seorang pun yang mengetahui hakikat Allah sebenarnya atau dapat menjangkau-Nya, sebab dzat Tuhan tak terbatas, sedangkan kita, dari sisi apa pun, terbatas dan berujung. Oleh karena itu, kita tidak dapat menjangkau-Nya, tapi Dia menjangkau segala sesuatu.

“Ingatlah bahwa sesungguhnya mereka adalah dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah bahwa sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (QS. Fushshilat:54)

Dalam sebuah hadis Nabi bahkan disebutkan,

“Kami tidak (maksudnya : tidak mampu,peny) menyembah-Mu dengan sebenar-benarnya penyembahan dan tidak pula mengetahui-Mu dengan sebenar-benarnya pengetahuan.” (Bihar al-Anwar, 68:23)

Namun ini tidak berarti bahwa ketika kita tidak dapat mengetahui hakikat Allah secara detail, berarti kita juga tidak dapat mengetahui hakikat-Nya secara umum,  sehingga kita harus meninggalkan upaya kita untuk rnengenal-Nya dan cukup puas dengan melafalkan lafal-lafal yang kita sendiri tidak memahaminya. Sama sekali tidak demikian, karena hal ini dapat menghambat kita untuk mengenal Allah. Hal tersebut tidak dapat diterima oleh Syi’ah dan tidak pula diyakini, karena al-Quran dan kitab-kitab suci lainnya justeru turun untuk memperkenalkan Allah, sehingga kita dapat mengenal-Nya secara umum.

Dalam hal ini, banyak hal vang dapat dijadikan contoh, misalnya ruh. Kita tidak mengetahui apa hakikat ruh sebenarnya, tapi kita mengetahui secara umum bahwa ruh itu ada dan kita melihat tanda-tandanya.
Imam Muhammad Al-Baqir dalam salah satu haditsnya mengatakan:

“Setiap kali kamu menggambarkan Tuhan dengan pikiranmu yang paling dalam sekalipun, tetap saja itu adalah makhluk (hasil imajinasi) dan (menjadi ciptaan imajiner,peny) seperti kamu, yang dikembalikan kepadamu (dimintai pertanggung jawabannya oleh Allah,peny) .” (Bihar al-Anwar, 66:293)

Dalam hadits lain, dengan redaksi yang sangat indah dan jelas, Imam ‘Ali as telah menjelaskan cara mengenal Allah. Imam berkata:
“Allah tidak memberitahu akal bagaimana cara menjangkau sifat-sifat-Nya, tapi pada saat yang sama tidak menghalangi akal untuk mengetahui-Nya (secara umum).” (Nahjul-balaghah: khutbah 49)

XI. Tidak Ta’thil dan Tidak Pula Tasybih

Syi’ah meyakini bahwa ta’til ma’rifatullah atau anggapan tidak ada jalan untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik.
Dengan kata lain, kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah SWT sama sekali tidak dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya tertutup. Demikian pula kita tidak dapat mengatakan bahwa Allah mempunyai keserupaan dengan mahkluk-Nya. Kedua jalan pikiran ini berlebih-lebihan, ifrath dan tafrith.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)