Wednesday, October 22, 2014

Imam Ja'far Ash-Shadiq Guru Dari Semu Mazhab



Hingga saat ini, dalam khazanah keberagaman kaum Ahlussunnah wal Jama'ah, madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, secara berturut-turut dianggap sebagai 4 madzhab fikih mu'tabar yang masih ada hingga saat ini. Madzhab-madzhab tersebut terus bertahan dan mendunia karena berbagai faktor, di antaranya dukungan penguasa.

Madzhab Hanafi misalnya, mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah : Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid.

Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur, di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia, dan di Afrika oleh Al-Mu'iz yang mewajibkan seluruh penduduk mengikuti madzhab Maliki.

Madzhab Syafi'i juga membesar di Mesir ketika Shalahuddin Al-Ayyubi menguasai negeri itu.

Dan madzhab Hambali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil dari Dinasti Abbasiyyah. Waktu itu Al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Padahal dalam perjalanan tarikh tasyri' (sejarah perkembangan ilmu fiqih), selain 4 madzhab tersebut, pernah muncul banyak ahli fiqih yang mengeluarkan fatwa-fatwa fiqih secara kontinyu dan terstruktur yang membuat mereka layak dianggap sebagai imam-imam madzhab.

Ahli fikih pertama yang ijtihad dan fatwa-fatwa fikihnya cukup populer adalah Sayyidina Umar bin Khaththab, khalifah kedua setelah Sayyida Abu Bakar Shiddiq. Beberapa ijtihadnya belakangan dibukukan dengan judul Fikih Umar.

Setelah Umar, semakin banyak ulama dari generasi sesudahnya yang dikenal sebagai mujtahid dan fatwanya dianggap sebagai madzhab tersendiri.

Diantara mereka terdapat nama-nama besar seperti :
-Imam Ja'far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir (82-148 H),
-Abu Abdullah Sufyan bin Masruq Ats-Tsauri (65-161 H),
-Abu Amr Abdurrahman bin Amr Al-Auza'i (88-157 H),
-Abul Harits Al-Laits bin Sa'ad bin Abdurrahman Al-Fahmi (94-175 H),
-Abu Muhammad Sufyan ibn 'Uyaiynah (wafat 198 H),
-Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali Azh-Zhahiri (202-270 H), dan
-Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari (224-310 H).

DIIKUTI SUNNI DAN SYI'I

Meskipun saat ini madzhab Ja'fari diklaim sebagai madzhabnya kaum Syi'ah, pada awalnya fikih Ja'fari tidak berafiliasi ke aliran aqidah manapun. Dengan kedalaman ilmunya dan kemuliaan yang ada pada dirinya, lmam Ja'far di masa hidupnya memang menjadi media bertemunya berbagai faham dan golongan pada kaum muslimin.

Berbagai madzhab syari'at dan tarekat merujukkan ajaran-ajarannya kepada lmam Ja'far.
Bahkan bisa dibilang, lmam Ja'far adalah guru utama bagi sebagian besar ahli fiqih yang belakangan menyusun madzhab. Sebut saja lmam Sufyan Ats-Tsauri, lmam Sufyan bin Uyainah, lmam Abu Hanifah, lmam Malik, Yahya bin Sa'id Al-Anshary, Ibnu Jarih, Al-Qaththan, Muhammad bin lshar bin Yassar, Syu'bah bin Al-Hajjaj, dan Abu Ayyub As-Sijistaniy, yang tercatat pernah berguru kepada lmam Ja'far.

Sementara dalam ranah kesufian, nama lmam Ja'far Shadiq tercatat dalam berbagai mata rantai silsilah thariqat shufiyyah, seperti Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Alawiyyah, dan lain-lain.
Fakta-fakta tersebut tentu menguatkan bukti sebenarnya sang imam adalah tokoh Ahlussunnah. Sebab, jika bukan, pasti kaum Sunni tidak akan menjadikannya sebagai salah satu rujukan.

Meski begitu, seiring perjalanan waktu, madzhab Ja'fari yang dikembangkan oleh ulama sesudahnya semakin kental bernuansa Syi'ah. Karena itu, jika mengkaji madzhab Ja'fari di zaman modern ini, mau tidak mau kita akan bertemu dengan tradisi madzhab Ja'fari ala kaum Syi'ah. Sebab hanya sumber-sumber itu yang hingga kini masih bisa ditemui.

BIOGRAFI IMAM JA'FAR SHADIQ

Imam Ja'far bin Muhammad lahir di Madinah pada tahun 82 H, pada masa pemerintahan Abd Al-Malik ibn Marwan.

Imam Ja'far Ash-Shadiq adalah keturunan kelima Rasulullah SAW melalui Sayyidah Fatimah Az-Zahra, yang menikah dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Ayahnya, Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Asy-Syahid bin Ali bin Abi Thalib menikah dengan Ummu Farwah, yang nama aslinya Qaribah atau Fatimah binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Ash-Shidiq. Dengan nasab yang luar biasa tersebut, lmam Ja'far mewarisi darah beberapa tokoh paling utama di bumi sekaligus : Fatimah binti Muhammad SAW, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shiddiq.

Sedangkan nenek dari ibunya adalah Asma binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq. Karena nasab kakek-nenek dari pihak ibunya bermuara kepada Abu Bakar Shiddiq, Imam Ja'far Ash-Shadiqpun mengatakan, 'Aku dilahirkan oleh Abu Bakar dua kali.'(Siyar 'A'lam An Nubala : 259).

Karena ikatan darah yang sangat kuat itulah, lmam Ja'far Ash-Shadiq sangat mencintai datuk-datuknya, Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Ash-Shiddiq, serta orang-orang yang mereka sayangi, seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Aisyah binti Abu Bakar, dan lain-lain. Dalam berbagai literatur sejarah pun diceritakan Imam Ja'far membenci orang-orang yang membenci sahabat-sahabat Nabi tersebut, juga orang-orang yang menetapkannya sebagai imam yang ma'sum.

Selama 15 tahun lmam Ja'far tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin, keturunan Rasulullah yang selamat dari pembantaian di Karbala. Setelah lmam Zainal Abidin wafat, barulah beliau diasuh oleh ayahnya, Muhammad Al-Baqir, selama 19 tahun.

Beliau sempat menyaksikan kekejaman Al-Hajjaj, gubernur Madinah, pemberontakan Zaid ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut keturunan Nabi. Beliau juga menyaksikan naiknya Al-Saffah menjadi khalifah pertama Dinasti Abbasiyah, yang semula mendukung kaum Alawiyyin tapi belakangan berbalik memusuhi. Dalam suasana seperti itulah, lmam Ja'far tumbuh, belajar, dan berdakwah untuk menyebarkan sunnah Rasulullah dan akhlaq kaum muslim.

Imam Ja'far termasuk ulama yang tidak setuju dengan penggunaan logika (ra'yu) dalam beragama. Diceritakan, suatu ketika lbnu Abi Layla, salah seorang murid Imam Ja'far, mengajak dua orang temannya, yaitu Abu Hanifah dan lbn Syabramah, menghadap gurunya.
lmam Ja'far bertanya kepada Ibn Abi Layla tentang kawannya (Abu Hanifah).
Sang murid menjawab, 'Dia orang pintar dan mengetahui agama.'
'Bukankah dia suka melakukan qiyas dalam urusan agama?' tanya lmam Ja'far.
'Benar.'
lmam Ja'far lalu bertanya kepada Abu Hanifah, 'Siapa namamu?'
'Nu'man,' jawab Abu Hanifah.
Imam Ja'far berkata, 'Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku bahwa Nabi SAW bersabda, 'Orang yang pertama kali menggunakan qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah menyuruhnya bersujud kepada Adam dia berdalih, 'Aku lebih baik dari dia, karena aku KAU buat dari api dan dia KAU buat dari tanah.''
Lebih lanjut lmam Ja'far bertanya, 'Manakah yang lebih besar dosanya, membunuh atau berzina?'
'Membunuh,' jawab lmam Abu Hanifah.
'Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk pembunuhan dan empat orang saksi untuk zina?'
Imam Abu Hanifah terdiam.
'Mana yang lebih besar kewajibannya, shalat atau shaum?'
'Shalat,' jawab lmam Abu Hanifah.
'Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha puasanya tetapi tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah, dan jangan melakukan qiyas dalam agama.'
Karena keluasan dan kedalaman ilmunya itulah, lmam Ja'far juga digelari Al-lmam oleh kaum Ahlussunnah wal Jama'ah.
Betapa tidak luas, tak kurang 15 tahun beliau dididik langsung oleh kakeknya, lmam Zainal Abidin, seorang ahli ibadah, ulama besar, dan pemimpin ahlul bayt yang paling dihormati seluruh lapisan umat lslam pada zamannya.

Selain kepada ayah dan kakeknya, lmam Ja'far juga menimba ilmu dari para sahabat besar, seperti Sahl bin
Sa'ad As-Sa'idi dan Anas bin Malik, serta dari ulama dari generasi tabi'in, seperti Atha' bin Abi Rabah, Muhammad bin Syihab Az-Zuhri, Urwah bin Az-Zubair, Muhammad bin Al-Munkadir, Abdullah bin Abu Rafi', dan Ikrimah Mawla bin Al-Abbas.

Diriwayatkan oleh Abdul Jabbar bin Al-Abbas Al-Hamdzani, Ja'far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir mendatangi mereka ketika mereka hendak meninggalkan Madinah, lalu berkata, 'Sesungguhnya kalian (insya Allah) termasuk orang-orang shalih di negeri kalian, maka sampaikanlah kepada mereka ucapanku ini, 'Barangsiapa mengira aku adalah imam ma'shum yang wajib ditaati, aku benar-benar tidak ada sangkut paut dengannya. Dan barangsiapa mengira bahwa aku berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar, aku berlepas diri dari orang itu.'' (Syiar 'A'lam An Nubala : 259).

Muhammad bin Fudhail menceritakan dari Salim bin Abu Hafshah, 'Aku bertanya kepada Abu Ja'far (lmam Muhammad Al-Baqir) dan putranya, Ja'far, tentang Abu Bakar dan Umar. Beliau (lmam Muhammad) berkata, 'Hai Salim, cintailah keduanya dan berlepas diri musuh-musuhnya karena keduanya adalah imam al-huda (pemimpin yang mendapat petunjuk).'

Kemudian Ja'far berkata, 'Hai Salim, apakah ada orang yang mencela kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku. Aku tidak akan mendapat syafaat Muhammad SAW pada hari qiamat jika aku tidak mencintai keduanya dan memusuhi musuh-musuhnya.''
Ucapan Imam Ash-Shadiq seperti ini beliau ucapkan di hadapan ayahnya, lmam Muhammad Al-Baqir, dan ia tidak mengingkarinya (Tarikh Al-lslam 6/46).

Hafsh bin Ghayats, murid Ash-Shadiq, berkata, 'Saya mendengar Ja'far bin Muhammad berkata, 'Aku tidak mengharapkan syafaat untukku sedikit pun melainkan aku berharap syafaat Abu Bakar semisalnya. Sungguh dia telah melahirkanku dua kali.''

Murid lmam Ja'far yang lain, Amr bin Qais al-Mulai, mengatakan, 'Saya mendengar lbnu Muhammad yakni Ja'far Ash-Shadiq berkata, 'Allah Ta'ala berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari orang yang berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.''(Siyar Alam An Nubala :260).

Zuhair bin Mu'awiyah berkata, 'Bapaknya berkata kepada lmam Ja'far bin Muhammad, 'Sesungguhnya saya memiliki tetangga yang mengira engkau berlepas diri dari Abu Bakar dan Umar.'

lmam Ja'far pun menjawab, 'Semoga Allah berlepas diri dari tetanggamu itu. Demi Allah, sesungguhnya saya berharap mudah-mudahan Allah memberikan manfaat kepadaku karena kekerabatanku dengan Abu Bakar. Sungguh aku telah mengadukan (rasa sakit), maka aku berwasiat kepada pamanku (dari ibu), Abdurrahman bin Al-Qasim.'' (At Taqrib, lbnu Hajar, dan Tarikh Al-lslam, Adz Dzahabi.

Imam Ja'far wafat pada 25 Syawal 148 H (ada juga yang yang mengatakan pada bulan Rajab) dalam usia 68 tahun di kota kelahirannya, Madinah. Sang imam meninggalkan tujuh putra, yang belakangan juga dikenal sebagai permata-permata ilmu. Yaitu lsmail, Abdullah, Musa Al-Kazhim, lshaq, Muhammad, Ali, dan Fathimah.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)