I. Falsafah Turunnya Kitab Samawi
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt telah menurunkan
sejumlah kitab samawi untuk menuntun umat manusia ke jalan yang lurus,
antara lain: Sahifah Ibrahim dan Nuh, Taurat, Injil, dan al-Quran, yang
merupakan kitab paling sempurna. Jika kitab-kitab ini tidak turun, maka
manusia akan tersesat dalam perjalanannya menuju ma’rifatullah dan dalam
beribadah kepada-Nya. Manusia juga akan kehilangan dasar-dasar taqwa,
akhlak, pendidikan, dan aturan-aturan sosial yang dibutuhkannya.
Kitab-kitab samawi ini menyirami rohani manusia
bagaikan hujan yang mengguyur bumi dan menumbuhkan di dalamnya
bibit-bibit taqwa, akhlak, ma’rifatullah, pengetahuan, dan al-hikmah.
“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari
rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at.”
(Mereka berdo’a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah
tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah:285)
Tapi sayang, banyak di antara kitab-kitab samawi
itu, telah diselewengkan oleh tangan- tangan jahil dan orang-orang bodoh
serta disusupi pikiran-pikiran yang menyesatkan, kecuali al-Quran, yang
oleh sebab-sebab yang akan kami jelaskan nanti pada tempatnya tidak
dapat dijangkau oleh tangan-tangan kotor untuk diselewengkan. Al-Quran
laksana matahari yang memancarkan cahaya sepanyang zaman menerangi hati
manusia.
“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang
kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang
kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya
telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan.
Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti
keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”
(QS.Al-Maa-idah:15-16)
II. Al-Quran Mukjizat Terbesar
Syi’ah meyakini bahwa al-Quran adalah mukjizat
utama Nabi Muhammad saw. Tapi bukan hanya dan sisi kefasihan, keanggunan
bahasa, keindahan keterangan-keterangannya, dan kesempurnaan maknanya
semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek lainnya. Untuk mengetahui
hal ini lebih jauh silahkan baca buku-buku aqidah dan ilmu kalam.
Karena itu Syi’ah meyakini bahwa tidak seorang pun
dapat membuat kitab seperti al-Quran atau bahkan sebuat surat sekalipun.
Al-Quran menantang siapa saja, bahkan secara berulang-ulang, agar
mereka membuat seperti al-Quran. Tapi tidak seorang pun yang mampu
memenuhi tantangan ini.
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak
akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka
menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Isra:88)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al
Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu
selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah:23)
Syi’ah meyakini bahwa al-Quran tidak akan surut
dengan berlalunya zaman. Malah kemukjizatannya semakin berkibar dan
keagungannya semakin tampak.
Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah swt tidak menjadikan
al-Quran hanya untuk suatu masa atau suatu kelompok manusia saja. Tapi
ia aktual untuk setiap zaman dan cocok untuk setiap masyarakat hingga
hari kiamat.“ (Bihar al-Anwar, 2:280, hadis no: 44)
III. Al-Quran Tidak Mengalami Perubahan
Syi’ah meyakini bahwa al-Quran yang ada di tangan
kaum Muslimin saat ini adalah al- Quran yang sama dengan yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad saw, tanpa sedikitpun mengalami penambahan atau
pengurangan.
Para penulis wahyu telah membukukan al-Quran sejak
hari-hari pertama turunnya wahyu. Kaum Muslimin senantiasa membacanya
siang dan malam dan pada saat melakukan shalat limawaktu. Banyak di
antara mereka yang hafal al-Quran di luar kepala. Dalam hal ini, para
penghapal dan pembaca al-Quran memperoleh kedudukan khusus dalam
masyarakat muslim. Banyak hal menyebabkan al-Quran terpelihara dari
penyimpangan dan perubahan, di samping itu, Allah sendiri telah menjamin
akan menjaganya sampai kapanpun. Oleh karena itu, al-Quran tidak akan
mengalami penyimpangan atau perubahan.
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr:9)
Para pakar dan ulama-ulama terkemuka Islam, baik
Sunni maupun Syi’ah, sepakat bahwa al-Quran terpelihara dengan baik dan
tidak mengalami sedikitpun perubahan atau tahrif. Kalau toh ada yang
berpandangan bahwa telah terjadi tahrif, baik dan pihak Syi’ah atau
Sunni, itu hanya oleh segelintir orang, yang nota bene hanya
bersandarkan kepada beberapa riwayat, yang oleh ulama kedua belah pihak
telah dinyatakan palsu, maudhu’, dan ditolak mentah-mentah, atau
dipahami dalam arti perubahan yang bersifat maknawi, al-tahrif
al-maknawi, yang berarti telah terjadi penyimpangan terhadap makna ayat
al- Quran, bukan redaksinya. Atau paling tidak, telah terjadi
pencampuradukan antara tafsir ayat di satu pihak dan teks asli al-Quran
di pihak lain.
Dengan demikian, orang-orang yang berpikiran
sempit, yang senantiasa menuding Syi’ah atau Sunni telah meyakini
tahrif, padahal ulama-ulama terkemuka kedua aliran ini telah menolak
mentah-mentah adanya tahrif itu. Sesungguhnya di satu sisi, dengan bodoh
telah menohok al-Quran, dan di sisi lain, telah membuat celah untuk
mempertanyakan keabsahan kitab samawi nan agung ini. Selain itu, telah
memberikan pengabdian besar kepada musuh dan orang-orang yang mengincar
Islam.
Selain itu, rnengarnati perjalanan sejarah
pembukuan al-Quran, jam’ul-qur’an, sejak zarnan Nabi saw dan perhatian
besar yang diberikan kaum Muslimin untuk menulis al- Quran,
menghafalnya, dan membacanya, serta adanya penulis-penulis wahyu sejak
hari- hari pertama turunnya al-Quran, mengungkapkan kepada kita suatu
kebenaran yang tidak dapat diingkari bahwa tangan-tangan jahil tidak
akan mampu menjamah al-Quran untuk melakukan tahrif sampai kapanpun.
Dalam pada itu Syi’ah tidak mempunyai al-Quran lain
selain yang beredar luas di tangan kaum Muslimin. Untuk menelusuri hal
ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Rumah-rumah kami, masjid,
perpustakaan, dan sebagainya penuh dengan al-Quran. Bahkan berbagai
museum malah menyimpan manuskrip-manuskrip al-Quran kuno yang berumur
ratusan tahun. Semuanya sama, sedikitpun tidak ada perbedaan. Dan jika
dulu penelusuran ini dirasa sulit, tapi masa kita sekarang ini, sama
sekali tidak ada kesulitannya, bahkan setiap orang bisa melakukannya
dengan baik dan ia akan sampai pada kesimpulan bahwa tudingan-tudingan
itu semuanya palsu.
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu)
tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira;
sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka
itulah orang-orang yang mempunyai akal. “ (QS. 39:17-18)
Dewasa ini, institusi-institusi pendidikan agama
kami, Hauzah, aktif mengkaji ilmu-ilmu al-Quran secara luas, yang salah
satu kajian pentingnya ialah kajian tentang tidak adanya tahrif dalam
al-Quran.
IV. Al-Quran dan Kebutuhan Materi Rohani Manusia
Syi’ah meyakini bahwa segala kebutuhan manusia,
apakah materi atau rohani, prinsip- prinsip dasarnya telah dijelaskan
oleh al-Quran. Al-Quran telah menjelaskan pokok- pokok pikiran tentang
politik dan pemerintahan, hubungan antar masyarakat prinsip- prinsip
pergaulan, perang, damai, hukum, ekonomi, dan sebagainya, yang jika
diterapkan pasti akan membawa kesejahteraan dalam kehidupan manusia.
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami
bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka
sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh
umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk
menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira
bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An-Nahl: 89)
Karena itu Syi’ah yakin bahwa Islam selamanya tidak
dapat dipisahkan dari masalah pemerintahan dan politik. Bahkan menyeru
pemeluknya agar memegang kendali urusan mereka sendiri supaya dapat
menghidupkan nilai-nilai Islam yang tinggi dan mendirikan masyarakat
yang Islami, yang menegakkan keadilan sejati, terhadap kawan maupun
lawan.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu
orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika
ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan. “ (QS. An-Nisaa’: 135)
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah,
menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
“ (QS. Al-Maa-idah:8)
V. Membaca, Mengkaji, dan Mengamalkan
Syi’ah meyakini bahwa membaca al-Quran merupakan
salah satu ibadah yang paling utama di antara ibadah-ibadah lainnya,
karena membaca al-Quran dapat membantu pembacanya melakukan telaah dan
kajian terhadap al-Quran. Sedangkan telaah dan kajian itu sendiri
merupakan sumber amal saleh. Allah menyeru nabi-Nya:
“Bangunlah (untuk shalat) di malam hari1,
kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari
seperdua itu sedikit atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil:2-4)
Dan menyeru seluruh kaum Muslimin:
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu
berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an.
Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah;
dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan
dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada
Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk
dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai
balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah
ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.“ (QS. Al-Muzzammil:20)
Akan terapi, seperti yang telah kami singgung di
atas, bacaan tersebut harus dapat mengantarkannya melakukan telaah dan
kajian terhadap al-Quran, baik terhadap makna maupun kandungannya,
kemudian menjadikannya mukaddimah bagi pengamalannya.
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci ? “(QS. Muhammad: 24)
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (QS. Al-Qamar:17)
“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (QS. Al-An’aam: 155)
Maka, orang-orang yang membatasi diri pada bacaan
dan hafalan saja dan tidak mengikutinya dengan perngkajian dan
pengamalannya suungguh rugi besar, karena betapa pun ia telah
mengamalkan salah satu di antara tiga rukun utama, tetapi sesungguhnya
ia telah menyia-nyiakan dua rukun lainnya yang lebih utama.
VI. Kaidah Penafsiran al-Quran
Syi’ah meyakini bahwa ayat-ayat al-Quran harus
dipahami sesuai pengertian umum dan makna harfiyah yang dikandungnya,
kecuali jika ada indikasi rasional, qarinah aqliyah atau tertulis,
qarinah naqliyah, di dalam atau di luar ayat, yang menunjukkan makna
lain. Akan tetapi qarinah atau indikasi yang dimaksud tidak boleh
bersifat meragukan. Demikian pula tidak boleh menafsirkan al-Quran hanya
berdasarkan asumsi dan perkiraan.
Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-‘ama atau buta dalam ayat,” Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat”,
(QS. Al-Isra:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana
makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih.
Dengan demikian, maksud buta pada ayat di atas ialah buta hati atau
nurani. Mengapa kita tafsirkan seperti itu? Karena demikianlah indikasi
rasional atau qarinah aqliyahnya.
Demikian pula ketika al-Quran menggambarkan sekelompok musuh Islam sebagai:
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru)
orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang
yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah:171)
Jelas sekali bahwa yang dimaksud al-Quran dengan
sifat-sifat tersebut di atas bukan sifat- sifat fisik, tapi sifat-sifat
batin. Pemahaman seperti ini berdasarkan qarinah yang ada.
Demikian pula ketika Allah berfirman, “Orang-orang
Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah
yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah
mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah
terbuka…” (QS. Al-Maaidah:64), atau, “Dan buatlah bahtera itu dengan mata dan petunjuk wahyu Kami…”
(QS. Hud:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau
tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan
ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil
demikian.
Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk
kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang
besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah
pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.
Oleh karena itu Syi’ah tidak dapat membenarkan
sikap Jumud atau kaku terhadap kalimat-kalimat di atas, baik yang
menyangkut sifat-sifat Allah atau bukan, demikian pula sikap tidak
mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah, karena patuh kepada qarinah
merupakan sikap para uqala’, orang-orang berakal, bahkan al-Quran pun
menganut sikap ini, seperti yang ditegaskan-Nya:
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun,
melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan
dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia
kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan
Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim:4)
Hanya saja perlu diingat bahwa qarinah yang dimaksud harus jelas dan pasti, seperti yang telah kami singgung sebelum ini.
VII. Bahaya Tafsir bi al-Ra’yi
Syi’ah percaya bahwa tafsir bi al-ra’yi atau
menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu
hal yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis menggolongkannya
sebagai salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya diusir dari
hadirat Allah Swt. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa
Allah Swt berfirman:
“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pandangannya sendiri. “ (Wasail, 28:18, hadis no. 22)
Ini amat jelas karena seorang mukmin yang baik
tidak akan menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam hadis lain, yang
banyak dimuat oleh kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi, Nasai, Abu
Daud, dan sebagainya disebutkan bahwa:
“Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran
dengan pandangannya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui,
maka tempatnya adalah neraka.” (Mabahits fi Ulumil-quran : 304)
Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’y atau
menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan
al-Quran semaunya, sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan
kelompoknya, tanpa disertai qariah atau bukti yang menyertai makna ayat
itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya bukan mengikuti al-Quran, tapi
bermaksud agar al-Quran mengikutinya. Dan tentu saja, orang yang
memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan melakukan hal ini.
Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra’yi ini
dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang
akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas berbagai
aqidah yang menyimpang.
Dengan demikian, tafsir bi al-ra’yi ialah
penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman
pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang
sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat
mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.
Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra’yi.
Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang sesuai dengan pandangannya
saja. Misalnya, ketika ia menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah,
dan sebagainya, maka ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang sesuai
dengan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak
sesuai dengan pandangannya, yang justeru dapat berfungsi sebagai
penjelas ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud atau kaku terhadap ayat-ayat
al-Quran dan tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah yang benar
merupakan bagian dari penyimpangan terhadap al-Quran. Demikian pula
tafsir bi al-ra’yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan
nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.
VIII. Sunnah Yang Diilhami Al-Quran
Syi’ah meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengatakan, kafana kitabullah, cukup bagi kami kitab Allah saja,
dan bersikap masa bodoh kepada hadis Nabi yang berfungsi menafsirkan
kebenaran-kebenaran al-Quran, menjelaskan nasikh dan mansuk, khas dan
‘am, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena,
ayat-ayat al- Quran sendiri menjadikan sunnah Nabi dan sirahnya sebagai
hujjah bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan
menyimpulkan hukum, istinbath al-ahkam.
“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr:7)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min
dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan
Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab:36)
Maka, orang yang tidak peduli kepada al-Sunnah sesungguhnya telah memalingkan diri dari al-Quran.Tentu
saja al-Sunnah harus diambil dari jalur-jalur yang benar, muktabarah,
karena tidak semua apa yang dikatakan dari Nabi adalah betul-betul dari
Nabi, karena banyak yang berbohong atas nama Nabi saw.
Ya, Rasulullah saw memang mengetahui masa depan
umatnya dan problema-problema yang akan menghadang mereka. Karena itu,
ia memberikan jalan keluar kepada mereka yang tercermin dalam mengikuti
al-Quran dan (sunnah Nabi melalui,peny ) imam-imam Ahlulbait. ( Dalam
Syiah pernyataan para imam Ahlulbait adalah hadis dari Nabi saw dan apa
pun yang mereka ucapkan sesungguhnya sampai kepada mereka dari orang tua
mereka hingga ke Nabi saw. Dalam istilah populer, sanad ucapan mereka
sampai kepada Nabi Saw. Peny ).
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)