Wednesday, October 22, 2014

Aqidah Syi'ah tentang Kitab Suci Al-quran

I.     Falsafah Turunnya Kitab Samawi
 
Syi’ah meyakini bahwa Allah Swt telah menurunkan sejumlah kitab samawi untuk menuntun umat manusia ke jalan yang lurus, antara lain: Sahifah Ibrahim dan Nuh, Taurat, Injil, dan al-Quran, yang merupakan kitab paling sempurna. Jika kitab-kitab ini tidak turun, maka manusia akan tersesat dalam perjalanannya menuju ma’rifatullah dan dalam beribadah kepada-Nya. Manusia juga akan kehilangan dasar-dasar taqwa, akhlak, pendidikan, dan aturan-aturan sosial yang dibutuhkannya.

Kitab-kitab samawi ini menyirami rohani manusia bagaikan hujan yang mengguyur bumi dan menumbuhkan di dalamnya bibit-bibit taqwa, akhlak, ma’rifatullah, pengetahuan, dan al-hikmah.

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan kami ta’at.” (Mereka berdo’a): “Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah:285)

Tapi sayang, banyak di antara kitab-kitab samawi itu, telah diselewengkan oleh tangan- tangan jahil dan orang-orang bodoh serta disusupi pikiran-pikiran yang menyesatkan, kecuali al-Quran, yang oleh sebab-sebab yang akan kami jelaskan nanti pada tempatnya tidak dapat dijangkau oleh tangan-tangan kotor untuk diselewengkan. Al-Quran laksana matahari yang memancarkan cahaya sepanyang zaman menerangi hati manusia.

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.”  (QS.Al-Maa-idah:15-16)

II.   Al-Quran Mukjizat Terbesar

Syi’ah meyakini bahwa al-Quran adalah mukjizat utama Nabi Muhammad saw. Tapi bukan hanya dan sisi kefasihan, keanggunan bahasa, keindahan keterangan-keterangannya, dan kesempurnaan maknanya semata, melainkan juga mencakup aspek-aspek lainnya. Untuk mengetahui hal ini lebih jauh silahkan baca buku-buku aqidah dan ilmu kalam.

Karena itu Syi’ah meyakini bahwa tidak seorang pun dapat membuat kitab seperti al-Quran atau bahkan sebuat surat sekalipun. Al-Quran menantang siapa saja, bahkan secara berulang-ulang, agar mereka membuat seperti al-Quran. Tapi tidak seorang pun yang mampu memenuhi tantangan ini.

“Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.” (QS. Al-Isra:88)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah:23)

Syi’ah meyakini bahwa al-Quran tidak akan surut dengan berlalunya zaman. Malah kemukjizatannya semakin berkibar dan keagungannya semakin tampak.

Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq as dikatakan bahwa:
“Sesungguhnya Allah swt tidak menjadikan al-Quran hanya untuk suatu masa atau suatu kelompok manusia saja. Tapi ia aktual untuk setiap zaman dan cocok untuk setiap masyarakat hingga hari kiamat.“ (Bihar al-Anwar, 2:280, hadis no: 44)

III.    Al-Quran Tidak Mengalami Perubahan

Syi’ah meyakini bahwa al-Quran yang ada di tangan kaum Muslimin saat ini adalah al- Quran yang sama dengan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, tanpa sedikitpun mengalami penambahan atau pengurangan.

Para penulis wahyu telah membukukan al-Quran sejak hari-hari pertama turunnya wahyu. Kaum Muslimin senantiasa membacanya siang dan malam dan pada saat melakukan shalat limawaktu. Banyak di antara mereka yang hafal al-Quran di luar kepala. Dalam hal ini, para penghapal dan pembaca al-Quran memperoleh kedudukan khusus dalam masyarakat muslim. Banyak hal menyebabkan al-Quran terpelihara dari penyimpangan dan perubahan, di samping itu, Allah sendiri telah menjamin akan menjaganya sampai kapanpun. Oleh karena itu, al-Quran tidak akan mengalami penyimpangan atau perubahan.

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr:9)

Para pakar dan ulama-ulama terkemuka Islam, baik Sunni maupun Syi’ah, sepakat bahwa al-Quran terpelihara dengan baik dan tidak mengalami sedikitpun perubahan atau tahrif. Kalau toh ada yang berpandangan bahwa telah terjadi tahrif, baik dan pihak Syi’ah atau Sunni, itu hanya oleh segelintir orang, yang nota bene hanya bersandarkan kepada beberapa riwayat, yang oleh ulama kedua belah pihak telah dinyatakan palsu, maudhu’, dan ditolak mentah-mentah, atau dipahami dalam arti perubahan yang bersifat maknawi, al-tahrif al-maknawi, yang berarti telah terjadi penyimpangan terhadap makna ayat al- Quran, bukan redaksinya. Atau paling tidak, telah terjadi pencampuradukan antara tafsir ayat di satu pihak dan teks asli al-Quran di pihak lain.

Dengan demikian, orang-orang yang berpikiran sempit, yang senantiasa menuding Syi’ah atau Sunni telah meyakini tahrif, padahal ulama-ulama terkemuka kedua aliran ini telah menolak mentah-mentah adanya tahrif itu. Sesungguhnya di satu sisi, dengan bodoh telah menohok al-Quran, dan di sisi lain, telah membuat celah untuk mempertanyakan keabsahan kitab samawi nan agung ini. Selain itu, telah memberikan pengabdian besar kepada musuh dan orang-orang yang mengincar Islam.

Selain itu, rnengarnati perjalanan sejarah pembukuan al-Quran, jam’ul-qur’an, sejak zarnan Nabi saw dan perhatian besar yang diberikan kaum Muslimin untuk menulis al- Quran, menghafalnya, dan membacanya, serta adanya penulis-penulis wahyu sejak hari- hari pertama turunnya al-Quran, mengungkapkan kepada kita suatu kebenaran yang tidak dapat diingkari bahwa tangan-tangan jahil tidak akan mampu menjamah al-Quran untuk melakukan tahrif sampai kapanpun.

Dalam pada itu Syi’ah tidak mempunyai al-Quran lain selain yang beredar luas di tangan kaum Muslimin. Untuk menelusuri hal ini, bukanlah sesuatu yang sulit. Rumah-rumah kami, masjid, perpustakaan, dan sebagainya penuh dengan al-Quran. Bahkan berbagai museum malah menyimpan manuskrip-manuskrip al-Quran kuno yang berumur ratusan tahun. Semuanya sama, sedikitpun tidak ada perbedaan. Dan jika dulu penelusuran ini dirasa sulit, tapi masa kita sekarang ini, sama sekali tidak ada kesulitannya, bahkan setiap orang bisa melakukannya dengan baik dan ia akan sampai pada kesimpulan bahwa tudingan-tudingan itu semuanya palsu.

“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal. “ (QS. 39:17-18)

Dewasa ini, institusi-institusi pendidikan agama kami, Hauzah, aktif mengkaji ilmu-ilmu al-Quran secara luas, yang salah satu kajian pentingnya ialah kajian tentang tidak adanya tahrif dalam al-Quran.

IV.    Al-Quran dan Kebutuhan Materi Rohani Manusia

Syi’ah meyakini bahwa segala kebutuhan manusia, apakah materi atau rohani, prinsip- prinsip dasarnya telah dijelaskan oleh al-Quran. Al-Quran telah menjelaskan pokok- pokok pikiran tentang politik dan pemerintahan, hubungan antar masyarakat prinsip- prinsip pergaulan, perang, damai, hukum, ekonomi, dan sebagainya, yang jika diterapkan pasti akan membawa kesejahteraan dalam kehidupan manusia.

“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”  (QS. An-Nahl: 89)

Karena itu Syi’ah yakin bahwa Islam selamanya tidak dapat dipisahkan dari masalah pemerintahan dan politik. Bahkan menyeru pemeluknya agar memegang kendali urusan mereka sendiri supaya dapat menghidupkan nilai-nilai Islam yang tinggi dan mendirikan masyarakat yang Islami, yang menegakkan keadilan sejati, terhadap kawan maupun lawan.

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. “ (QS. An-Nisaa’: 135)

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. “ (QS. Al-Maa-idah:8)

V.      Membaca, Mengkaji, dan Mengamalkan

Syi’ah meyakini bahwa membaca al-Quran merupakan salah satu ibadah yang paling utama di antara ibadah-ibadah lainnya, karena membaca al-Quran dapat membantu pembacanya melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran. Sedangkan telaah dan kajian itu sendiri merupakan sumber amal saleh. Allah menyeru nabi-Nya:

“Bangunlah (untuk shalat) di malam hari1, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit  atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Qur’an itu dengan perlahan-lahan. (QS. Al-Muzzammil:2-4)

Dan menyeru seluruh kaum Muslimin:

“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Qur’an dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (QS. Al-Muzzammil:20)

Akan terapi, seperti yang telah kami singgung di atas, bacaan tersebut harus dapat mengantarkannya melakukan telaah dan kajian terhadap al-Quran, baik terhadap makna maupun kandungannya, kemudian menjadikannya mukaddimah bagi pengamalannya.

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci ? “(QS. Muhammad: 24)

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quraan untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran ?” (QS. Al-Qamar:17)

“Dan Al-Quran itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.”  (QS. Al-An’aam: 155)

Maka, orang-orang yang membatasi diri pada bacaan dan hafalan saja dan tidak mengikutinya dengan perngkajian dan pengamalannya suungguh rugi besar, karena betapa pun ia telah mengamalkan salah satu di antara tiga rukun utama, tetapi sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan dua rukun lainnya yang lebih utama.

VI.    Kaidah Penafsiran al-Quran

Syi’ah meyakini bahwa ayat-ayat al-Quran harus dipahami sesuai pengertian umum dan makna harfiyah yang dikandungnya, kecuali jika ada indikasi rasional, qarinah aqliyah atau tertulis, qarinah naqliyah, di dalam atau di luar ayat, yang menunjukkan makna lain. Akan tetapi qarinah atau indikasi yang dimaksud tidak boleh bersifat meragukan. Demikian pula tidak boleh menafsirkan al-Quran hanya berdasarkan asumsi dan perkiraan.

Sebagai contoh, kita yakin bahwa maksud kata al-‘ama atau buta dalam ayat,” Barangsiapa buta di dunia akan buta pula di akhirat”, (QS. Al-Isra:72), sudah pasti bukan dalam arti buta fisik, sebagaimana makna harfiyah, karena banyak sekali orang buta, tapi baik dan salih. Dengan demikian, maksud buta pada ayat di atas ialah buta hati atau nurani. Mengapa kita tafsirkan seperti itu? Karena demikianlah indikasi rasional atau qarinah aqliyahnya.

Demikian pula ketika al-Quran menggambarkan sekelompok musuh Islam sebagai:
“Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (QS. Al-Baqarah:171)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud al-Quran dengan sifat-sifat tersebut di atas bukan sifat- sifat fisik, tapi sifat-sifat batin. Pemahaman seperti ini berdasarkan qarinah yang ada.

Demikian pula ketika Allah berfirman, “Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka…”  (QS. Al-Maaidah:64), atau, “Dan buatlah bahtera itu dengan mata dan petunjuk wahyu Kami…” (QS. Hud:37), sama sekali tidak dapat dipahami dalam arti mata atau tangan fisik, karena setiap fisik mempunyai bagian-bagian dan memerlukan ruang, waktu, dan arah sehingga ia akan punah, sedangkan Allah mustahil demikian.

Kalau begitu, maka makna yang paling tepat untuk kata “kedua tangan-Nya” pada ayat di atas ialah kekuasaan-Nya yang besar, di mana semua alam tunduk pada-Nya. Sedangkan makna “mata”, ialah pengetahuan-Nya terhadap segala sesuatu.

Oleh karena itu Syi’ah tidak dapat membenarkan sikap Jumud atau kaku terhadap kalimat-kalimat di atas, baik yang menyangkut sifat-sifat Allah atau bukan, demikian pula sikap tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah, karena patuh kepada qarinah merupakan sikap para uqala’, orang-orang berakal, bahkan al-Quran pun menganut sikap ini, seperti yang ditegaskan-Nya:

“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ibrahim:4)

Hanya saja perlu diingat bahwa qarinah yang dimaksud harus jelas dan pasti, seperti yang telah kami singgung sebelum ini.

VII.  Bahaya Tafsir bi al-Ra’yi

Syi’ah percaya bahwa tafsir bi al-ra’yi atau menafsirkan al-Quran berdasarkan pandangan sendiri merupakan salah satu hal yang paling riskan terhadap al-Quran. Hadis-hadis menggolongkannya sebagai salah satu dosa besar, kabirah, sedangkan pelakunya diusir dari hadirat Allah Swt. Misalnya dalam sebuah hadis qudsi disebutkan bahwa Allah Swt berfirman:

“Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang menafsirkan ucapan-Ku dengan pandangannya sendiri. “ (Wasail, 28:18, hadis no. 22)

Ini amat jelas karena seorang mukmin yang baik tidak akan menafsirkan ucapan Allah semaunya. Dalam hadis lain, yang banyak dimuat oleh kitab-kitab utama hadis seperti Turmuzi, Nasai, Abu Daud, dan sebagainya disebutkan bahwa:

“Barangsiapa mengatakan sesuatu pada Al-Quran dengan pandangannya sendiri atau dengan sesuatu yang ia tidak ketahui, maka tempatnya adalah neraka.”  (Mabahits fi Ulumil-quran : 304)

Adapun yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’y atau menafsirkan al-Quran dengan pandangannya sendiri lalah menafsirkan al-Quran semaunya, sesuai kepentingan dirinya atau kepentingan kelompoknya, tanpa disertai qariah atau bukti yang menyertai makna ayat itu. Penafsir seperti ini pada dasarnya bukan mengikuti al-Quran, tapi bermaksud agar al-Quran mengikutinya. Dan tentu saja, orang yang memiliki iman yang utuh kepada al-Quran tidak akan melakukan hal ini.

Selain itu, jika pintu tafsir bi al-ra’yi ini dibuka, maka al-Quran akan kehilangan jati dirinya, sebab setiap orang akan menafsirkannya semaunya dan menerapkan al-Quran atas berbagai aqidah yang menyimpang.

Dengan demikian, tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran yang menyimpang dari kaidah bahasa, sastra, dan pemahaman pemilik bahasa, serta menerapkan al-Quran atas pandangan-pandangan yang sesat, kemauan-kemauan pribadi dan kelompok, sesuatu yang dapat mengakibatkan penyimpangan makna al-Quran.

Masih terdapat beberapa bentuk tafsir bi al-ra’yi. Salah satunya ialah memilih ayat-ayat yang sesuai dengan pandangannya saja. Misalnya, ketika ia menjelaskan masalah syafaat, tauhid, imamah, dan sebagainya, maka ia hanya memilih ayat-ayat terkait yang sesuai dengan pandangannya saja dan meninggalkan ayat-ayat lain yang tidak sesuai dengan pandangannya, yang justeru dapat berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat lain.
Singkat kata, jumud atau kaku terhadap ayat-ayat al-Quran dan tidak mengindahkan qarinah aqliyah dan naqliyah yang benar merupakan bagian dari penyimpangan terhadap al-Quran. Demikian pula tafsir bi al-ra’yi. Keduanya membuat kita jauh dan ajaran dan nilai-nilai al-Quran yang amat tinggi.

VIII.   Sunnah Yang Diilhami Al-Quran

Syi’ah meyakini bahwa seseorang tidak dapat mengatakan, kafana kitabullah, cukup bagi kami kitab Allah saja, dan bersikap masa bodoh kepada hadis Nabi yang berfungsi menafsirkan kebenaran-kebenaran al-Quran, menjelaskan nasikh dan mansuk, khas dan ‘am, serta menerangkan pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, karena, ayat-ayat al- Quran sendiri menjadikan sunnah Nabi dan sirahnya sebagai hujjah bagi Muslimin dan sumber utama untuk memahami agama dan menyimpulkan hukum, istinbath al-ahkam.

“… Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al-Hasyr:7)

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzab:36)

Maka, orang yang tidak peduli kepada al-Sunnah sesungguhnya telah memalingkan diri dari al-Quran.Tentu saja al-Sunnah harus diambil dari jalur-jalur yang benar, muktabarah, karena tidak semua apa yang dikatakan dari Nabi adalah betul-betul dari Nabi, karena banyak yang berbohong atas nama Nabi saw.
Ya, Rasulullah saw memang mengetahui masa depan umatnya dan problema-problema yang akan menghadang mereka. Karena itu, ia memberikan jalan keluar kepada mereka yang tercermin dalam mengikuti al-Quran dan (sunnah Nabi melalui,peny ) imam-imam Ahlulbait. ( Dalam Syiah pernyataan para imam Ahlulbait adalah hadis dari Nabi saw dan apa pun yang mereka ucapkan sesungguhnya sampai kepada mereka dari orang tua mereka hingga ke Nabi saw. Dalam istilah populer, sanad ucapan mereka sampai kepada Nabi Saw. Peny ).

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda, Silahkan tinggalkan komentar :)