Mazhab Syi’ah Ja’fariyah
1. Mazhab Syiah Ja’fariyah adalah sebuah kelompok
besar dari umat Islam pada masa sekarang ini, dan jumlah mereka diperkirakan ¼
jumlah umat Islam. Latar belakang sejarahnya bermuara pada masa permulaan
Islam, yaitu saat turunnya firman Allah swt. surat Al-Bayyinah ayat 7 :
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
أُوْلَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّة
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
shaleh, mereka adalah sebaik-baiknya penduduk bumi. (QS. Al Bayyinah [98]:7)
Selekas itu, Rasulullah saw. meletakkan tangannya
di atas pundak Ali bin Abi Thalib a.s., sedang para sahabat hadir dan
menyaksikannya, seraya bersabda: “Hai Ali!, Kau dan para syi’ahmu adalah
sebaik-baiknya penduduk bumi”. [1]
Dari sinilah, kelompok ini disebut dengan nama
“syi’ah”, dan dinisbatkan kepada Ja’far Ash-Shadiq a.s. karena mengikuti beliau
dalam bidang fiqih.
2. Banyak dari kelompok ini yang tinggal di Iran,
Irak, Palestina, Afganistan, India, dan tersebar secara luas ke negara-negara
republik yang memisahkan diri dari Rusia, juga ke negara-negara Eropa, seperti
Inggris, Jerman, Perancis, Amerika, dan Benua Afrika serta Asia timur. Mereka
memiliki masjid-masjid, Islamic Center, pusat-pusat kegiatan budaya dan sosial.
3. Kaum Syi’ah Ja’fariyah terdiri dari bangsa,
suku, bahasa dan warna yang berbeda-beda. Mereka hidup secara berdampingan
dengan saudara-saudara muslim yang lain dari golongan dan mazhab yang berbeda
dengan penuh kedamaian dan kasih sayang. Dan mereka saling mem-bantu dan
bekerja sama di segala bidang dengan penuh
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhya orang-orang mukmin adalah saudara.
(QS. Al-Hujurat [49]:10)
Dan firman Allah swt.:
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى
Saling tolong-menolonglah dalam kebaikan dan
taqwa”. (QS. Al-Maidah [5]:ٰ)
Dan berpegang teguh pada sabda Nabi saw.:
“Orang-orang muslim – satu sama lainnya- laksana tangan yang satu”. [2] Juga
sabda yang lain dari beliau: “Orang-orang mukmin (satu sama lainnya) seperti satu
tubuh”.[3]
4. Sepanjang sejarah Islam, mereka memiliki sikap
disegani dan posisi yang cemerlang dalam membela Islam dan kaum muslimin.
Mereka juga telah mampu mendirikan pemerintahan-pemerintahan dan negara-negara
yang ber-khidmat pada peradaban Islam. Begitu juga, mereka memiliki ulama-ulama
serta ahli-ahli yang telah menyum-bangkan tenaga dan seluruh pikiran mereka
untuk memperkaya warisan-warisan Islam; dengan cara menulis ratusan ribu
karangan, buku-buku kecil dan besar di bidang tafsir Al-Quran, hadis, akidah,
fiqih, ushul fiqih, akhlak, dirayah, rijal, filsafat, nasihat-nasihat, sistem
pemerintahan dan kemasyarakatan, bahasa dan sastra bahkan kedokteran, fisika,
kimia, matematika, astronomi, ilmu-ilmu biologi, dan cabang-cabang ilmu
lainnya. Dalam berbagai disiplin ilmu mereka memainkan peran sebagai perintis
dan pencetus berbagai bidang keilmuan.[4]
5. Mereka percaya kepada Allah Yang Maha Esa,
tempat bergantung segala sesuatu, yang tidak beranak, tidak pula diperanakkan,
serta tak ada sekutu bagi-Nya. Mereka menafikan dari Dzat Allah swt. segala
sifat-sifat kebendaan, anak, tempat, zaman, perubahan, gerak, naik dan turun,
dan lain sebagainya yang tidak layak bagi keagungan, kesucian, kesempurnaan dan
keindahan-Nya. Mereka juga meyakini bahwa hanya Dialah yang layak disembah,
bahwa hukum serta syariat hanyalah milik dan hak-Nya, dan bahwa kemusyrikan
dengan segala macam-nya, secara terbuka maupun rahasia—adalah kezaliman yang
amat besar dan dosa yang tak terampunkan.
Mereka percaya akan semua ini dapat dibuktikan
atas dasar akal yang sehat yang sejalan dengan Al-Quran dan hadits shahih; dari
manapun sumbernya. Mereka tidak bersandar pada hadis-hadis Israiliyat dalam
bidang akidah, tidak pula mengambil ajaran dari hadis-hadis yang diriwayatkan
oleh orang-orang Majusi; yang menggam-barkan Allah swt. dalam bentuk manusia,
menyerupakan-Nya dengan makhluk-makhluk, atau menyandarkan perbuatan zalim dan
kesia-siaan kepada-Nya. Sesung-guhnya Allah Maha Suci dan Maha Luhur dari apa
yang mereka duga atau menisbatkan perbuatan tercela kepada para nabi a.s.
secara mutlak.
6. Mereka meyakini bahwa Allah swt. Maha Adil dan
Maha Bijaksana. Dia menciptakan alam semesta atas dasar keadilan dan
kebijaksanaan. Dia tidak pernah mencip-takan sesuatu secara sia-sia, baik benda-benda
mati, tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia, langit atau bumi, karena kesia-siaan itu
bertentangan dengan keadilan dan kebijaksanaan, juga bertentangan dengan
sifat-Nya yang melazimkan setiap kesempurnaan yang niscaya dimiliki-Nya, serta
melazimkan penafian segala kekurangan dari Dzat-nya.
7. Mereka meyakini bahwa Allah swt.—dengan
keadilan dan kebijasanaan-Nya—telah mengutus kepada manusia para nabi dan rasul
yang diangkat sebagai manusia-manusia maksum dan memiliki pengetahuan yang
luas, yang bersumber dari wahyu untuk memberi hidayah kepada manusia, membantu
mereka mencapai kesem-purnaan yang diharapkan, dan mengarahkan mereka kepada
ketaatan yang menurunkan surga, dan menyam-paikan mereka kepada rahmat dan
keridhaan Allah swt.
Di antara para nabi dan rasul itu adalah Adam
a.s., Nuh a.s., Ibrahim a.s., Musa a.s. dan nama-nama lainnya yang telah
disebutkan oleh Al-Quran, atau yang ada disebutkan nama dan keadaan-keadaan
mereka dalam hadis-hadis yang mulia..
8. Mereka percaya bahwa siapa yang taat kepada Allah
swt. dan melaksanakan perintah-perintah dan aturan-aturan-Nya di segala bidang
kehidupan, ia akan selamat dan beruntung, serta layak mendapatkan pujian dan
pahala,. meskipun ia hamba sahaya dari Afrika. Dan sebaliknya, siapa yang
bermaksiat kepada Allah swt. dan pura-pura bodoh terhadap segala perintah-Nya
dan menerapkan hukum-hukum selain hukum-hukum Allah, ia akan rugi dan binasa,
dan layak mendapatkan hujatan dan siksa, meskipun ia seorang tuan atau sayyid
dari bangsa Quraisy, sebagaimana yang terdapat dalam hadis Nabi saw.
Mereka meyakini bahwa tempat pahala dan siksa
adalah Hari kiamat, yang di dalamnya terdapat hari perhitungan, timbangan,
surga, dan neraka. Dan hal itu akan terjadi setelah melewati alam kubur dan
alam barzakh. Mereka juga menolak reinkarnasi (tanâsukh) yang dianut oleh
sebagian pengingkar Hari Kebangkitan, karena mempercayainya berarti mendustakan
Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw.
9. Mereka meyakini bahwa nabi, rasul terakhir dan
yang paling utama adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib saw., yang
telah dijaga dari kesalahan dan ketergelinciran, dan Allah telah memeliharanya
dari segala maksiat, baik yang besar maupun yang kecil, sebelum dan sesudah
menjadi nabi, dalam tablig maupun di luar tablig. Dan Allah swt. telah menurunkan
kepada-nya Al-Quran untuk dijadikan sebagai pedoman hidup manusia sepanjang
masa. Nabi saw. telah meyampaikan risalah-Nya dan menunaikan amanat-Nya dengan
benar dan ikhlas. Kaum Syi’ah mempunyai puluhan ribu karya di bidang penulisan
siroh nabawi, kepribadian, sifat-sifat, keistimewaan dan mukjizat-mukjizat Nabi
saw. [5]
10. Mereka meyakini bahwa Al-Quran yang
diturunkan kepada Rasulullah saw. melalui Jibril a.s. dan ditulis oleh
sekelompok sahabat-sahabat besar generasi pertama. Di antara mereka adalah Ali
bin Abi Thalib a.s. pada masa Nabi saw. dan melakukan penulisan wahyu di bawah
pengawasannya. Dan karena perintah dan petunjuknya, mereka menghafal dan
menyempurnakannya, menghitung huruf-hurufnya, kata-katanya, surat-surat dan
ayat-ayatnya. Dan mereka menurunkan ke generasi berikutnya. Kitab suci inilah
yang dibaca umat Islam saat ini dengan berbagai macam kelompok, siang dan
malam, tanpa ada penambahan, pengurangan dan perubahan. Dan kaum Syi’ah dalam
bidang ini memiliki karya-karya tulis yang banyak, baik yang besar maupun yang
kecil.[6]
11. Mereka meyakini bahwa tatkala Rasulullah saw.
sudah dekat ajalnya, beliau mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan
pemimpin umat Islam sepening-galnya secara politis dan mengarahkan mereka
kepada Ali untuk mengikutinya, baik dalam pemikiran atau dalam pemecahan
persoalan hidup mereka, dan mene-ruskan pendidikan dan pembinaan mereka.
Pengang-katan itu atas dasar perintah dari Allah di sebuah tempat yang dikenal
dengan nama “Ghadir Khum” di akhir usia dan haji terakhirnya, dan di tengah
kumpulan manusia yang ikut berhaji dengan Nabi saw. Menurut sebagian riwayat,
jumlah mereka lebih dari 100 ribu orang.
Pada kesempatan itu beberapa ayat Al-Quran telah
turun, di antaranya:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ
إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu, dan jika engkau itdak melaksanakannya berarti engkau
tidak menyampai-kan risalah. Dan Allah akan melindungimu dari manusia.
Sesungguhnya Allah tidak akan memberi pentunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS.
Al Maidah [5]:67)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini Aku sempurnakan untukmu agamamu
dan aku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan Aku relakan Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Maidah [5]: 3)
الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن
دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ
“Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa
dari agamamu, maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku.”
(QS Al-Maidah [5]:3)
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ لِّلْكَافِرينَ
لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Seorang penanya bertanya tentang suatu kejadian
ke atas orang-orang kafir, azab yang tidak ada penghalang (langsung).” (QS.
Al-Ma’arij [70]:1-2)
Begitu juga Nabi saw. meminta orang-orang untuk
berbaiat kepada Ali dengan berjabat tangan. Maka merekapun segera berbaiat. Dan
orang pertama dari mereka adalah tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar, serta
sahabat-sahabat ternama.[7]
12. Mereka meyakini bahwa imam setelah Rasulullah
saw. harus melakukan apa-apa yang pernah dilakukan Nabi saw. semasa hidup
beliau, yaitu tugas-tugas memimpin dan memberikan petunjuk, pendidikan dan
pengajaran, menjelaskan hukum-hukum, mengatasi problematika pemikiran, serta
mejelaskan urusan sosial yang penting. Maka, imam juga harus menjadi kepercayaan
umat, agar mereka bisa diarahkan pada ketentraman. Oleh karena itu, seorang
imam menyerupai Nabi dalam kemampuan dan sifat, di antaranya kemaksuman
(‘ishmah) dan ilmu yang luas. Karena, imam sama seperti Nabi dalam kewenangan
dan tanggung jawab kecuali menerima wahyu dan kenabian, sebab kenabian telah
tertutup dan berakhir pada Rasulullah saw., beliau adalah penutup para nabi dan
rasul. Agamanya adalah pemungkas seluruh agama, syariatnya pemungkas seluruh
syariat, kitabnya pemungkas seluruh syariat, kitabnya pemungkas seluruh kitab.
Tidak ada nabi setelahnya, tidak ada agama setelah agamanya, tidak ada syariat
setelah syariatnya. Dan Syi’ah dalam hal ini memiliki karya-karya tulis yang
banyak dan berbagai corak..
13. Mereka meyakini bahwa kebutuhan umat terhadap
pemimpin yang laik dan maksum, mengharuskan agar tidak cukup dengan penunjukan
Ali a.s. saja sebagai khalifah dan pemimpin setelah Nabi, tetapi ini harus
berkesinambungan sampai masa yang panjang dan sampai akar-akar Islam mengokoh
dan dasar-dasar syariat terjaga, serta pilar-pilarnya terpelihara dari segala
bahaya yang mengancam setiap akidah dan aturan-aturan Tuhan. Hendaknya para
imam dapat memberikan contoh praktis dan program yang sesuai dengan
kondisi-kondisi yang akan dialami umat Islam setelahnya.
14. Mereka meyakini bahwa karena sebab tersebut
di atas dan karena adanya hikmah yang tinggi, dengan perintah Allah swt. Nabi
saw. telah menentukan 11 Imam setelah Imam Ali bin Abi Thalib a.s. Dengan
demikian, jumlah mereka adalah 12 imam. Jumlah ini bahkan nama etnis mereka
(Quraisy) telah disinggung—meski tidak disebut-kan nama dan ciri-ciri
khasnya—dalam kitab Shahih Bukhori, Shahih Muslim, dengan redaksi yang
berbeda-beda, seperti yang diriwayatkan dari Rasulullah saw. Bahwa:
“Sesungguhnya agama ini akan senantiasa berjalan, tegak, mulia dan kuat selama
di antara umat ada dua belas pemimpin atau khalifah yang semuanya berasal dari
Quraisy”. (atau Bani Hasyim, sebagaimana yang terdapat dalam sebagian kitab).
Bahkan disebutkan pula nama-nama mereka dalam sebagian kitab selain Kutub
As-Sittah, yaitu buku-buku tentang keutamaan (manâqib), syair dan sastra.
Meskipun hadis-hadis ini tidak secara langsung menye-butkan dan menentukan dua
belas Imam, yaitu Ali dan 11 Imam dari keturunannya, hanya saja hadis-hadis
tersebut tidak bisa dimaknai kecuali keyakinan Syi’ah Ja’fariyah. Dan tidak ada
penafsiran yang relevan untuk hadis-hadis tersebut kecuali penafsiran
mereka.[8]
15. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa 12 imam itu
ialah :
1. Imam Ali bin Abi Thalib Al-Mujtaba a.s.
2. Imam Hasan Al-Mujtaba a.s.
3. Imam Husain Sayyid Asy-Syuhada a.s. (keduanya
adalah putra Imam Ali dan Sayidah Fatimah a.s. dan cucunda Nabi saw.
4. Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad a.s.
5. Imam Muhammad bin Ali Al-Bagir a.s.
6. Imam Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq a.s.
7. Imam Musa bin Ja’far Al-Khadzim a.s.
8. Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
9. Imam Muhammad bin Ali Al-Jawad-At-Taqi a.s.
10. Imam Ali bin Muhammad Al-Hadi- An-Naqi) a.s.
11. Imam Hasan bin Ali Al-‘Askari a.s.
12. Imam Muhammad bin Hasan Al-Mahdi Al-Muntazhar
a.s. yang dijanjikan dan dinantikan.
Para ahli sastra unggulan dari luar mazhab
Syi’ah, baik dari kalangan Arab ataupun Ajam, telah membuat bait-bait syair
secara terinci yang memuat nama-nama 12 imam seperti: Haskafi, Ibnu Thulun,
Fadhl bin Ruz Dahan, Al-Jamiy’ Athar Naisyabur dan Maulawi mereka dari pengikut
Abu Hanifah, Syafi’i dan selainnya. Di sini kami hanya sebutkan dua kasidah
sebagai contoh: pertama kasidah Haskafi Al-Hanafi, ulama abad ke-6 Hijriah:
“Haidar (gelar imam Ali) dan setelahnya Hasan dan
Husain, kemudian,
Ali Zainal Abidin dan putranya Muhammad Al-Bagir.
Ja’far Al-Shadiq dan putranya Musa Al-Khazim, dan
setelahnya.
Ali (Ar-Ridha) yang menjadi waliyul Ahad,
kemudian putranya Muhammad (Al-Jawad).
Kemudian Ali (Al-Hadi) dan putranya yang benar
dan jujur, Hasan (Al-Askari).
Yang selanjutnya Muhammad bin Hasan yang di
yakini oleh orang-orang bahwa mereka adalah imam-imamku, tuanku.
Meskipun orang-orang mencaciku dan mendustakannya
dan mencaci para imam, ketahuilah, muliakanlah mereka para imam yang namanya
telah terjaga dan tidak bisa ditolak.
Mereka itu hujah-hujah Allah atas hamba-hamba-Nya
mereka adalah jalan dan tempat tujuan.
Mereka di waktu siang berpuasa untuk Tuhan, dan
di malam hari mereka ruku’ dan sujud di hadapanTuhan-Nya”.
Qasidah yang kedua dari Syamsuddin bin Muhammad
bin Thulun Ulama abad ke-10 Hijriah, ia mengatakan :
“Kalian harus berpegang pada 12 imam dari keluarga
Musthafa Rasul, sebaik-baik manusia , yaitu…
Abu Thurab (imam Ali), Hasan dan Husain.
Ketahuilah, membenci Ali Zainal Abidin perbuatan
tercela…
Muhammad Al-Bagir yang mengetahui betapa banyak
ilmu…
Ash-Shadiq yang dipanggil Ja’far di antara
manusia …
Musa yang diberi gelar Al-Khazim dan putranya
Ali.
Ar-Ridha yang tinggi kedudukannya.
Muhammad At-Taqi yang hatinya penuh dan makmur
dengan cahaya dan hikmah.
Ali Al-Naqi yang mutiara-mutiaranya tersebar.
Hasan Al-Askaryi yang telah disucikan.
Dan muhammad Al-Mahdi yang akan muncul.
Sesungguhnya mereka adalah Ahlul Bait, yang
berdasar-kan perintah Allah swt, telah ditentukan oleh Nabi saw. sebagai
pemimpin umat Islam, karena kemaksuman dan kesucian mereka dari kesalahan dan
dosa, dan karena ilmu mereka yang luas yang telah mereka warisi dari sang datuk
Nabi saw. yang telah memerintahkan kita untuk mencintai dan mengikuti mereka.
Dalam hal ini Allah swt. berfiman:
قُل لَّا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا إِلَّا
الْمَوَدَّةَ فِي الْقُرْبَى
“Katakan hai Muhammad, Aku tidak meminta kepada
kalian upah atas apa yang aku lakukan kecuali kecintaan kepada keluargaku.”
(QS. Al-Syura [42]:23)
Dan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ
وَكُونُواْ مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah
[9]:119)
16. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para imam
suci—yang sejarah belum pernah mencatat dari mereka penyele-wengan atau
kemaksiatan, baik dalam ucapan atau pun perbuatan—dengan bekal ilmu yang luas
telah berkhid-mat kepada umat Islam dan memperkaya mereka dengan pengetahuan
yang dalam serta pandangan yang benar dalam akidah, syariat, akhlak, sastra,
tafsir, sejarah serta cakrawala masa depan. Demikian juga, mereka telah
mendidik atau membina melalui ucapan atau perbuatan sekelompok laki-laki dan
perempuan yang unggul di mana semua orang telah mengenal mereka dengan
keutamaannya, ilmunya dan kebaikan prilakunya.
Syi’ah Ja’fariyah memandang bahwa meskipun mereka
para imam telah dijauhkan dari kedudukan kepemim-pinan politis, tetapi mereka
telah menunaikan dan menyampaikan misi intelektual dan tugas sosial mereka
dengan sebaik-baiknya, karena mereka telah menjaga dasar-dasar akidah dan pilar-pilar
syariat dariancaman penyimpangan.
Sekiranya umat islam memberikan kesempatan kepada
mereka untuk melakukan peran politik yang telah Rasul berikan kepadanya atas
dasar perintah Allah swt., niscaya umat Islam akan mencapai kebahagian dan
kemuliaan, serta keagungannya secara penuh, dan mereka akan menjadi satu,
bersatu, dan tidak mengalami perpecahan, ikhtilaf dan pertentangan, peperangan,
saling bunuh-membunuh, dan mereka tidak hina dan diremahkan.
17. Dengan menunjuk pada dalil-dalil Naqli dan
Aqli, yang begitu banyak disebutkan dalam buku-buku Akidah, mereka meyakini
bahwa umat Islam hendaknya mengikuti Ahlul Bait Nabi, dan senantiasa berada di
jalannya, karena jalan Ahlul Bait adalah jalan yang telah digariskan oleh
Rasulullah saw. untuk umat dan beliau telah mewasiatkan kepada umat agar
menapaki jalan mereka dan berpegang teguh pada mareka, sebagaimana dalam hadis
“Tsaqalain” yang mutawatir, seraya berkata :
“Sesungguhnya aku telah tinggalkan untuk kalian
dua pusaka; kitabullah (Al-Quran) dan keturunanku Ahlul Bait. Selama berpegang
teguh pada keduanya,kalian tidak akan tersesat”.
Hadis ini telah diriwayatkan oleh Muslim dalam
shahih-nya dan oleh puluhan ahli-ahli hadis dan ulama-ulama disetiap abad.
Begitu pula, pengangkatan khalifah dan pewasiatan
seperti ini adalah hal yang lumrah dalam kehidupan para nabi-nabi terdahulu.
18. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa umat Islam
hendaknya mendiskusikan dan mempelajari masalah-masalah seperti ini dengan
menjauhkan diri dari caci maki, tuduhan yang tak beralasan dan melakukan
fitnah. Dan hendaknya para ulama dan cendikiawan dari seluruh kelompok dan
golongan umat Islam ber-kumpul dalam muktamar-muktamar ilmiah, mem-pelajari
dengan lapang dada dan ikhlas serta dengan semangat persau-daraan dan
obyektifitas tentang klaim-klaim saudara-saudara mereka dari kaum Syi’ah
Ja’fariah, serta dalil-dalil yang mereka bawakan untuk membuktikan
pandangan-pandangannya berdasarkan Al-Quran, hadis mutawatir dari Rasulullah
saw., akal sehat, pertimbangan sejarah, keadaan politik dan sosial secara umum
pada masa Nabi dan setelahnya.
19. Syi’ah Ja’fariyah meyakini bahwa para sahabat
dan orang-orang yang berada di sekeliling Nabi dari kaum laki-laki dan
perempuan telah berkhidmat kepada Islam dan mereka telah mengerahkan seluruh
jiwa raganya di jalan penyebaran Islam.
Hendaknya umat Islam menghormati mereka,
meng-hargai perjuangan dan bakti mereka dan memohon kerelaan mereka. Hanya
saja, hal ini tidak berarti menganggap mereka semua sebagai manusia-manusia
yang mutlak adil, tidak pula berarti sebagian sikap dan perbuatan-perbuatan
mereka tidak bisa dikritik, karena mereka adalah manusia yang bisa salah dan
bisa benar.
Sejarah telah menyebutkan bahwa sebagian mereka
telah menyimpang dari jalan yang benar meskipun di masa hidup Nabi saw. Bahkan
Al-Quran secara eksplisit menyebutkan adanya penyimpangan itu di sebagian surat
dan ayat-ayatnya, seperti surat Al-Munafiqun, Al-Ahzab, Al-Hujarat, At-Tahrim,
Fath, Muhammad dan At-Taubah.
Kritik yang sehat terhadap suatu golongan tidaklah
dinyatakan kafir, karena tolak ukur iman dan kufur sangat jelas, yaitu mengakui
atau menafikan tauhid dan kenabian, serta hal-hal yang sangat mudah dimengerti
(badihi) dari masalah agama, seperti kewajiban shalat, puasa, haji, haramnya
arak, khamar, judi dan hokum-hukum lainnya.
Memang, lidah harus dijaga dari perbuatan mencaci
maki, juga pikiran harus dijaga dari cara bernalar yang dangkal, karena hal ini
bukanlah karakter seorang muslim yang terdidik, yang mengikuti prilaku Nabi
Muhammad saw. Bagaimanapun kebanyakan para sahabat itu adalah orang-orang baik
yang layak untuk dihormati dan dimuliakan. Tetapi perlu diketahui bahwa
ketundukan mereka pada Qaidah Jarah wa Ta’dil (yaitu sebuah kaidah ilmu Rijal
yang mempertimbangkan kualitas kepribadian para perawi hadis, -peny.), yaitu:
Meneliti hadis-hadis Nabi yang shahih, yang
dianggap kuat, padahal telah diketahui pula akan banyaknya
kebohongan-kebohongan yang telah dinisbatkan kepada Nabi saw., sebagaimana yang
telah banyak diketahui. Dan Nabi saw. sendiri telah mengkhabarkan akan
terjadinya hal itu, dan kalian pula yang mendorong ulama-ulama kedua kelompok
(Sunnah-Syi’ah) seperti; Suyuthi, Ibnu Jauzi dan lain-lain untuk menulis
buku-buku yang berbobot yang dapat menyaring antara hadis-hadis yang benar-benar
keluar dari Nabi dan hadis-hadis maudhu’ atau palsu.
20. Syi’ah Ja’fariyah meyakini adanya Imam Mahdi
a.s. yang dinanti berdasarkan riwayat-riwayat yang begitu banyak dari Nabi saw.
yang menyebutkan, bahwa dia dari keturunan Fatimah, dan dia keturunan yang
kesembilan dari Imam Husain a.s., karena anak atau keturunan yang kedelapan
dari Imam Husain adalah Imam Hasan Al-Askari, yang telah meninggal pada tahun
260 H sedangkan beliau tidak mempunyai anak kecuali anak yang diberi nama
Muhammad. Dialah Imam Mahdi a.s. yang diberi panggilan nasab Abul Qasim. Banyak
orang-orang terpercaya dari umat Islam yang telah melihatnya. Dan mereka telah
meng-kabarkan akan kelahirannya, cirri-ciri khasnya, keimamahannya dan nas dari
ayahnya yang me-nunjukkan kepemimpinannya.
Dia telah gaib setelah 50 tahun dari
kelahirannya, karena musuh-musuh ingin membunuhnya. Oleh karena itu, Allah swt.
menyimpannya untuk menegakkan pemerintahan yang adil, universal pada akhir
zaman, dan mensucikan bumi dari kezaliman dan kerusakan setelah dipenuhi oleh
keduanya.
Maka tidak aneh dan tidak pula mengherankan akan
panjangnya usia beliau dan masih hidup sampai sekarang, meskipun sudah
melampaui abad 20 dari kelahirannya. Sebagaimana Nabi Nuh a.s. pernah hidup
sampai 950 tahun di tengah umatnya, dan menyeru mereka kepada Allah,atau Nabi
Haidir a.s. yang sampai saat ini masih hidup.
Allah swt. Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
kehendaknya berjalan tanpa ada yang bisa mencegah dan menolaknya. Bukankah
Allah swt. telah menegaskan ihwal Nabi Yunus a.s. dalam firmannya:
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنْ الْمُسَبِّحِينَ
لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Maka, sekiranya dia tidak termasuk orang-orang
yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu
sampai Hari Kebangkitan. (QS. Al-Shaffat [ 37]:143-144).
Sebagian besar ulama Ahli Sunnah meyakini
kelahiran Imam Mahdi a.s. dan keberadaannya, dan mereka menyebutkan nama kedua
orang tuanya, serta sifat-sifatnya, di antara mereka ialah:
1. Abdul Mu’min Syablanji Al-Syafi’i dalam
kitabnya, Al-Abshor fi Manaqibi Nabi al-Muchtar.
2. Ibnu Hajar Haitami Makki Asy-Syafi’i dalam
kitabnya Ashowaiq al Muhriqah, seraya menga-takan; Abul Qasim Muhammad
Al-Hujjah, ditinggal wafat oleh ayahnya pada usia lima tahun. tetapi Allah swt.
memberikan hikmah padanya. Dia juga disebut sebagai “Al-Qaim Al-Muntazhar”.
3. Al-Qunduzi Al-Hanafi Al-Balkhi dalam bukunya,
Yanabi al Mawaddah, yang dicetak di ibukota Turki masa Dinasti Otoman.
4. Sayyid Muhammad Shidiq Hasan Al-Qonuji
Al-Bukhori dalam kitabnya, Al-Izhaa’ah Liman Kana waman Yakunu baina Yaday
Assaa’ah.
Mereka ini termasuk ulama-ulama terdahulu. Adapun
dari ulama-ulama mutakhir, seperti; Dr. Musthafa Rafi’i dalam bukunya Islamuna,
telah memaparkan masalah ini secara panjang lebar dan menjawab seluruh kritik
seputar masalah ini.
21. Kaum Syi’ah Ja’fariyah melakukan shalat,
puasa, haji, membayar khumus (1/5) pendapatan mereka, haji ke Mekkah yang
mulia, melaksanakan manasik umrah dan haji seumur hidup sekali, sedangadapun
dari itu adalah sunnah, memerintahkan yang makruf dan melarang yang munkar,
berpihak kepada wali-wali Allah dan Nabinya, dan memusuhi musuh-musuh Allah dan
musuh-musuh Nabi-Nya, berjihad di jalan Allah terhadap setiap orang kafir atau
musyrik yang terang-terangan memerangi Islam, dan terhadap setiap orang yang
berbuat makar terhadap umat Islam.
Mereka melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi,
sosial, keluarga, seperti jual beli, penyewaan, nikah, talak, warisan,
pendidikan, menyusui, hijab dan lain sebagainya, sesuai dengan hukum-hukum
Islam yang benar dan lurus. Mereka mengamalkan hukum-hukum ini dari proses
ijtihad yang dilakukan oleh ulama-ulama ahli fiqih mereka yang warak dengan
berdasarkan pada hadis yang shahih, hadis-hadis Ahlul Bait, akal dan konsensus
(ijma’) ulama.
22. Mereka percaya bahwa setiap kewajiban yang
bersifat harian, memiliki waktu tertentu, dan waktu-waktu shalat harian adalah
Subuh, Zuhur, Ashar, Magrib dan Isya. Yang paling penting adalah melakukan
setiap shalat pada waktunya yang khusus. Hanya saja, mereka melakukan jamak
antara dua shalat Zuhur dan Ashar dan antara Magrib dan Isya karena Rasulullah
saw. melakukan jamak dua shalat tanpa uzur, tanpa sakit dan tanpa berpergian,
sebagaimana yang disebutkan dalam Shahih Muslim dan kitab hadis lainnya, “Sebagai
keringanan untuk umat serta untuk mempermudah bagi mereka”. Dan itu telah
menjadi masalah biasa pada masa kita sekarang ini.
23. Mereka mengumandangkan azan sebagaimana
azannya umat Islam yang lain. hanya saja mereka sebutkan setelah hayya ‘alal
falah dengan redaksi hayya ‘ala khairil ‘amal, karena telah ada sejak zaman
Nabi saw. Hanya saja, pada zaman Umar bin Khaththab, kalimat itu dihapus atas
dasar ijtihad pribadinya, dengan alasan bahwa hal itu dapat memalingkan umat
Islam dari berjihad. Padahal mereka tahu bahwa shalat adalah sebaik-baik
perbuatan (sebagaimana pengakuan Allamah Qusyji Al-Asy‘ari dalam kitab Syarah
Tajrid Al-I’tiqad,Al-Mushannaf, karya Al-Kindi, Kanz Al-Ummal karya Muttaqi
Hindi, dll. Umar bin Khaththab telah manambahkan sebuah redaksi Ashalatul
khairul minanauum sementara kalimat itu tidak pernah ada pada zaman Nabi saw.
Dan sesungguhnya ibadah, dan
muqaddimah-muqaddimahnya dalam Islam itu harus berdasarkan kepada perintah dan
izin syariat yang suci. Artinya, segalanya harus berlandaskan pada nas yang
khusus ataupun yang umum dari Al-Quran dan hadis. Bila tidak, maka hal itu
dikatakan sebagai bid’ah yang harus ditolak.
Oleh karena itu, dalam ibadah, bahkan dalam
setiap masalah syariat tidak boleh ada penambahan atau pengurangan dengan pendapat
pribadi.
Adapun apa yang ditambahkan Syi’ah Ja’fariyah
setelah syahadah kepada Rasulullah saw. (Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah),berupa kalimat Asyhadu anna Aliyan waliyullah karena adanya
riwayat-riwayat dari Nabi saw. dan Ahli Baitnya a.s. yang menjelaskan bahwa
tidaklah disebutkan kalimat Muhammad Rasulullah atau tidaklah ditulis kalimat
tersebut di atas pintu surga, kecuali diikuti dengan kalimat (‘Aliyan
waliyullah), yaitu sebuah kalimat yang menjelaskan bahwa Syi’ah tidak
mempercayai kenabian Ali bin Abi Thalib, apa lagi sampai mengatakan
ketuhanannya. Karenanya, diperbolehkan untuk membaca kalimat itu setelah dua
syahadat, dengan niat bahwa itu tidak termasuk bagian atau kewajiban dari azan.
Inilah pendapat mayoritas ulama-ulama ahli fiqih Syi’ah Ja’fariyah.
Oleh sebab itu,kalimat tambahan yang dibaca ini
bukan bagian dari azan sebagaimana yang telah kami katakan, dengan demikian
bukan termasuk dari yang tidak ada pada mulanya dalam syariat, tidak pula
termasuk bid’ah.
24. Mereka sujud di atas tanah , debu, kerikil,
atau di atas batu dan apa saja yang termasuk bagian dari bumi atau tanah dan
yang tumbuh di atasnya, seperti tikar yang bukan terbuat dari kain dan bukan
pula yang dimakan, dan yang manis. Karena ada banyak riwayat di dalam sumber-sumber
Syi’ah dan Ahli Sunnah, bahwa kebiasaan Rasul saw. adalah sujud di atas debu
atau tanah, bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk mengikutinya.
Suatu hari, Bilal sedang sujud di atas serban
(ammamah), karena takut akan panas yang menyengat. Maka Nabi menarik ammamah
dari dahinya dan berkata: “Ratakan dahimu dengan tanah wahai Bilal !”. Begitu
juga, Nabi pernah mengatakan pada Shuhaib dan Rabah dalam sabdanya: “Ratakan
wajahmu wahai Shuhaib dan ratakan pula wajahmu wahai Rabah !”.
Sebagaimana yang disebutkan dalam Bukhari dan
lainnya, Nabi saw. juga bersabda: “Bumi atau tanah ini telah dijadikan untukku
sebagai tempat sujud yang suci”.
Oleh karena sujud dan meletakkan dahi di atas
tanah, tatkala sujud merupakan hal yang paling layak dihadapan Allah swt,
karena hal itu menghantarkan kepada kekhusyukan dan sarana terdekat untuk
merendahkan diri di depan Tuhan, juga dapat mengingatkan manusia akan asal
wujudnya. Bukankah Allah swt. berfiman:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ
وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى
Dari bumi (tanah) itulah kami menjadikan kamu dan
kepadanya kami akan kembalikan kamu sekalian, serta darinya kami akan
mengeluarkan (membangkitkan) kamu pada kali yang lain. (QS. Thaha [20]:55)
Sesungguhnya sujud adalah puncak ketundukan yang
tidak bisa terealisir dengan sujud di atas sajadah, karpet atau batu-batuan
permata yang berharga. Puncak ketundukan itu hanya terealisir dengan meletakkan
anggota badan yang paling mulia yaitu dahi, di atas benda yang paling murah dan
sederhana, yaitu tanah.[9]
Tentunya, debu tersebut harus suci. Orang-orang
Syi’ah selalu membawa sepotong dari tanah yang sudah dipres dan sudah jelas
kesuciaannya. Mungkin juga tanah ini diambil dari tanah yang penuh berkah,
seperti tanah Karbala. Di sanalah Imam Husain (cucu Rasulullah saw.) gugur
sebagai syahid sehingga tanah itu penuh berkah. Sebagaimana sebagian sahabat
Nabi menjadikan batu Mekkah sebagai tempat sujud dalam perjalanan-perjalanan
mereka dan untuk mendapatkan berkahnya.
Meski demikian, Syi’ah Ja’fariyah tidak
memaksakan hal itu, juga tidak menyatakannya sebagai suatu keharusan. mereka
hanya membolehkan Sujud diatas batu apa saja yang bersih dan suci seperti
lantai masjid Nabawi yang mulia dan lantai Masjidil Haram.
Begitu juga, tidak bersedekap (meletakkan tangan
kanan di atas tangan kiri) sewaktu shalat, karena Nabi saw. tidak pernah
melakukan hal itu, juga karena tidak ada nas yang kuat dan jelas yang
menganjurkan hal itu. Karenanya, penganut mazhab Maliki tidak melakukan sedekap
tersebut.[10]
25. Syi’ah Ja’fariyah berwudhu dengan membasuh
kedua tangan; dari siku-siku sampai ujung jari-jari, bukan kebalikannya, karena
mereka mengambil cara berwudhu para imam Ahlul Bait yang telah mengambilnya
dari Nabi saw. Tentunya, para imam lebih mengetahui dari pada yang lainnya
terhadap apa yang dilakukan oleh kakek mereka. Rasulullah saw. Telah berwudhu
dengan cara demikian itu, dan tidak menafsirkan kata (Ilaa/ الی) dalam ayat
wudhu (Al-Maidah [5]: 6) dengan kata (ma’a/ مع) hal ini juga ditulis Imam
Syafi’i dalam kitabnya, Nihâyatul Muhtaj. Begitu juga, mengusap kaki dan kepala
mereka atau tidak membasuhnya ketika berwudhu, dengan alasan yang sama yang
telah dijelaskan di atas. Juga karena Ibnu Abbas mengatakan: “Wudhu itu dengan
dua basuhan dan dua usapan”.[11]